Skip to main content

Dua Ranah - Kepedean Jadi Imam Sholat

Kejahilan, pemaksaan, kekerasan: tiga kata berbeda, tetapi menanamkan satu tujuan dalam pelaksanaannya, yaitu jalan menuju tampuk kekuasaan asrama.

Bukan senior namanya jika tidak dikenal oleh juniornya. Bukan senior namanya jika tak bisa tampil beda dengan yang lainnya. Tabiat yang terbentuk bukanlah bawaan dari lahir, melainkan sikap dibuat-buat yang hanya datang dari lingkungan asrama itu sendiri.

Segala kemampuan mereka pamerkan, segala kekuatan mereka perlihatkan. Tingkah mereka menjadi-jadi. Kejahilan berganti dengan pemaksaan. Pemaksaan pun berganti dengan kekerasan. Senior berprilaku tak senonoh. Segala kemauan mereka harus dituruti.

Standilof



Pekerjaan ringan yang aku jalankan hanyalah membantu senior menuliskan surat cinta. Surat cinta senior-senior yang kalah saing mendapatkan siswi-siswi di asrama, hingga kenalan siswi sekolah lain jadi gebetan baru.

Dengan upah sebatang rokok, kubuatkan surat cinta untuk gebetan mereka. Walau tida pernah merasakan indahnya pacaran, tetapi aku mengerti bagaimana rasanya jatuh cinta.

Kebiasaanku menulis puisi diketahui oleh senior-senior. Sejak saat itu, aku jadi langganan mereka dalam urusan menuliskan surat cinta. Surat cinta untuk orang lain.

Lain dari itu, perintah senior identik dengan kekerasan: menyiksa pikiran, menguras tenaga, bahkan mendera bathin. Mereka suka bermalas-malasan. Urusan mencuci pakaian kotor, kamilah yang jadi sasaran. Ketika kelelahan setelah main sepak bola, kamilah yang jadi tukang pijat mereka. Tak keburu berbaris di ruang makan asrama, kami jugalah yang membawakan makanan mereka. Jika lapar di tengah malam, kami dibangunkan dari tempat tidur, diperintahkan membeli sesuatu yang bisa membuat perut mereka menjadi kenyang.

Apabila kami kembali tidak membawa apa-apa, alamat sial yang harus kami terima. Diinterogasi dan dikasari, hingga selalu jadi objek kejahilan.

Jika kami menolak perintah mereka, lorong asrama jadi saksi ceramah panjang. Dianggap tak menghormati, dikira tak menghargai. Wajah kami jadi bulan-bulanan tangan mereka, badan kami jadi terjangan kaki mereka. Tak puas dengan semua itu, merayap di got basah pun jadi ide baru. Mereka hanya tertawa tanpa belas kasihan.




Satu kejadian yang membuat kami tak habis pikir adalah kejadian sewaktu acara wirit di luar asrama. Selain aktifitas kerja bakti, olah raga,drumband, di luar belajar wajib, sekolah juga mengadakan aktifitas kerohanian seperti wirit dan ceramah agama. Wirit Hari Jumat, diadakan di lingkungan asrama, dengan penceramah siswa-siswi secara bergantian. Wirit Hari Rabu, diadakan di masjid luar asrama, dengan menghadirkan ustadz-ustadz yang kami undang.

Rabu, selesai makan malam, kami seluruh siswa baik junior maupun senior berbondong-bondong pergi ke masjid untuk mendengarkan siraman rohani dari ustadz-ustadz yang kami undang. Ceramah selesai pukul 20.30 malam, kami siap-siap berwudhu untuk melaksanakan sholat isya.

Mister Kapinding sengaja berdiri di samping Pak Ustadz, berharap Pak Ustadz mempersilakannya maju menjadi imam sholat. Tanpa merasa grogi sedikit pun juga, dia maju dan menyerukan “Saf, lurus dan dirapatkan” ke ratusan jamaah masjid.

Sholat isya dimulai, masjid yang penuh dengan ratusan jamaah seketika hening. Kekushukan diperlihatkan Mister Kapinding yang mendengungkan bacaan Allahu Akbar penuh hikmat. Keheningan berlanjut ketika Mister Kapinding melantunkan ayat-ayat Al-Fatihahdengan irama nan indah, fasih, layaknya imam-imam masjid lainnya.

Al-Fatihah selesai, ‘Ghairil maghduubi' alaihim waladaaliin.’ 

Aamiin.

Sambutan “Aamiin” dari ratusan jamaah, membuat Mister Kapinding semakin berapi-api melanjutkan bacaan ayat berikutnya. 

BismillahirohmanirrohimAllahuma lakasumtu wabika amantu…’ Seorang Jamaah protes dari belakang,

'Oiii. Puaso, Waang?’

‘Hua ha ha ha ha ha.’

Sontak, seisi masjid yang tadinya hening mendadak riuh seperti acara komedian. Bahkan ustadz yang kami undang juga ikut tertawa menahan geli. Mungkin pertama kali Pak Ustadz  mendengar bacaan buka puasa di saat sholat berlangsung.

Mendengar tawa semakin riuh, Mister Kapinding sadar akan kesalahannya. Doa berbuka puasa diganti dengan Surat Al-Ikhlas.

'Qul Huwallahu AhadAllahushomad ….’  Itu pun setelah diingatkan oleh salah satu jamaah.

Di perjalanan dari masjid menuju asrama, senior lain terus-terusan memperolok-olokan Mister Kapinding.

'Waang, mau sholat apa buka puaso?’ 

Mimik muka Mister Kapinding malu teramat sangat. Kami juga ikut-ikutan tertawa dengan kejadian itu. Tetapi apa yang terjadi?

Kami mengira kekonyolan itu hanyalah sebuah hiburan yang tak terduga, dan berakhir saat itu juga. Belum sampai di kamar kami masing-masing, Mister Kapinding sudah menunggu kami di lorong asrama.

Kami diperintahkan “kumpul” saat itu juga, absensi diperiksa satu persatu. Bagi mereka yang tidak hadir malam itu, akan dipanggil di malam berikutnya. Malam yang tidak menyenangkan ... kami diceramahi dan digebuki.

‘Kenapa tadi kalian ikut-ikutan tertawa? Kalian merasa pintar? Kalian mau jadi jagoan di hadapan saya?’
‘Tidak, Baaaaaaang.’

Macam-macam ocehan Mister Kapinding melampiaskan marahnya. Satu persatu kami yang berbaris diajak berkelahi. Tak ada di antara kami yang berani untuk meladaninya.

Tubuh Mister Kapinding terlihat sangat kekar, dan kami bingung, hal apa yang membuat kami ketakutan dengan Mister Kapinding. Padahal bisa saja Mister kapinding kami keroyok sama-sama. Tapi tidak satu pun berpikiran demikian. Kami seolah-olah sudah ditakdirkan menerima tradisi yang ada, menerima apapun kemarahan senior.

Sampai pukul 02.00 larut malam, Mister Kapinding tidak bisa tidur di kamarnya. Perasaan malu masih menari-nari di otaknya, hingga kelaparan di tengah malam. Mister Kapinding membangunkan Standilof dari tempat tidurnya. Lalu perintahkan Standilof membeli indomi ke warung warga. 

Dengan rasa terpaksa, Standilof pergi memenuhi. Tapi sial buat Standilof, kembali ke asrama, bukannya indomi yang dia bawa, tetapi bawa dengkul alias tangan kosong. Pemilik warung tidak mau dibangunkan di tengah malam.

Melihat Standilof yang kembali tidak membawa apa-apa, Mister kapinding kesal bukan kepalang, dia seperti orang stres yang tidak bisa berpikir tenang lagi. Apa yang terlintas dipikirannya malam itu, harus segera dilakukan.

‘Cari nyamuk sepuluh ekor hidup-hidup!’

Standilof pusing tujuh keliling, kelabakan cari nyamuk ke sana ke sini, Mondar mandir hingga ayam berkokok. Perjuangan mencari nyamuk berakhir di azan subuh.

Apa mungkin hal itu bisa dikerjakan?

Cari nyamuk sepuluh ekor hidup-hidup tanpa menggunaan satu perangkap pun. Sampai kucing bertelur sekalipun tidak bakalan bisa ditangkap. Minta tolong sama cicak pun, cicak juga mengundurkan diri jadi cicak.

Standilof menyerah ke hadapan Mister Kapinding, meminta maaf berulang kali, sampai Mister Kapinding mau sedikit berbaik hati kepadanya. Tapi tetap saja Mister Kapinding merasa tak puas diri. Rasa kesal di benaknya tak mau hilang. Di penghujung pagi, Mister kapinding mendorong jidat Standilof.

‘Pergi sana!’


Bersambung
+Potongan

Popular posts from this blog

6 Alasan Yang Membuat Anak SUPM Layak Jadi Pemimpin

Secara konstitusional maupun nonkonstitusional,  politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan. Tak sedikit di antara mereka yang haus akan kekuasaan, berlomba-lomba untuk bisa jadi pemimpin. Tak peduli asalnya dari mana, tak penting latar belakangnya apa. Karena syarat jadi calon penguasa tidak pernah mempertanyakan asalnya dari mana? Kuliah lulusan apa? Atau wawasannya apa saja? Yang penting bisa jadi penguasa, apapun caranya itu. 'Ehem.' Bermacam sudut pandang mengatakan, bahwa untuk jadi seorang pemimpin tentunya diperlukan wawasan yang luas, ulet, kompeten, bertanggung jawab, plus dukungan penuh oleh orang-orang yang akan dipimpin.  Itu bukanlah perkara yang mudah. Banyak terjadi di dunia perpolitikan, pemimpin-pemimpin yang hadir, jauh dari apa yang kita harapkan, seringkali kacang lupa dengan kulitnya. Berbeda jauh dengan anak-anak SUPM, yang tetap ingat dan mengayomi bawahannya, meski jarak umur berpuluh tahun sekalipun. Ya sudahlah! Dunia po

Rotan Itu Hanya Melengkung, Bukan Patah! |Adosinfo

By: DR Taktik dan siasat tidak hanya berlaku dalam politik. Tapi juga dalam hal lainnya, termasuk dalam dunia usaha, yang menggunakan bermacam cara untuk mencari keuntungan lebih. Itu hal positif selama dilakukan dengan cara yang positif pula. Tapi apa jadinya jika siasat itu dilakukan dengan cara yang tidak transfaran, penuh kecurangan. Mungkin gelagat pecundang bisa tak terlihat saat kebohongan ia lakukan. Nyalinya tak gemetaran ketika ada sesuatu hal yang diperdebatkan. Tapi bagi seorang pemenang, harus mampu membaca arah siasat buruk itu, untuk menyiapkan siasat lainnya, agar tidak merasa dirugikan. Tak perlu berargumen panjang lebar untuk menguji sebuah kebenaran. Tak perlu menggunakan kedua tangan untuk meruntuhkan kokohnya sebuah komitmen, selama hal itu masih berlaku untuk hal-hal yang positif. Satu hal yang perlu difahami: Rotan itu hanya melengkung, bukan patah!! Hanya kelapukkan yang bisa mematahkan rotan. Tunggulah rotan itu lapuk pada waktunya.

Hiduplah Seperti Kereta Berjalan | Adosinfo

Hidup akan terus berjalan, tapi banyak hal yang perlu kita ketahui bagaimana mestinya menjalani hidup semestinya? Karena yang namanya hidup tidak lepas dari ujian ataupun cobaan. Walau adakalanya hidup menerima puja dan pujian, hidup tidak lepas dari caci dan hinaan. Bergantung atas apa yang telah kita perbuat di muka bumi ini, dan bergantung bagaimana sudut pandang orang-orang yang menilai kita.  Ya… begitulah hidup, tidak semua keinginan mampu kita wujudkan, lantaran hidup ini akan ada liku dan jalan terjal. Hidup butuh inspirasi dan motivasi untuk meraih sesuatu. Tapi hidup ini terlalu terbalut angan bila hanya terinspirasi oleh kisah kesuksesan seseorang, atau termotivasi oleh omongan seseorang yang memang ahlinya sebagai motivator ulung, yang mampu merangkai kata demi kata. Kita mesti bijak menyikapi sebuah inspirasi dan motivasi. Karena cerita orang sukses akan tetap jadi cerita yang menggiurkan, bila memang mereka mampu meraih kesuksesan dalam hidup mereka. Tapi bila mere