Pilih-pilih guru mengajar, jadi perangai terburuk kami sewaktu kelas 2. Jika guru lulusan pelayaran mengajar di kelas, maka kami akan mengikuti pelajaran itu dengan serius. Tapi jika guru luar seperti Bahasa Inggris dan matematika yang mengajar, ruang kelas riuh seperti bapak-bapak ngumpul ngomongin politik.
Bangku bagian depan diisi oleh siswa-siswa kuper, dengan ledekan “generasi penerus bangsa” oleh Basir. Bangku bagian tengah diisi oleh siswa angin-anginan alias labil, kadang serius, kadang ikut-ikutan membuat kebisingan. Bagian belakang diisi oleh siswa yang persis seperti bapak-bapak yang sok tau politik tadi.
Pojok kiri belakang, terjadi perdebatan panas antara Betril dengan Wanarta. Betril punya Bapak seorang polisi, sedangkan Wanarta punya Bapak seorang tentara.
Digadang-gadang sebagai calon terkuat jadi seksi kerohanian, Betril menyibukan diri mengurusi junior di musholla. Dia membiasakan diri mengkritisi junior di setiap kegiatan rohani.
Tapi di mata Wanarta, apa yang dilakukan Betril, hanyalah mencari perhatian dan sensasi belaka, agar semua junior bisa mengenal Betril dengan cepat.
Tidak terima dengan tuduhan Wanarta, Betril bilang, ‘Eh, Wan. Bapak waang yang tentara berantai itu dinas di mana?’
Pernah berkunjung ke asrama, Bapak Wanarta tampak gagah dibalut seragam lengkap tentara dinas. Semua mata memandang tertuju kehadapan Bapak Wanarta. Tapi bukan karena baju tentaranya, melain karena rantai dompet yang mencolok melilit pinggang.
Mendengar sebutan tentara berantai, bathin Wanarta tidak bisa terima, ditambah pula tawa mengakak dari teman-teman yang mendengarkan.
‘Mendingan Bapak Aden, daripado Bapak waang. Menahan motor orang, cuma gara-gara motor orang ndak punyo tutup pentil,' kata Wanarta.
Riuh di kelas semakin riuh, Wanarta semakin ngotot menghina Betril.
'Jadi ndak salah nama waang dipanggil “Buya Sex”, Bapak waang sajo seperti itu, apolagi waang,’ kata Wanarta.
Bu Rosna yang sedang mengajar di depan kelas, mencoba marah semampu dia, Tadinya menjelaskan materi pelajaran dengan Bahasa Indonesia utuh, berubah jadi Bahasa Indominang, setengah ular setengah belut.
'Apalah kalian ini haaa? Mau jadi apa kalian nantiiik? Ga boleh berisik di kelas dooo!'
Mereka tak pedulikan ocehan Bu Rosna. Mereka sama-sama naik pitam.
‘Ndak usah bawa-bawa Bapak,' kata Betril.
Waang yang bawa-bawa Bapak duluan, ' jawab Wanarta.
'Stsssssssss.'
Bu Rosna meminta diam. Hening beberapa detik saja.
'Mendingan Bapak aden daripado waang, perut buncit. Sok punya mental kuat. Tapi bukan mental yang kuat, otak yang tak ado,' kata Betril.
'Stssssss!'
Bu Rosna jadi sakit kepala, dia kembali meminta diam. Sudah berbusa mulut Bu Rosna menjelaskan materi pelajaran, tak seorang pun mau mendengarkan.
Betril terus meledek Wanarta, ‘Bapak waang pantasnyo di buang ke Palestina!’ kata Betril.
'Bapak waang cocoknyo jadi perampok, bukan polisi!’ balas Wanarta.
Teman-teman yang duduk di bangku bagian tengah, ikut membuat perdebatan mereka semakin panas.
‘Hajaaaar. Aloloko?'
Bu Rosna berhenti menulis di papan tulis, mengancam, 'Jika kalian masih berisik juga, kalian akan saya laporkan ke kepala sekolah.'
Perdebatan Betril dan Wanarta jadi terhenti, tapi di pojok kanan bagian belakang, terdengar suara Toki dan Robert memperdebatkan mana yang lebih jago antara Barcelona dengan Real Madrid? Ajis dan Pendra memperdebatkan mana yang lebih cantik antara anak SMU dengan anak SPK? Sementra Fajori dan Bambang, bersitegang bicara antara pahala dengan dosa.
Basir yang sedang tidur-tiduran di meja belajarnya, meresa terusik dengan ulah Fajori dan Bambang. Dia bangun dari tidurnya, dan melontarkan kata-kata.
'Kalian kalau urusan pahala tau semua. Udah kayak Tuhan kalian. Tuhan Maha Tahu, kalo kalian... sok tau,' kata Basir.
Seisi kelas kembali heboh karena ucapan Basir, Bu Rosna hanya bisa terheran diam. Basir pun kembali tidur di mejanya, berlagak seolah-olah tak punya dosa. Tapi,
‘Kalau waang bagaimana, Sir?’ tanya Eston. dan Basir bangun lagi, ‘Kalau aden, orangnya tak mau tau,' jawab Basir.
Semua ketawa mengakak kencang. Keriuan sudah tidak bisa dikendalikan, Basir kembali berpura-pura tidur.
Bu Rosna geleng-geleng kepala. Mungkin dalam pikiran Bu Rosna, ‘Ini anak sekolah, apa anak gembel pakai seragam sekolah?’
Ruang kelas terdiam sejenak. Dari jendela terlihat Bapak Kepala Sekolah mau lewat. Bapak Kepala Sekolah melihat ke ruang kelas, sambil berjalan. Semua pasang muka serius memperhatikan papan tulis, berpura-pura memperhatikan pelajaran.
Tapi setelah berada di kejauhan, lagi-lagi Betril dan Wanarta ledek-ledekan Bapak. Toki dan Robert kembali berdebat tentang bola. Fajori kembali memperdebatkan antara dosa dan pahala. Basir pun kembali tidur-tiduran di meja belajarnya. Kecuali Pendra yang sudah kalah debat dengan kengototan Ajis.
'Aloloko?'
Bu Rosna menghela nafasnya dalam-dalam. Semua selesai ledek-ledekan, dan Bu Rosna sudah malas menjelaskan materi pelajaran.
‘Apa ada pertanyaan?’ tanya Bu Rosna.
Basir yang tadinya tidur, langsung mengacungkan tangan.
‘Ada, Bu,' kata Basir.
‘Ya, silakan!' kata Bu Rosna.
‘Ibu, kuliahnya di mana dulu, Bu?’
‘Ibu kuliah di UNP, kenapa?’ tanya Bu Rosna.
‘Susah gak kuliah itu, Bu?’ Basir bukannya menjawab pertanyaan Bu Rosna, malah bertanya lagi.
‘Kalau materi dari dosen diikuti dengan serius, gak susah, kok. Basir mau kuliah juga?’ tanya balik Bu Rosna.
‘Gak sih, Bu, pengen tau aja. Dulu, tetangga saya juga kuliah di UNP. Sekarang udah kerja di Kantor Camat Solok. Tapi dia udah kawin, udah punya anak juga dua. Kalau saya… rencana mau berlayar ke Jepang, Bu. Kurang minat jadi pegawai negeri. Soalnya tetangga saya udah banyak yang jadi pegawai negeri, Bu.’
‘Ohh, gitu,’ sahut Bu Rosna, dan Bu Rosna bertanya lagi, 'Jadi maksud pertanyaannya apa?'
'Kan nanya, Bu. Masa ga boleh,' jawab Basir sambil pasang muka cuek.
Bu Rosna terpaksa melayani Basir. Karena pertanyaan usil itu tidak sampai di situ saja.
'Ibu lulusan tahun berapa? Kayaknya kenal, deh, sama tetangga saya yang satu lagi. Nama di kampungnya Kulih Picak, dia juga jurusan Bahasa Inggris. Sekarang ngajar di di SMA Solok.’
‘Ibu lulusan tahun sembilan sembilan. Sebenarnya Ibu ngajar tetap di sekolah lain, tapi karena Pak Lasjon meminta Ibu ngajar di sini, ya... ibu ke sini,' jawab Bu Rosna sambil garuk-garuk kepala.
‘Ooooooooo.'
Basir manggut-manggut, berlagak pasang muka serius. Padahal tujuan dia sangat jelas: agar Bu Rosna tidak membahas pelajaran Bahasa Inggris lagi.
‘Berarti...' kata Basir.
(Pertanyaan berikutnya).’
‘(Pertanyaan berikutnya).’
‘(Pertanyaan berikutnya).’
Jam pelajaran Bahasa Inggris pun habis, Basir kembali tidur, Bu Rosna mengurut dada keluar dari ruang kelas.
Apa jadinya kalau tidak ada guru mengajar di kelas? Bisa-bisa seperti ...
‘Onde Mandee, bayangin aja sendiri!’
Bersambung.
+Potongan
Doni Romza
Bangku bagian depan diisi oleh siswa-siswa kuper, dengan ledekan “generasi penerus bangsa” oleh Basir. Bangku bagian tengah diisi oleh siswa angin-anginan alias labil, kadang serius, kadang ikut-ikutan membuat kebisingan. Bagian belakang diisi oleh siswa yang persis seperti bapak-bapak yang sok tau politik tadi.
Poto: Wan Adinarta |
Pojok kiri belakang, terjadi perdebatan panas antara Betril dengan Wanarta. Betril punya Bapak seorang polisi, sedangkan Wanarta punya Bapak seorang tentara.
Digadang-gadang sebagai calon terkuat jadi seksi kerohanian, Betril menyibukan diri mengurusi junior di musholla. Dia membiasakan diri mengkritisi junior di setiap kegiatan rohani.
Tapi di mata Wanarta, apa yang dilakukan Betril, hanyalah mencari perhatian dan sensasi belaka, agar semua junior bisa mengenal Betril dengan cepat.
Tidak terima dengan tuduhan Wanarta, Betril bilang, ‘Eh, Wan. Bapak waang yang tentara berantai itu dinas di mana?’
Pernah berkunjung ke asrama, Bapak Wanarta tampak gagah dibalut seragam lengkap tentara dinas. Semua mata memandang tertuju kehadapan Bapak Wanarta. Tapi bukan karena baju tentaranya, melain karena rantai dompet yang mencolok melilit pinggang.
Mendengar sebutan tentara berantai, bathin Wanarta tidak bisa terima, ditambah pula tawa mengakak dari teman-teman yang mendengarkan.
‘Mendingan Bapak Aden, daripado Bapak waang. Menahan motor orang, cuma gara-gara motor orang ndak punyo tutup pentil,' kata Wanarta.
Riuh di kelas semakin riuh, Wanarta semakin ngotot menghina Betril.
'Jadi ndak salah nama waang dipanggil “Buya Sex”, Bapak waang sajo seperti itu, apolagi waang,’ kata Wanarta.
Bu Rosna yang sedang mengajar di depan kelas, mencoba marah semampu dia, Tadinya menjelaskan materi pelajaran dengan Bahasa Indonesia utuh, berubah jadi Bahasa Indominang, setengah ular setengah belut.
'Apalah kalian ini haaa? Mau jadi apa kalian nantiiik? Ga boleh berisik di kelas dooo!'
Mereka tak pedulikan ocehan Bu Rosna. Mereka sama-sama naik pitam.
‘Ndak usah bawa-bawa Bapak,' kata Betril.
Waang yang bawa-bawa Bapak duluan, ' jawab Wanarta.
'Stsssssssss.'
Bu Rosna meminta diam. Hening beberapa detik saja.
'Mendingan Bapak aden daripado waang, perut buncit. Sok punya mental kuat. Tapi bukan mental yang kuat, otak yang tak ado,' kata Betril.
'Stssssss!'
Bu Rosna jadi sakit kepala, dia kembali meminta diam. Sudah berbusa mulut Bu Rosna menjelaskan materi pelajaran, tak seorang pun mau mendengarkan.
Betril terus meledek Wanarta, ‘Bapak waang pantasnyo di buang ke Palestina!’ kata Betril.
'Bapak waang cocoknyo jadi perampok, bukan polisi!’ balas Wanarta.
Teman-teman yang duduk di bangku bagian tengah, ikut membuat perdebatan mereka semakin panas.
‘Hajaaaar. Aloloko?'
Bu Rosna berhenti menulis di papan tulis, mengancam, 'Jika kalian masih berisik juga, kalian akan saya laporkan ke kepala sekolah.'
Perdebatan Betril dan Wanarta jadi terhenti, tapi di pojok kanan bagian belakang, terdengar suara Toki dan Robert memperdebatkan mana yang lebih jago antara Barcelona dengan Real Madrid? Ajis dan Pendra memperdebatkan mana yang lebih cantik antara anak SMU dengan anak SPK? Sementra Fajori dan Bambang, bersitegang bicara antara pahala dengan dosa.
Basir yang sedang tidur-tiduran di meja belajarnya, meresa terusik dengan ulah Fajori dan Bambang. Dia bangun dari tidurnya, dan melontarkan kata-kata.
'Kalian kalau urusan pahala tau semua. Udah kayak Tuhan kalian. Tuhan Maha Tahu, kalo kalian... sok tau,' kata Basir.
Seisi kelas kembali heboh karena ucapan Basir, Bu Rosna hanya bisa terheran diam. Basir pun kembali tidur di mejanya, berlagak seolah-olah tak punya dosa. Tapi,
‘Kalau waang bagaimana, Sir?’ tanya Eston. dan Basir bangun lagi, ‘Kalau aden, orangnya tak mau tau,' jawab Basir.
Semua ketawa mengakak kencang. Keriuan sudah tidak bisa dikendalikan, Basir kembali berpura-pura tidur.
Bu Rosna geleng-geleng kepala. Mungkin dalam pikiran Bu Rosna, ‘Ini anak sekolah, apa anak gembel pakai seragam sekolah?’
Ruang kelas terdiam sejenak. Dari jendela terlihat Bapak Kepala Sekolah mau lewat. Bapak Kepala Sekolah melihat ke ruang kelas, sambil berjalan. Semua pasang muka serius memperhatikan papan tulis, berpura-pura memperhatikan pelajaran.
Tapi setelah berada di kejauhan, lagi-lagi Betril dan Wanarta ledek-ledekan Bapak. Toki dan Robert kembali berdebat tentang bola. Fajori kembali memperdebatkan antara dosa dan pahala. Basir pun kembali tidur-tiduran di meja belajarnya. Kecuali Pendra yang sudah kalah debat dengan kengototan Ajis.
'Aloloko?'
Bu Rosna menghela nafasnya dalam-dalam. Semua selesai ledek-ledekan, dan Bu Rosna sudah malas menjelaskan materi pelajaran.
‘Apa ada pertanyaan?’ tanya Bu Rosna.
Basir yang tadinya tidur, langsung mengacungkan tangan.
‘Ada, Bu,' kata Basir.
‘Ya, silakan!' kata Bu Rosna.
‘Ibu, kuliahnya di mana dulu, Bu?’
‘Ibu kuliah di UNP, kenapa?’ tanya Bu Rosna.
‘Susah gak kuliah itu, Bu?’ Basir bukannya menjawab pertanyaan Bu Rosna, malah bertanya lagi.
‘Kalau materi dari dosen diikuti dengan serius, gak susah, kok. Basir mau kuliah juga?’ tanya balik Bu Rosna.
‘Gak sih, Bu, pengen tau aja. Dulu, tetangga saya juga kuliah di UNP. Sekarang udah kerja di Kantor Camat Solok. Tapi dia udah kawin, udah punya anak juga dua. Kalau saya… rencana mau berlayar ke Jepang, Bu. Kurang minat jadi pegawai negeri. Soalnya tetangga saya udah banyak yang jadi pegawai negeri, Bu.’
‘Ohh, gitu,’ sahut Bu Rosna, dan Bu Rosna bertanya lagi, 'Jadi maksud pertanyaannya apa?'
'Kan nanya, Bu. Masa ga boleh,' jawab Basir sambil pasang muka cuek.
Bu Rosna terpaksa melayani Basir. Karena pertanyaan usil itu tidak sampai di situ saja.
'Ibu lulusan tahun berapa? Kayaknya kenal, deh, sama tetangga saya yang satu lagi. Nama di kampungnya Kulih Picak, dia juga jurusan Bahasa Inggris. Sekarang ngajar di di SMA Solok.’
‘Ibu lulusan tahun sembilan sembilan. Sebenarnya Ibu ngajar tetap di sekolah lain, tapi karena Pak Lasjon meminta Ibu ngajar di sini, ya... ibu ke sini,' jawab Bu Rosna sambil garuk-garuk kepala.
‘Ooooooooo.'
Basir manggut-manggut, berlagak pasang muka serius. Padahal tujuan dia sangat jelas: agar Bu Rosna tidak membahas pelajaran Bahasa Inggris lagi.
‘Berarti...' kata Basir.
(Pertanyaan berikutnya).’
‘(Pertanyaan berikutnya).’
‘(Pertanyaan berikutnya).’
Jam pelajaran Bahasa Inggris pun habis, Basir kembali tidur, Bu Rosna mengurut dada keluar dari ruang kelas.
Apa jadinya kalau tidak ada guru mengajar di kelas? Bisa-bisa seperti ...
‘Onde Mandee, bayangin aja sendiri!’
Bersambung.
+Potongan
Doni Romza