Muda Foya-Foya, Tua Kaya Raya, Mati Masuk Syurga
Tertuang berjuta harapan dan impian ketika terpilih menjadi seorang taruna pelayaran. Aku bertekad untuk bisa membantu kehidupan keluarga yang sederhana. Keluarga yang mengajarkan aku budaya Ranah Minang, keluarga yang membekali aku Ilmu Agama.
Kulalui proses orientasi sebagai perkenalan lingkungan baru. Namun di masa itu satu, dua orang sudah memilih jalan mundur. Mereka tak terbiasa dengan aturan asrama yang diwarnai dengan bermacam ketegangan.
Tak ada firasat dengan kenyataan yang terjadi. Asrama mengajarkan aku budaya dan aturan baru. Kaget dan kaget menghiasi hari-hari. Kampus terindah itu berubah jadi hal-hal yang menegangkan.
Senior bertindak bak seorang raja. Itu terlihat dari cara mereka ketika memanggil kami.
‘Siswa baru, ke sini satu orang! Siwa baru, ke sini satu orang!’
Kami yang tidak mengerti dengan terikan suara itu, saling dorong dan sikut sesama teman sekamar.
‘Waang ke sana!’
‘Ah, Waang sajolah yang ke sana!’ dan tak satu pun di antara kami bersedia keluar dari kamar.
‘Ini yang ketiga kalinya, jika kalian tidak mau keluar juga dari kamar, kalian akan terima akibatnya. Siswa baruuuu, ke sini satu orang!’ Senior tadi kembali memanggil kami.
Kami berempat kembali saling sikut dan dorong. Tapi tetap saja tidak ada yang bersedia keluar dari kamar. Suara itu hilang bebarapa saat. Hingga sepuluh menit berlalu, Fajori keluar dari kamar. Tapi bukan untuk memenuhi panggilan senior itu, melainkan ke toilet lantaran kebelet pipis.
Dia berjalan dengan telanjang dada, berteriak buang air kecil di kamar mandi. Mungkin karena saking kebeletnya, suara kebelet Fajori terdengar dari kejauhan, persis seperti ibu-ibu hamil yang mau melahirkan anak. Fajori tak peduli ada orang lain yang juga buang air kecil di samping dia. Sambil menaikan resleting celananya, Fajori menyapa orang itu.
‘Dari daerah mana, Boy?’
Laki-laki itu hanya diam, tidak menjawab sapaan Fajori.
‘Dari daerah mana, Boy?’ Fajori kembali menyapa.
Laki-laki itu tetap tidak menjawab, dan pergi menuju kamarnya selesai buang air kecil. Tiba-tiba, seseorang menggedor-gedor pintu kamar kami dari luar. Seseorang itu teriakan perintah kumpul. Kami yang tadinya saling sikut, satu persatu keluar dari kamar, berbaris memanjang dari ujung ke ujung lorong asrama, posisi istirahat di tempat, dengan punggung bersandarkan dinding.
‘Sepertinya orang ini senior kita,’ aku membisikannya kepada Fajori.
‘Haah, jadi yang di toilet tadi..., senior? Alamaak,’ Fajori menepuk jidatnya.
Aku berdiri persis di belakang senior itu. Dia mengenakan singlet putih yang sudah memudar kekuningan. Kulihat sebuah tulisan menarik bertintakan spidol hitam di singlet dia.
“MUDA FOYA-FOYA”.
“TUA KAYA RAYA”.
“MATI MASUK SYURGA”.
Dibagian dada singlet, tertulis sebuah tulisan kecil yang tak kalah menarik,
"Istri Cantik Mertua Kaya".
‘Stres, apo mantan rumah sakit jiwa? Kata Ijan.
‘Stsssst,’ Eston meminta Ijan diam, tapi Kincai malah ikut-ikutan berkomentar.
‘Dunia ini punya Bapaknya, kali? Bapaknya punya sertifikat AJB.’
‘Apo AJB?’ Tanya Ijan.
‘Akta Jual Bumi,’ jawab Kincai, dan dia melanjutkan, ‘Jadi gak pusing lagi mikirin duit. Tobatnya kalau udah mau mati. Makanya tua-tua bisa masuk syurga.'
‘Stssst,’ Eston juga meminta Kincai diam.
Setelah semuanya berkumpul di lorong asrama, si senior stres lihat kiri lihat kanan, dan memulai pembicaraanya.
‘Selamat siang!’
‘Siaaaaang.’
‘Perkenalkan, nama saya Mister Kapinding. Kalian boleh memanggil saya Abang Mister Kapinding. Saya ini senior kalian. Saya ingatkan, mulai minggu depan, tak ada lagi yang sembunyi-sembunyi ketika senior memanggil kalian. Dan, tolong… tolong kalian hafal nama-nama senior kalian! Paham?’
‘Pahaaam.’
‘Satu lagi. Jangan buka baju di lorong asrama, di kamar kalian… itu terserah kalian. Pahaaam?’
‘Pahaaaam.’
‘Ya sudah, kalian boleh bubar!’
Kami kembali masuk ke kamar masing-masing. Dari sekian banyak pesan dari Mister Kapinding, yang aku ingat bukan pesan yang disampaikan pada pemberitahuan itu. Melainkan sebuah tulisan gila yang tertulis di singlet dia.
“Muda foya foya, tua kaya raya, mati masuk syurga”.
Kulalui proses orientasi sebagai perkenalan lingkungan baru. Namun di masa itu satu, dua orang sudah memilih jalan mundur. Mereka tak terbiasa dengan aturan asrama yang diwarnai dengan bermacam ketegangan.
Tak ada firasat dengan kenyataan yang terjadi. Asrama mengajarkan aku budaya dan aturan baru. Kaget dan kaget menghiasi hari-hari. Kampus terindah itu berubah jadi hal-hal yang menegangkan.
Senior bertindak bak seorang raja. Itu terlihat dari cara mereka ketika memanggil kami.
‘Siswa baru, ke sini satu orang! Siwa baru, ke sini satu orang!’
Kami yang tidak mengerti dengan terikan suara itu, saling dorong dan sikut sesama teman sekamar.
‘Waang ke sana!’
‘Ah, Waang sajolah yang ke sana!’ dan tak satu pun di antara kami bersedia keluar dari kamar.
‘Ini yang ketiga kalinya, jika kalian tidak mau keluar juga dari kamar, kalian akan terima akibatnya. Siswa baruuuu, ke sini satu orang!’ Senior tadi kembali memanggil kami.
Kami berempat kembali saling sikut dan dorong. Tapi tetap saja tidak ada yang bersedia keluar dari kamar. Suara itu hilang bebarapa saat. Hingga sepuluh menit berlalu, Fajori keluar dari kamar. Tapi bukan untuk memenuhi panggilan senior itu, melainkan ke toilet lantaran kebelet pipis.
Dia berjalan dengan telanjang dada, berteriak buang air kecil di kamar mandi. Mungkin karena saking kebeletnya, suara kebelet Fajori terdengar dari kejauhan, persis seperti ibu-ibu hamil yang mau melahirkan anak. Fajori tak peduli ada orang lain yang juga buang air kecil di samping dia. Sambil menaikan resleting celananya, Fajori menyapa orang itu.
‘Dari daerah mana, Boy?’
Laki-laki itu hanya diam, tidak menjawab sapaan Fajori.
‘Dari daerah mana, Boy?’ Fajori kembali menyapa.
Laki-laki itu tetap tidak menjawab, dan pergi menuju kamarnya selesai buang air kecil. Tiba-tiba, seseorang menggedor-gedor pintu kamar kami dari luar. Seseorang itu teriakan perintah kumpul. Kami yang tadinya saling sikut, satu persatu keluar dari kamar, berbaris memanjang dari ujung ke ujung lorong asrama, posisi istirahat di tempat, dengan punggung bersandarkan dinding.
‘Sepertinya orang ini senior kita,’ aku membisikannya kepada Fajori.
‘Haah, jadi yang di toilet tadi..., senior? Alamaak,’ Fajori menepuk jidatnya.
Aku berdiri persis di belakang senior itu. Dia mengenakan singlet putih yang sudah memudar kekuningan. Kulihat sebuah tulisan menarik bertintakan spidol hitam di singlet dia.
“MUDA FOYA-FOYA”.
“TUA KAYA RAYA”.
“MATI MASUK SYURGA”.
Dibagian dada singlet, tertulis sebuah tulisan kecil yang tak kalah menarik,
"Istri Cantik Mertua Kaya".
‘Stres, apo mantan rumah sakit jiwa? Kata Ijan.
‘Stsssst,’ Eston meminta Ijan diam, tapi Kincai malah ikut-ikutan berkomentar.
‘Dunia ini punya Bapaknya, kali? Bapaknya punya sertifikat AJB.’
‘Apo AJB?’ Tanya Ijan.
‘Akta Jual Bumi,’ jawab Kincai, dan dia melanjutkan, ‘Jadi gak pusing lagi mikirin duit. Tobatnya kalau udah mau mati. Makanya tua-tua bisa masuk syurga.'
‘Stssst,’ Eston juga meminta Kincai diam.
Setelah semuanya berkumpul di lorong asrama, si senior stres lihat kiri lihat kanan, dan memulai pembicaraanya.
‘Selamat siang!’
‘Siaaaaang.’
‘Perkenalkan, nama saya Mister Kapinding. Kalian boleh memanggil saya Abang Mister Kapinding. Saya ini senior kalian. Saya ingatkan, mulai minggu depan, tak ada lagi yang sembunyi-sembunyi ketika senior memanggil kalian. Dan, tolong… tolong kalian hafal nama-nama senior kalian! Paham?’
‘Pahaaam.’
‘Satu lagi. Jangan buka baju di lorong asrama, di kamar kalian… itu terserah kalian. Pahaaam?’
‘Pahaaaam.’
‘Ya sudah, kalian boleh bubar!’
Kami kembali masuk ke kamar masing-masing. Dari sekian banyak pesan dari Mister Kapinding, yang aku ingat bukan pesan yang disampaikan pada pemberitahuan itu. Melainkan sebuah tulisan gila yang tertulis di singlet dia.
“Muda foya foya, tua kaya raya, mati masuk syurga”.
Sampai di dalam kamar, Fajori gondok sendirian, ‘Oiii, Malaikat Maut, cabut nyawa Mister Kapinding. Biar cepat mati!'
Apa jadinya kalau sumpah sarapah Fajori dikabulkan Malaikat Maut? Mungkin Fajori akan membuang bangkai Mister Kapinding ke tengah lautan. Lalu, ikan hiu membawa jasad Mister Kapinding ke alam akhirat. Di Sana Mister Kapinding menyesali ajaran sesatnya. Memohon ke penjaga akhirat agar dikembalikan ke asrama. Tapi penjaga akhirat tidak memberikan dispensasi, malah dibuang ke neraka jahanam. Setelah itu Fajori berdehem puas, MAMPUSS!
Usai mengoceh ini itu, Fajori loncat ke atas ranjangnya, hingga tertidur sampai lonceng kegiatan sore berbunyi.
Kegiatan sore asrama salah satu kegiatan sekolah yang tidak menyenangkan buat kami. Lantaran senior suka-suka hati mengganti jadwal yang ada. Jadwal olah raga berganti bersih-bersih asrama, kerja bakti di seluruh kawasan sekolah, bahkan bersih-bersih kolam ikan atau tambak. Sementara kegiatan kerja bakti, tak akan bisa berganti main bola, tetap jadi kerja bakti, tetap bersih-bersih kawasan sekolah. Kegiatan sore hanyalah milik para senior. Mereka bersenang-senang bermain bola, main gitar di lorong asrama, dan tak sedikit pergi keluyuran keluar asrama.
Hiburan kami di masa itu hanya acara unjuk kebolehan menyanyi dan menari di aula sekolah. Setiap jurusan diminta mengirim perwakilannya masing-masing ke panitia. Di penghujung acara akan diumumkan jurusan mana yang akan jadi pemenangnya.
Dari jurusan Budidaya mengirim Rika menampilkan nyanyian, dan Basri untuk menampilkan tarian. Sementara Jurusan Mesin, teman-teman menunjuk aku untuk menyanyi, dan Kincai menampilkan tarian.
Rika keluar sebagi pemenang setelah menyanyikan lagu dangdut. Aku kalah setelah menyanyikan lagu slow rockMelayu. Tetapi untuk kategori penari, Kincai yang dikenal sebagai siswa funky, anak gaul seasrama, keluar sebagi pemenang setelah menampilkan tarian alapopping dance. Dan dia tidak lupa menyapa teman-teman satu jurusan dengan salam tos yang menjadi ciri khasnya.
'Toss kawaan! kita menang. Auu.’
Lanjut⬅ Geser Layar HP Ke Kiri
Doni Romiza