Lega setelah mampu melewati orientasi dengan sempurna. Tapi jantung seakan tak berdenyut ketika memasuki masa basis. Masa menurut kabar yang kami dengar adalah tahap yang paling sulit untuk dilalui.
Kami tidak diperkenankan menggunakan bahasa daerah sebulan penuh, semua aktifitas harus dijalankan dengan sempurna, latihan baris berbaris dengan baik. Satu orang melakukan kesalahan, maka yang lain tetap menerima hukuman. Akan tetapi, jika ada perlombaan baris berbaris antar sekolah, maka sekolah kamilah yang akan jadi pemenangnya. Karena aktifitas seperti itu sudah jadi santapan kami sehari-hari.
Jika berpapasan dengan senior, wajib hukumnya menegur sapa dan memberi hormat. Jika hal itu sampai kami lupakan, perintah “kumpul” lagi-lagi menjadi akibat atas kesalahan kami. Senior dengan tegas meminta kami mematuhi segala aturan. Segala aktifitas harus dijalankan dengan sigap, cepat, tepat, yang intinya tidak boleh telat sedikit pun juga.
Jadi kebiasaan kami curhat-curhatan di tempat tidur. Kincai mengeluh, ‘Asrama benar-benar seperti kandang harimau, ya?’ Ijan menyahut, ‘Iyo, senior sok jagoan.’ Fajori bilang, ‘Gak, biasa-biasa aja.’ Lalu mereka minta pendapatku, ‘Aaah,' aku malas berkomentar.
Ijan bicara lagi, 'Coba, bentak aden di luar asrama, aden patahkan kapalo senior itu. Belum tau inyo, aden ko preman gadang di terminal Padang.'
'Alaah, di luar, mah, saya juga berani,' kata Fajori.
'Mau tidur jam berapa? Ngomong terus dari tadi,' kata Kincai.
'Kamu kalau mau tidur, tidur aja,' jawab Fajori.
'Gini sajo, kata Ijan dan dia mengeluarkan ide, 'Siapo yang bicara lagi, kito panggil anak setan. Oke?’
‘Okeeee.’
Hening beberapa detik, mulut Fajori tak bisa diam, ‘Yung, Yung… ini serius. Kamu, kan pintar nulis surat. Coba kirim surat ke direksi pembunuhan, biar Mister Kapinding yang sok jagoan itu dikirim ke kuburan,' kata Fajori.
Kata-kata “direksi pembunuhan” sedikit aneh di telingaku. Aku yang tadinya sudah mengantuk berat, akhirnya bersuara juga.
‘Ado, yo, direksi pembunuhan?’ tanyaku.
‘Ada… Malaikat Maut,’ jawab Fajori.
Aku terdiam kesal, tapi Fajori terus melanjutkan banyolannya,
‘Kamu mau tau gak, alamat Malaikat Maut?’ tanya Fajori lagi.
Aku masih diam, seolah-olah tidak mau mendengarkan Fajori, tapi lagi-lagi Fajori meneruskan.
‘Desa Kebun Tebu. Jalan Rel Kereta Api. Kaucampakkan Jembatan Gantung. Kuburpaten Sumur Tua. Ha ha ha.’
‘Stres. Anak setan!’ kesalku.
‘Ha ha ha.’ Fajori kembali terkekeh.
Ijan menakut-nakuti Fajori, ‘Dengar yo! Tetangga aden bicara Malaikat Maut malam-malam, paginyo langsung mati’
Hening.
Fajori menutupi mukanya dengan seprey. Sepertinya dia juga takut mati besok pagi.
‘ASTAGHFIRULLAAH,’ Fajori Tobat dadakan.
Perlahan ajang curhat-curhatan jadi sunyi. Malam semakin larut, mata terasa susah dibawa lelap. Kulihat Kincai ngorok sambil tengkurap, Ijan mengangkang telanjang dada, Fajori mencongkel-congkel lubang hidung, menggeliat garuk-garuk pantat. Sepertinya mereka sudah tak sadarkan diri. Tak beberapa lama, aku juga menyusul seperti mereka, MOLOR!
Lelapnya malam terasa singkat, lonceng pertanda subuh telah terdengar. Kami tidak lupa membangunkan teman-teman yang masih ketiduran. Walau lelah di sekujur tubuh, walau mulut menguap tak terhitung, tetap ke mushola dengan langkah sempoyongan. Ambil wudhu asal-asalan, subuh pun selesai berjamaah.
Kami harus bisa jadi penceramah. Tak ada kata penolakan, tak ada alasan tak bisa. Meski judul ceramah Rukun Iman lagi dan Rukun Islam lagi, semua berlaku untuk semua junior.
Kaget ketika protokol memanggil namaku jadi penceramah. Aku tidak biasa bicara di hadapan orang banyak, apalagi jadi penceramah agama.
Walau pernah jadi bilal di musholla kampung, itu pun berjalan tidak lama, hanya ketika bulan puasa saja. Aku gugup luar biasa, linglung setengah mati. Perlahan kucoba berdiri dan naik ke atas mimbar.
Kulihat saf bagian belakang, semua senior memperlihatkan muka masam. Kulihat saf bagian depan, terlihat teman-temanku menopang dagu dengan wajah yang tertekan. Suasana itu membuat aku semakin gugup. Jarum jam terus berputar di dinding musholla, jantungku seakan mau copot, tak kalah kencang dibandingkan detak jarum jam di dinding musholla.
‘Kelamaaan,’
Seorang senior berteriak dari saf bagian belakang. Dia membentakku untuk segera memulai ceramah.
Tak ada pilihan lagi, semua aturan yang sudah jadi turun temurun dari dulu, harus dilaksanakan dengan baik. Jika ada yang salah dengan cara mereka kepada kami, mungkin cara mereka saja yang salah, karena hakikat dan tujuan mereka baik untuk kami.
‘Bissmillah.’
Lantaran sering membaca buku-buku Sejarah Nabi milik Ayah, dan senang melihat ustadz-ustadz berceramah di musholla kampung, sedikit membantu aku untuk menghilangkan rasa gugup. Kumulai ceramah itu...,
‘Dikala Raja Namrud mengaku diri sebagai Tuhan, “Bisa menghidupkan orang jika dibiarkan hidup, dan mematikan orang jika orang itu dibunuh.” Nabi Ibrahim mengatakan, “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah matahari itu dari barat!” Lalu terdiamlah orang kafir itu, dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim (Al Baqarah Ayat 258).'
Aku menyudahi ceramah agama tentang perdebatan Raja Namrud dengan Nabi Ibrahim, selama 10 menit. Kutarik nafas panjang pertanda rasa lega. Teman-temanku ikut tersenyum dengan berlega hati.
Kuperhatikan sekeliling jamaah, Fajori tak tampak hadir entah ke mana. Padahal tadi sama-sama bangun dari tidur, sama-sama berdiri dari ranjang asrama, sama-sama jalan menuju ke musholla.
‘Apakah Fajori kembali tidur?’
Dari dalam musholla yang berpintukan dinding kaca, terlihat seorang senior membuntuti pria kepala botak lompat kodok menuju musholla. Pria itu dihukum karena tidak ikut sholat subuh bersama kami. Rupanya sikepala botak itu adalah Fajori.
Sampai di dalam keramaian musholla, senior perintahkan Fajori jadi penceramah agama. Tapi Fajori tidak gugup sama sekali, karena punya banyak akal-akalan untuk mengelabui senior.
Sewaktu menaiki mimbar musholla, muka Fajori yang seperti orang songong di antara kami, berubah jadi muka orang paling tolol di dunia. itu adalah strategi dia agar senior tidak menghukumnya berlebihan... andaipun salah menyampaikan isi ceramah agama.
‘Assalamu'alaikum Warahmatullahi… Wabarakatu!’
‘Wa'alaikumussalam…’
‘Sholat wajib lima waktu itu adalah: pertama shubuh, kedua zuhur, ketiga ashar, keempat maghrib, kelima isya. Jangan lupakan sholat ya, teman-teman! Hanya itu yang dapat saya sampaikan, Assalamu'alaikum Warahmatullahi… Wabarakatu!’
‘Wa'alaikumussalam…..’
Mendengar ceramah agama dari Fajori, Ijan dan Kincai menahan tawa di perut, mereka berdua bisik-bisikan, ‘Anak TK juga tau itu, ihik ihik ihik.’
Fajori turun dari mimbar, pura-pura jalan membungkuk layaknya seperti orang santun. Berharap semoga ceramahnya dipuji oleh senior, dan berharap agar tidak ada hukuman susulan di asrama.
Tapi, baru berjalan dua langkah meninggalkan halaman musholla, senior tadi kembali memanggil Fajori.
‘Kamu ceramah apa tadi?’ tanya senior.
‘Ceramah tentang sholat, Bang,’ jawab Fajori sambil pasang muka tololnya.
‘Owh, gitu, ya?’
Hening lima detik, Mata senior melotot ke muka Fajori, dan Fajori menunduk sambil pasang muka tolol.
‘Lompat kodok lagi sana!’ kata senior.
Strategi mengelabui senior gagal total. Badan Fajori makin sempoyongan menuju asrama. Lututnya seakan mau copot. Datang ke musholla lompat kadok, pulang pun harus lompat kodok lagi, lantaran tidak bisa menjabarkan “Sholat Lima Waktu” dengan baik.
Doni Romza
Lanjut⬅Geser Layar HP Ke Kiri
Kami tidak diperkenankan menggunakan bahasa daerah sebulan penuh, semua aktifitas harus dijalankan dengan sempurna, latihan baris berbaris dengan baik. Satu orang melakukan kesalahan, maka yang lain tetap menerima hukuman. Akan tetapi, jika ada perlombaan baris berbaris antar sekolah, maka sekolah kamilah yang akan jadi pemenangnya. Karena aktifitas seperti itu sudah jadi santapan kami sehari-hari.
Jika berpapasan dengan senior, wajib hukumnya menegur sapa dan memberi hormat. Jika hal itu sampai kami lupakan, perintah “kumpul” lagi-lagi menjadi akibat atas kesalahan kami. Senior dengan tegas meminta kami mematuhi segala aturan. Segala aktifitas harus dijalankan dengan sigap, cepat, tepat, yang intinya tidak boleh telat sedikit pun juga.
Jadi kebiasaan kami curhat-curhatan di tempat tidur. Kincai mengeluh, ‘Asrama benar-benar seperti kandang harimau, ya?’ Ijan menyahut, ‘Iyo, senior sok jagoan.’ Fajori bilang, ‘Gak, biasa-biasa aja.’ Lalu mereka minta pendapatku, ‘Aaah,' aku malas berkomentar.
Ijan bicara lagi, 'Coba, bentak aden di luar asrama, aden patahkan kapalo senior itu. Belum tau inyo, aden ko preman gadang di terminal Padang.'
'Alaah, di luar, mah, saya juga berani,' kata Fajori.
'Mau tidur jam berapa? Ngomong terus dari tadi,' kata Kincai.
'Kamu kalau mau tidur, tidur aja,' jawab Fajori.
'Gini sajo, kata Ijan dan dia mengeluarkan ide, 'Siapo yang bicara lagi, kito panggil anak setan. Oke?’
‘Okeeee.’
Hening beberapa detik, mulut Fajori tak bisa diam, ‘Yung, Yung… ini serius. Kamu, kan pintar nulis surat. Coba kirim surat ke direksi pembunuhan, biar Mister Kapinding yang sok jagoan itu dikirim ke kuburan,' kata Fajori.
Kata-kata “direksi pembunuhan” sedikit aneh di telingaku. Aku yang tadinya sudah mengantuk berat, akhirnya bersuara juga.
‘Ado, yo, direksi pembunuhan?’ tanyaku.
‘Ada… Malaikat Maut,’ jawab Fajori.
Aku terdiam kesal, tapi Fajori terus melanjutkan banyolannya,
‘Kamu mau tau gak, alamat Malaikat Maut?’ tanya Fajori lagi.
Aku masih diam, seolah-olah tidak mau mendengarkan Fajori, tapi lagi-lagi Fajori meneruskan.
‘Desa Kebun Tebu. Jalan Rel Kereta Api. Kaucampakkan Jembatan Gantung. Kuburpaten Sumur Tua. Ha ha ha.’
‘Stres. Anak setan!’ kesalku.
‘Ha ha ha.’ Fajori kembali terkekeh.
Ijan menakut-nakuti Fajori, ‘Dengar yo! Tetangga aden bicara Malaikat Maut malam-malam, paginyo langsung mati’
Hening.
Fajori menutupi mukanya dengan seprey. Sepertinya dia juga takut mati besok pagi.
‘ASTAGHFIRULLAAH,’ Fajori Tobat dadakan.
Perlahan ajang curhat-curhatan jadi sunyi. Malam semakin larut, mata terasa susah dibawa lelap. Kulihat Kincai ngorok sambil tengkurap, Ijan mengangkang telanjang dada, Fajori mencongkel-congkel lubang hidung, menggeliat garuk-garuk pantat. Sepertinya mereka sudah tak sadarkan diri. Tak beberapa lama, aku juga menyusul seperti mereka, MOLOR!
Lelapnya malam terasa singkat, lonceng pertanda subuh telah terdengar. Kami tidak lupa membangunkan teman-teman yang masih ketiduran. Walau lelah di sekujur tubuh, walau mulut menguap tak terhitung, tetap ke mushola dengan langkah sempoyongan. Ambil wudhu asal-asalan, subuh pun selesai berjamaah.
Kami harus bisa jadi penceramah. Tak ada kata penolakan, tak ada alasan tak bisa. Meski judul ceramah Rukun Iman lagi dan Rukun Islam lagi, semua berlaku untuk semua junior.
Kaget ketika protokol memanggil namaku jadi penceramah. Aku tidak biasa bicara di hadapan orang banyak, apalagi jadi penceramah agama.
Walau pernah jadi bilal di musholla kampung, itu pun berjalan tidak lama, hanya ketika bulan puasa saja. Aku gugup luar biasa, linglung setengah mati. Perlahan kucoba berdiri dan naik ke atas mimbar.
Kulihat saf bagian belakang, semua senior memperlihatkan muka masam. Kulihat saf bagian depan, terlihat teman-temanku menopang dagu dengan wajah yang tertekan. Suasana itu membuat aku semakin gugup. Jarum jam terus berputar di dinding musholla, jantungku seakan mau copot, tak kalah kencang dibandingkan detak jarum jam di dinding musholla.
‘Kelamaaan,’
Seorang senior berteriak dari saf bagian belakang. Dia membentakku untuk segera memulai ceramah.
Tak ada pilihan lagi, semua aturan yang sudah jadi turun temurun dari dulu, harus dilaksanakan dengan baik. Jika ada yang salah dengan cara mereka kepada kami, mungkin cara mereka saja yang salah, karena hakikat dan tujuan mereka baik untuk kami.
‘Bissmillah.’
Lantaran sering membaca buku-buku Sejarah Nabi milik Ayah, dan senang melihat ustadz-ustadz berceramah di musholla kampung, sedikit membantu aku untuk menghilangkan rasa gugup. Kumulai ceramah itu...,
‘Dikala Raja Namrud mengaku diri sebagai Tuhan, “Bisa menghidupkan orang jika dibiarkan hidup, dan mematikan orang jika orang itu dibunuh.” Nabi Ibrahim mengatakan, “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah matahari itu dari barat!” Lalu terdiamlah orang kafir itu, dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim (Al Baqarah Ayat 258).'
Aku menyudahi ceramah agama tentang perdebatan Raja Namrud dengan Nabi Ibrahim, selama 10 menit. Kutarik nafas panjang pertanda rasa lega. Teman-temanku ikut tersenyum dengan berlega hati.
Kuperhatikan sekeliling jamaah, Fajori tak tampak hadir entah ke mana. Padahal tadi sama-sama bangun dari tidur, sama-sama berdiri dari ranjang asrama, sama-sama jalan menuju ke musholla.
‘Apakah Fajori kembali tidur?’
Dari dalam musholla yang berpintukan dinding kaca, terlihat seorang senior membuntuti pria kepala botak lompat kodok menuju musholla. Pria itu dihukum karena tidak ikut sholat subuh bersama kami. Rupanya sikepala botak itu adalah Fajori.
Sampai di dalam keramaian musholla, senior perintahkan Fajori jadi penceramah agama. Tapi Fajori tidak gugup sama sekali, karena punya banyak akal-akalan untuk mengelabui senior.
Sewaktu menaiki mimbar musholla, muka Fajori yang seperti orang songong di antara kami, berubah jadi muka orang paling tolol di dunia. itu adalah strategi dia agar senior tidak menghukumnya berlebihan... andaipun salah menyampaikan isi ceramah agama.
‘Assalamu'alaikum Warahmatullahi… Wabarakatu!’
‘Wa'alaikumussalam…’
‘Sholat wajib lima waktu itu adalah: pertama shubuh, kedua zuhur, ketiga ashar, keempat maghrib, kelima isya. Jangan lupakan sholat ya, teman-teman! Hanya itu yang dapat saya sampaikan, Assalamu'alaikum Warahmatullahi… Wabarakatu!’
‘Wa'alaikumussalam…..’
Mendengar ceramah agama dari Fajori, Ijan dan Kincai menahan tawa di perut, mereka berdua bisik-bisikan, ‘Anak TK juga tau itu, ihik ihik ihik.’
Fajori turun dari mimbar, pura-pura jalan membungkuk layaknya seperti orang santun. Berharap semoga ceramahnya dipuji oleh senior, dan berharap agar tidak ada hukuman susulan di asrama.
Tapi, baru berjalan dua langkah meninggalkan halaman musholla, senior tadi kembali memanggil Fajori.
‘Kamu ceramah apa tadi?’ tanya senior.
‘Ceramah tentang sholat, Bang,’ jawab Fajori sambil pasang muka tololnya.
‘Owh, gitu, ya?’
Hening lima detik, Mata senior melotot ke muka Fajori, dan Fajori menunduk sambil pasang muka tolol.
‘Lompat kodok lagi sana!’ kata senior.
Strategi mengelabui senior gagal total. Badan Fajori makin sempoyongan menuju asrama. Lututnya seakan mau copot. Datang ke musholla lompat kadok, pulang pun harus lompat kodok lagi, lantaran tidak bisa menjabarkan “Sholat Lima Waktu” dengan baik.
Doni Romza
Lanjut⬅Geser Layar HP Ke Kiri