Kejahilan, pemaksaan, kekerasan: tiga kata berbeda, tetapi menanamkan satu tujuan dalam pelaksanaannya, yaitu jalan menuju tampuk kekuasaan asrama.
Bukan senior namanya jika tidak dikenal oleh juniornya. Bukan senior namanya jika tak bisa tampil beda dengan yang lainnya. Tabiat yang terbentuk bukanlah bawaan dari lahir, melainkan sikap dibuat-buat yang hanya datang dari lingkungan asrama itu sendiri.
Segala kemampuan mereka pamerkan, segala kekuatan mereka perlihatkan. Tingkah mereka menjadi-jadi. Kejahilan berganti dengan pemaksaan. Pemaksaan pun berganti dengan kekerasan. Senior berprilaku tak senonoh. Segala kemauan mereka harus dituruti.
Bukan senior namanya jika tidak dikenal oleh juniornya. Bukan senior namanya jika tak bisa tampil beda dengan yang lainnya. Tabiat yang terbentuk bukanlah bawaan dari lahir, melainkan sikap dibuat-buat yang hanya datang dari lingkungan asrama itu sendiri.
Segala kemampuan mereka pamerkan, segala kekuatan mereka perlihatkan. Tingkah mereka menjadi-jadi. Kejahilan berganti dengan pemaksaan. Pemaksaan pun berganti dengan kekerasan. Senior berprilaku tak senonoh. Segala kemauan mereka harus dituruti.
Pekerjaan ringan yang aku jalankan hanyalah membantu senior menuliskan surat cinta. Surat cinta senior-senior yang kalah saing mendapatkan siswi-siswi di asrama, hingga kenalan siswi sekolah lain jadi gebetan baru.
Dengan upah sebatang rokok, kubuatkan surat cinta untuk gebetan mereka. Walau tida pernah merasakan indahnya pacaran, tetapi aku mengerti bagaimana rasanya jatuh cinta.
Kebiasaanku menulis puisi diketahui oleh senior-senior. Sejak saat itu, aku jadi langganan mereka dalam urusan menuliskan surat cinta. Surat cinta untuk orang lain.
Dengan upah sebatang rokok, kubuatkan surat cinta untuk gebetan mereka. Walau tida pernah merasakan indahnya pacaran, tetapi aku mengerti bagaimana rasanya jatuh cinta.
Kebiasaanku menulis puisi diketahui oleh senior-senior. Sejak saat itu, aku jadi langganan mereka dalam urusan menuliskan surat cinta. Surat cinta untuk orang lain.
Lain dari itu, perintah senior identik dengan kekerasan: menyiksa pikiran, menguras tenaga, bahkan mendera bathin. Mereka suka bermalas-malasan. Urusan mencuci pakaian kotor, kamilah yang jadi sasaran. Ketika kelelahan setelah main sepak bola, kamilah yang jadi tukang pijat mereka. Tak keburu berbaris di ruang makan asrama, kami jugalah yang membawakan makanan mereka. Jika lapar di tengah malam, kami dibangunkan dari tempat tidur, diperintahkan membeli sesuatu yang bisa membuat perut mereka menjadi kenyang.
Apabila kami kembali tidak membawa apa-apa, alamat sial yang harus kami terima. Diinterogasi dan dikasari, hingga selalu jadi objek kejahilan.
Apabila kami kembali tidak membawa apa-apa, alamat sial yang harus kami terima. Diinterogasi dan dikasari, hingga selalu jadi objek kejahilan.
Jika kami menolak perintah mereka, lorong asrama jadi saksi ceramah panjang. Dianggap tak menghormati, dikira tak menghargai. Wajah kami jadi bulan-bulanan tangan mereka, badan kami jadi terjangan kaki mereka. Tak puas dengan semua itu, merayap di got basah pun jadi ide baru. Mereka hanya tertawa tanpa belas kasihan.
Satu kejadian yang membuat kami tak habis pikir adalah kejadian sewaktu acara wirit di luar asrama. Selain aktifitas kerja bakti, olah raga,drumband, di luar belajar wajib, sekolah juga mengadakan aktifitas kerohanian seperti wirit dan ceramah agama. Wirit Hari Jumat, diadakan di lingkungan asrama, dengan penceramah siswa-siswi secara bergantian. Wirit Hari Rabu, diadakan di masjid luar asrama, dengan menghadirkan ustadz-ustadz yang kami undang.
Rabu, selesai makan malam, kami seluruh siswa baik junior maupun senior berbondong-bondong pergi ke masjid untuk mendengarkan siraman rohani dari ustadz-ustadz yang kami undang. Ceramah selesai pukul 20.30 malam, kami siap-siap berwudhu untuk melaksanakan sholat isya.
Mister Kapinding sengaja berdiri di samping Pak Ustadz, berharap Pak Ustadz mempersilakannya maju menjadi imam sholat. Tanpa merasa grogi sedikit pun juga, dia maju dan menyerukan “Saf, lurus dan dirapatkan” ke ratusan jamaah masjid.
Sholat isya dimulai, masjid yang penuh dengan ratusan jamaah seketika hening. Kekushukan diperlihatkan Mister Kapinding yang mendengungkan bacaan Allahu Akbar penuh hikmat. Keheningan berlanjut ketika Mister Kapinding melantunkan ayat-ayat Al-Fatihahdengan irama nan indah, fasih, layaknya imam-imam masjid lainnya.
Al-Fatihah selesai, ‘Ghairil maghduubi' alaihim waladaaliin.’
‘Aamiin.’
Sambutan “Aamiin” dari ratusan jamaah, membuat Mister Kapinding semakin berapi-api melanjutkan bacaan ayat berikutnya.
‘Bismillahirohmanirrohim. Allahuma lakasumtu wabika amantu…’ Seorang Jamaah protes dari belakang,
'Oiii. Puaso, Waang?’
'Oiii. Puaso, Waang?’
‘Hua ha ha ha ha ha.’
Sontak, seisi masjid yang tadinya hening mendadak riuh seperti acara komedian. Bahkan ustadz yang kami undang juga ikut tertawa menahan geli. Mungkin pertama kali Pak Ustadz mendengar bacaan buka puasa di saat sholat berlangsung.
Mendengar tawa semakin riuh, Mister Kapinding sadar akan kesalahannya. Doa berbuka puasa diganti dengan Surat Al-Ikhlas.
'Qul Huwallahu Ahad, Allahushomad ….’ Itu pun setelah diingatkan oleh salah satu jamaah.
'Qul Huwallahu Ahad, Allahushomad ….’ Itu pun setelah diingatkan oleh salah satu jamaah.
Di perjalanan dari masjid menuju asrama, senior lain terus-terusan memperolok-olokan Mister Kapinding.
'Waang, mau sholat apa buka puaso?’
Mimik muka Mister Kapinding malu teramat sangat. Kami juga ikut-ikutan tertawa dengan kejadian itu. Tetapi apa yang terjadi?
'Waang, mau sholat apa buka puaso?’
Mimik muka Mister Kapinding malu teramat sangat. Kami juga ikut-ikutan tertawa dengan kejadian itu. Tetapi apa yang terjadi?
Kami mengira kekonyolan itu hanyalah sebuah hiburan yang tak terduga, dan berakhir saat itu juga. Belum sampai di kamar kami masing-masing, Mister Kapinding sudah menunggu kami di lorong asrama.
Kami diperintahkan “kumpul” saat itu juga, absensi diperiksa satu persatu. Bagi mereka yang tidak hadir malam itu, akan dipanggil di malam berikutnya. Malam yang tidak menyenangkan ... kami diceramahi dan digebuki.
Kami diperintahkan “kumpul” saat itu juga, absensi diperiksa satu persatu. Bagi mereka yang tidak hadir malam itu, akan dipanggil di malam berikutnya. Malam yang tidak menyenangkan ... kami diceramahi dan digebuki.
‘Kenapa tadi kalian ikut-ikutan tertawa? Kalian merasa pintar? Kalian mau jadi jagoan di hadapan saya?’
‘Tidak, Baaaaaaang.’
Macam-macam ocehan Mister Kapinding melampiaskan marahnya. Satu persatu kami yang berbaris diajak berkelahi. Tak ada di antara kami yang berani untuk meladaninya.
Tubuh Mister Kapinding terlihat sangat kekar, dan kami bingung, hal apa yang membuat kami ketakutan dengan Mister Kapinding. Padahal bisa saja Mister kapinding kami keroyok sama-sama. Tapi tidak satu pun berpikiran demikian. Kami seolah-olah sudah ditakdirkan menerima tradisi yang ada, menerima apapun kemarahan senior.
Tubuh Mister Kapinding terlihat sangat kekar, dan kami bingung, hal apa yang membuat kami ketakutan dengan Mister Kapinding. Padahal bisa saja Mister kapinding kami keroyok sama-sama. Tapi tidak satu pun berpikiran demikian. Kami seolah-olah sudah ditakdirkan menerima tradisi yang ada, menerima apapun kemarahan senior.
Sampai pukul 02.00 larut malam, Mister Kapinding tidak bisa tidur di kamarnya. Perasaan malu masih menari-nari di otaknya, hingga kelaparan di tengah malam. Mister Kapinding membangunkan Standilof dari tempat tidurnya. Lalu perintahkan Standilof membeli indomi ke warung warga.
Dengan rasa terpaksa, Standilof pergi memenuhi. Tapi sial buat Standilof, kembali ke asrama, bukannya indomi yang dia bawa, tetapi bawa dengkul alias tangan kosong. Pemilik warung tidak mau dibangunkan di tengah malam.
Dengan rasa terpaksa, Standilof pergi memenuhi. Tapi sial buat Standilof, kembali ke asrama, bukannya indomi yang dia bawa, tetapi bawa dengkul alias tangan kosong. Pemilik warung tidak mau dibangunkan di tengah malam.
Melihat Standilof yang kembali tidak membawa apa-apa, Mister kapinding kesal bukan kepalang, dia seperti orang stres yang tidak bisa berpikir tenang lagi. Apa yang terlintas dipikirannya malam itu, harus segera dilakukan.
‘Cari nyamuk sepuluh ekor hidup-hidup!’
Standilof pusing tujuh keliling, kelabakan cari nyamuk ke sana ke sini, Mondar mandir hingga ayam berkokok. Perjuangan mencari nyamuk berakhir di azan subuh.
Apa mungkin hal itu bisa dikerjakan?
Cari nyamuk sepuluh ekor hidup-hidup tanpa menggunaan satu perangkap pun. Sampai kucing bertelur sekalipun tidak bakalan bisa ditangkap. Minta tolong sama cicak pun, cicak juga mengundurkan diri jadi cicak.
Cari nyamuk sepuluh ekor hidup-hidup tanpa menggunaan satu perangkap pun. Sampai kucing bertelur sekalipun tidak bakalan bisa ditangkap. Minta tolong sama cicak pun, cicak juga mengundurkan diri jadi cicak.
Standilof menyerah ke hadapan Mister Kapinding, meminta maaf berulang kali, sampai Mister Kapinding mau sedikit berbaik hati kepadanya. Tapi tetap saja Mister Kapinding merasa tak puas diri. Rasa kesal di benaknya tak mau hilang. Di penghujung pagi, Mister kapinding mendorong jidat Standilof.
‘Pergi sana!’
Bersambung
+Potongan