Usai subuh berjamaah, kami kembali menuju ke asrama, bersiap melaksanakan olah raga pagi di sekeliling kampus. Rebutan cari sandal jepit masing-masing, tak sedikit yang mengandalkan kaki ayam, alias tak bersandal.
Hingga tiga puluh menit berlalu, kami berlarian ke kamar mandi yang ada di asrama. Tak ada pembatas antara si miskin dengan si kaya, tak ada pembeda antara yang Islam dengan yang bukan. Semua kami lakukan bersama-sama.
Jangankan odol atau pun sabun mandi, handuk pun kami pakai bergantian. Tak ada rotan akar pun jadi, tak ada handuk sprey pun jadi. Belum kering air di badan, lonceng makan pagi pun mengaung ke telinga.
Kami bergegeas bersiap diri. Dengan sigap dan cepat mengenakan seragam lengkap taruna, tak perlu berkaca melihat rambut sudah rapi atau tidak? Tak perlu berpikir pakai minyak wangi atau tidak. Karena akan percuma… semua rambut kami sudah seperti kelapa tua, hitam tapi tak berbulu. Pakai minyak wangi juga tak ada guna, tak ada wanita cantik seperti Dian Sastrowardoyo yang akan melirik kami.
Makan kami disediakan oleh pihak sekolah. Kami hanya diwajibkan membawa peralatan makan seperti sendok atau garpu, serta peralatan minum lainnya seperti cawan atau gelas.
Sebelum hidangan pagi kami santapi, wajib berbaris dulu pintu masuk kantin asrama. Di sanalah kejahilan-kejahilan senior bermunculan. Kami diharuskan hafal nama-nama mereka, jurusan mereka, hingga mengerucut ke pertanyaan-pertanyaan yang tak penting, alias usil.
‘Siapa nama Abang, Dek?’ Tanya senior.
‘Mister Kapinding, Bang,’ jawabku, tapi,
'Jangan langsung Mister, ya. Sebut Abang dulu,' kata Mister Kapinding.
'Oh, iya. Abang Mister Kapinding,'
‘Jurusan Abang?’
‘Mesin Perikanan, Bang.’
‘Cakeep. Pacar Abang?’ Mister Kapinding mulai usil.
‘Ndak tau, Bang,’ jawabku.
‘Nenek Abang?’
Pertanyaan semakin aneh dan aku hanya menggelengkan kepala.
‘Cari tau, ya!’ kata Mister Kapinding, dia beranjak ke siswa lain, dan nenanyakan pertanyaan yang sama.
‘Apa nenekmu artis? Levelnya Meriam Belinakah? Apa Mpok Nori?’ Yah, Cuma bisa kesal dalam hati.
Di ruang makan Mister Kapinding makan dengan lahap, sementara kami jangan harap bisa makan dengan tenang. Sesekali Mister Kapinding melirik Kincai, kemudian mata Mister Kapinding liar memperhatikan guru pengawas. Ketika jauh dari pengawasan guru, aturan sekolah yang mewajibkan seluruh siswa makan menggunakan sendok dan garpu, Mister Kapinding seenaknya makan menggunakan tangannya. Wajar saja Mister Kapinding cepat selesai, dan lagi-lagi cari kerjaan.
Kincai yang duduk bersebelahan dengan Mister Kapinding, sidikit tergesa-gesa menghabiskan nasi dan lauk yang tersisa. Mister Kapinding mulai mencubit-cubit tangan Kincai, karena sudah tak sabar mencari kejahilan baru, Kincai berusaha untuk tenang, tapi,
‘Dek, Abang boleh minta tolong, ga?’
Kincai berhenti dadakan mengunyah, 'Apa, Bang,' tanya Kincai.
‘Kasih ikan ini ke Abang Singo, Ya! Lihat tu, Abang Singomu kekurangan ikan, nasinya masih banyak.’
Perintah yang cukup lembut, tapi benda apakah itu?
Apa mungkin ikan yang hanya menyisakan tulang harus diserahkan ke senior lain bernama Singo?
Kincai dengan polosnya membawa tulang ikan itu untuk Singo yang wajahnya tak kalah sangar dibandingkan Mister Kapinding tadi. Sampai di tangan Singo, bukan ucapan terima kasih yang Kincai dapatkan, tapi salam lima jari menempel di jidatnya.
Mereka, senior lain tertawa kegirangan, mengompor-ngompori Singo supaya mengambil tindakan.
‘Hahahaha. Payah... mau-mau aja diremehin junior.’
Singo perintahkan Kincai untuk mengembalikan tulang ikan itu kepada Mister Kapinding. Sampai dikursi Mister Kapinding makan tadi, Mister Kapindinding sudah tak ada lagi di tempatnya, dia keluar kantin sambil ketawa mengakak.
Tak enak lagi nasi dikunyah Kincai. Dia bingung harus berbuat apa? Serba salah bak menelan simalakama. Ikut perintah Mister Kapinding, jadi salah. Ikut perintah Singo, makin salah lagi.
Doni Romiza