Sudah jadi kebiasaan Ayah menasehati aku dan adik-adik di setiap makan malam bersama. Bermacam wejangan kami dengar ketika kami sedang menyuap nasi.
Dari aturan makan yang tidak boleh sebutir nasi pun kececer ke meja makan, nasi dan lauk yang tidak boleh bersisa di piring sedikitpun juga. Sampai ke pembahasan tata karma dengan petatah petitih Ranah Minang.
Sering Ayah membahas kato mandaki, kato malereng, kato mandata, dan kato manurun kepada kami. Empat pribahasa adat dengan kearifan Ranah Minang. Empat nasehat tua yang ditujukan agar kami bisa menempatkan tutur bahasa ke orang-orang sekitar kampung. Walau tidak sepenuhnya bisa kami fahami, setiap perkataan Ayah harus kami dengarkan dengan baik.
Mendengar nasehat Ayah yang begitu panjang lebar, masakan Mak seakan-akan tidak enak lagi saat dikunyah. Terkadang apa yang disampaikan hanya bisa masuk ke telinga kanan dan keluar di telinga kiri.
Hari itu membuat aku semakin pusing. Pusing dengan ceramah panjang Ayah yang dibumbui perdebatan di antara mereka.
Aku yang sebelumnya baru lulus dari SMP Negeri 2 Tanjung Mutiara-Sumbar, tidak diduga diterima di salah satu sekolah pelayaran yang populer di mata masyarakat Sumatera, akan kedisiplinannya.
'Sebaiknyo waang lanjut sajo belajar Ilmu Agamo di Pasantren Buya Hamka. Ayah ingin waang menjadi seorang ulama besar, menjadi suri tauladan bagi orang banyak, paling tidak untuk keluarga sendiri.'
Ayah juga mempersiapkan aku untuk menyandang gelar Datuk Parpatih Nan Sabatang. Dimana peran datuk di Ranah Minang sangat dibutuhkan dalam bermacam persoalan kaumnya, dan cukup disegani oleh penduduk setempat.
‘Ndak ado itu, lanjutkan sajo ke sekolah pelayaran! kata Mak.
Mak menolak keinginan Ayah. Mak berharap suatu saat aku bisa menjadi seorang angkatan laut. Keluarga bisa disegani oleh semua penduduk desa. Karena tidak satu pun dari keluarga besar kami menjadi seorang angkatan, seperti keluarga-keluarga berlatar belakang militer pada umumnya.
Ayah terlihat lihai bersilat lidah. Selalu saja ada alasan untuk memberi penjelasan.
'Kunci kekuatan agamo, ado pada ulamanyo. Kunci keselamatan harto pusako, tergantung pada datuknyo.’
Tetapi Mak tak kalah hebat bertutur kata. Mak meyakin Ayah, ‘Profesi apa pun bisa jadi ustadz, yang penting bertanggung jawab dan mau belajar agamo.'
Mak mencontohkan dr. Zakir Naik, seorang dokter medis dari India yang memperoleh gelar Bachelor of Medicine and Surgery dari Maharashtra, bisa menjadi seorang ulama ternama dan dikenal dunia. Tetapi dr. Zakir Naik dipastikan tidak akan bisa menjadi seorang angkatan laut.
Perdebatan mereka semakin menjadi-jadi. Aku terpaksa berlagak acuh tak acuh, dan berpura-pura tidak mendengarkannya.
Ayah menyuap nasi sambil menaikkan satu kakinya ke atas kursi. Lalu melontarkan opini yang sedikit asal-asalan kepada Mak.
‘Gini Mak… yang namonyo ustadz, ndak akan pernah kekurangan piti. Coba Mak lihat Ustadz Nurdin! Setiap pulang dari acara syukuran tetangga, dapat amplop seratus ribu. Itu baru satu rumah, Mak. Belum lagi ceramah Hari Jumat, ceramah Bulan Puaso, Hitung sajo, Mak. Banyak pitinyo.’
'Tujuan jadi ustadz bukan cari piti, Yah. Tapi ceramah, ceramah,’ jawab Mak.
'Iyoo, betul apo yang Mak sampaikan. Tapi, kan… bisa sambil menyelam minum air. Awak dapat amal, piti pun mengalir ke kantong awak. Betul kan, Yung?’ Kata Ayah sambil mengharap dukunganku.
Aku memperlihatkan kerut kening di wajah. Aku tidak ingin membela siapa-siapa, hanya diam, berharap acara makan malam itu cepat selesai.
Mak tetap tidak setuju dengan opini Ayah, dan mempertegas pandangan penutupnya ke hadapan Ayah.
‘Yang jelas, siapo sajo bisa jadi ustadz, bisa jadi datuk, tapi jangan harap ustadz dan datuk bisa jadi angkatan laut. Walau ndak bisa jadi angkatan laut, bisa pula berlayar ka Negara japang. Lebih banyak pitinyo. Titik!’
Hening.
Kunyahan nasi di mulut Ayah terhenti seketika. Ayah menatap Mak dengan muka kesal, Mak mengalihkan pandangan dengan muka cuek. Ayah mencuci tangannya sambil berdiri, Mak lanjut menghabiskan sisa makanannya di tempat duduk. Ayah beranjak dari tempat berdirinya.
‘Pergi ka mano?’ Tanya Mak.
‘Biaso... warung,’ jawab Ayah.
Ayah kembali pada kebiasaanya nongkrong di warung kopi. Kebiasaan sesama teman nongkrongnya membahas berita-berita yang masih hangat disiarkan di tv-tv, politiklah, gosib artislah, dan tak ketinggalan membahas si raja dangdut penyanyi idolanya.
‘Terlaalu.’
Ayah punya pemikiran yang kritis, Mak punya pandangan yang realistis. Setelah mendengarkan masukan orang-orang sekitar desa, dan menyimpulkan berbagai macam pertimbangan, aku menetapkan pilihan yang jatuh kepada pandangan Mak.
Kuurungkan niat untuk belajar di Pasantren Buya Hamka, dan memilih sekolah pelayaran, yang mewajibkan seluruh siswanya tinggal di asrama.
Doni Romiza
Lanjutan⬅Geser layar Hp ke kiri