Teringat acara “Rayuan Gombal” di salah satu stasiun tv swasta dulunya. Rayuan serupa merambak ke acara-acara komedi tv lain.
Bagi kami, hal itu bukanlah hal yang baru. Karena jauh-jauh hari, sudah terbiasa menggunakan rayuan gombal semacam itu. Hanya saja pelaksanaannya bukan untuk merayu cewek, melainkan untuk ledek-ledekan sesama teman.
Seperti, ‘Bambang, Bapakmu sopir truk, ya?’
‘kok, tau?’
‘Oow, pantesan istri Bapakmu di mana-mana.’
Serupa tapi tak sama, hal itu juga terjadi di Sabtu sore. Ketika si muka tembok, Tobot pulang ke desanya. Balutan seragam abu-abu serasa membuat dia manusia tergagah di muka bumi. Tidak peduli seberapa banyak air keringat membasahi ketiak. Semprotan parfum teman sudah cukup menambah gaya, itu pun kalau ada.
Hari itu terasa menyenangkan buat kami. Sebagian kami pulang ke rumah masing-masing. Sebagian ada yang ikut ke rumah teman. Dan ada juga yang memilih tetap tinggal di asrama, bagi mereka yang rumahnya jauh di luar daerah.
Pulang menuju desa tercinta, selalu saja ada cerita yang berbeda. Tobot berbarengan pulang dengan Bambang. Desa mereka tidak berjauhan, disusul aku dan Fajori jalan dari belakang. Meski kami berempat beda desa, tapi kendaraan dan arah jalan yang kami gunakan tetap sama.
Kami berempat keluar dari asrama. Muka Tobot mencongak sambil berjalan kaki. Tak terhitung, berapa kali menunggingkan rambut minyak tanchonya ke belakang. Benar-benar dia jaga rambut dia. Setiap ada motor terparkir di pinggir jalan, dia berhenti sejenak, berkaca di spion motor orang agar rambut tetap tertata seperti semula. Hingga sampai di tempat kami menunggu bus pulang.
Tengah asyik memperhatikan rambut cepak yang menungging itu, Bambang bersorak Bus Dagang Pesisir sudah datang. Tobot langsung ambil kendali, bermaksud menghentikan bus yang sudah datang.
‘Stooop!’
Bambang sengaja mengerjai Tobot. Bus yang melintas bukan Dagang Pesisir, melainkan fuso yang bagian depan berwana hijau daun, memang terlihat sama dengan Dagang Pesisir bila dilihat dari kejauhan.
Hanya berselang lima menit, bus yang dinanti akhirnya datang juga. Tobot lagi-lagi ambil kendali.
'Stoop!'
Hanya sekali teriakan dan sekali lambaian, seperti apa pun desak penumpang di dalam bus itu, ketika kami menyuruh berhenti, bus itu harus berhenti. Jika tidak, minggu depan, jangan harap bus yang sama bisa melintas di jalan itu lagi.
Bus yang sedang melaju dengan kencang, mundur dadakan menuju ke pinggir jalan kami berdiri.
Kami naik rebutan agar bisa mendapatkan tempat duduk. Biasanya, bila bersebelahan duduk di dekat cewek, Bambang menyebutnya duduk di bangku hangat. Tapi tidak satu pun tempat duduk yang tersisa. Bus Dagang Pesisir penuh terisi penumpang.
Aku dan Fajori berdiri berdekatan. Bagian depan kami, ditempati Bambang dengan Tobot. Dimana di depan mereka ada siswi sekolah perawat yang sedang berdiri pula.
Tobot, jangan sebut nama itu jika berhenti merayu cewek. Jangan panggil Tobot, jika tidak bisa mendapatkan kenalan baru. Sial mengintip siswi sedang mandi di asrama, bukan halangan baginya merayu cewek di luar asrama.
Tobot gerah melihat Bambang yang hanya diam-diaman berdiri di dekat cewek. Dia anggap Bambang tidak bisa manfaatkan momentum itu. Tobot mencubit-cubit pinggang Bambang, agar mau tukaran tempat.
'Geseer!'
Bambang yang mengerti isi otak Tobot, dipaksa mengalah oleh Tobot, dan mempersilakan Tobot memperlihatkan kemampuannya merayu cewek.
Bus terus melaju dengan kencang. Tobot sudah berdiri persis di belakan siswi perawat tadi. Tobot mulai lirik kiri lirik kanan, dan kami siul-siulan sembari menunggu Tobot memulai kata-kata.
‘Ehmm. Pulang kemano, Dek?’ tanya Tobot.
‘Ahh, apa Bang?’ sahut si cewek sedikit kaget yang kelihatannya sedang mengantuk.
'Maninjau, Bang.' Sambung di cewek.
Tobot masih mencari-cari celah pembicaraan sambil menepuk-nepukkan jari tangannya ke paha.
Di atas bus sudah desak-desakan karena banyaknya penumpang berdiri.
Alur perbincangan mereka yang tadinya terbata-bata, tidak beberapa lama mulai mengalir begitu saja. Entah jurus apa yang sedang digunakan Tobot?
‘Anak perawat, ya?’ tanya Tobot sambil mendekatkan badannya ke badan cewek.
‘Tau dari mana, Bang? Lihat seragamku, ya?’
‘Iya, seragamnya putih-putih seperti dokter, eheee.’ Tobot terus mendekatkan badannya ke si cewek, tapi si cewek anak perawat mulai risih.
‘Anak pelayaran?’
‘Oo, iyolah. Seragamnyo sajo sudah jelas.’ Kata Tobot, dan lagi-lagi mendekatkan badannya ke si cewek.
Entah sengaja atau tidak, tangan si cewek menyentuh bagian paha Tobot, dan si cewek semakin risih.
‘Jurusan mesin?’ tanya si cewek yang sebenarnya mulai kesal.
'Yeeeee, Adek salah. Jurusan abang bukan mesin,' kata Tobot.
‘Tapi kenapa Piston Abang kerasa turun naik?' Malahan Bambang yang menjawab.
‘Hua ha ha ha ha ha.’
Kami tertawa terbahak-bahak melihat Tobot dadakan menghindar dari tempat berdirinya. Si cewek pergi menghindar ke bagian lebih depan. Usaha Tobot gagal mendekati si anak perawat.
Bambang tidak hentinya menahan tawa sambil memegang perut, disertakan pula cibiran pedas ke muka Tobot yang berlumurkan malu.
Tobot garuk-garuk kepala berlagak cuek. Jurus muka tembok dia perlihatkan, demi menutup malu dari Bambang dan Fajori yang tak henti menertawakan.
Bersambung
+Potongn
Bila terdapat kesamaan tokoh dan tempat, itu hanya kebetulan saja😁
Doni Romiza
Bagi kami, hal itu bukanlah hal yang baru. Karena jauh-jauh hari, sudah terbiasa menggunakan rayuan gombal semacam itu. Hanya saja pelaksanaannya bukan untuk merayu cewek, melainkan untuk ledek-ledekan sesama teman.
Seperti, ‘Bambang, Bapakmu sopir truk, ya?’
‘kok, tau?’
‘Oow, pantesan istri Bapakmu di mana-mana.’
Serupa tapi tak sama, hal itu juga terjadi di Sabtu sore. Ketika si muka tembok, Tobot pulang ke desanya. Balutan seragam abu-abu serasa membuat dia manusia tergagah di muka bumi. Tidak peduli seberapa banyak air keringat membasahi ketiak. Semprotan parfum teman sudah cukup menambah gaya, itu pun kalau ada.
Hari itu terasa menyenangkan buat kami. Sebagian kami pulang ke rumah masing-masing. Sebagian ada yang ikut ke rumah teman. Dan ada juga yang memilih tetap tinggal di asrama, bagi mereka yang rumahnya jauh di luar daerah.
Pulang menuju desa tercinta, selalu saja ada cerita yang berbeda. Tobot berbarengan pulang dengan Bambang. Desa mereka tidak berjauhan, disusul aku dan Fajori jalan dari belakang. Meski kami berempat beda desa, tapi kendaraan dan arah jalan yang kami gunakan tetap sama.
Kami berempat keluar dari asrama. Muka Tobot mencongak sambil berjalan kaki. Tak terhitung, berapa kali menunggingkan rambut minyak tanchonya ke belakang. Benar-benar dia jaga rambut dia. Setiap ada motor terparkir di pinggir jalan, dia berhenti sejenak, berkaca di spion motor orang agar rambut tetap tertata seperti semula. Hingga sampai di tempat kami menunggu bus pulang.
Tengah asyik memperhatikan rambut cepak yang menungging itu, Bambang bersorak Bus Dagang Pesisir sudah datang. Tobot langsung ambil kendali, bermaksud menghentikan bus yang sudah datang.
‘Stooop!’
Bambang sengaja mengerjai Tobot. Bus yang melintas bukan Dagang Pesisir, melainkan fuso yang bagian depan berwana hijau daun, memang terlihat sama dengan Dagang Pesisir bila dilihat dari kejauhan.
Hanya berselang lima menit, bus yang dinanti akhirnya datang juga. Tobot lagi-lagi ambil kendali.
'Stoop!'
Hanya sekali teriakan dan sekali lambaian, seperti apa pun desak penumpang di dalam bus itu, ketika kami menyuruh berhenti, bus itu harus berhenti. Jika tidak, minggu depan, jangan harap bus yang sama bisa melintas di jalan itu lagi.
Bus yang sedang melaju dengan kencang, mundur dadakan menuju ke pinggir jalan kami berdiri.
Kami naik rebutan agar bisa mendapatkan tempat duduk. Biasanya, bila bersebelahan duduk di dekat cewek, Bambang menyebutnya duduk di bangku hangat. Tapi tidak satu pun tempat duduk yang tersisa. Bus Dagang Pesisir penuh terisi penumpang.
Aku dan Fajori berdiri berdekatan. Bagian depan kami, ditempati Bambang dengan Tobot. Dimana di depan mereka ada siswi sekolah perawat yang sedang berdiri pula.
Tobot, jangan sebut nama itu jika berhenti merayu cewek. Jangan panggil Tobot, jika tidak bisa mendapatkan kenalan baru. Sial mengintip siswi sedang mandi di asrama, bukan halangan baginya merayu cewek di luar asrama.
Tobot gerah melihat Bambang yang hanya diam-diaman berdiri di dekat cewek. Dia anggap Bambang tidak bisa manfaatkan momentum itu. Tobot mencubit-cubit pinggang Bambang, agar mau tukaran tempat.
'Geseer!'
Bambang yang mengerti isi otak Tobot, dipaksa mengalah oleh Tobot, dan mempersilakan Tobot memperlihatkan kemampuannya merayu cewek.
Bus terus melaju dengan kencang. Tobot sudah berdiri persis di belakan siswi perawat tadi. Tobot mulai lirik kiri lirik kanan, dan kami siul-siulan sembari menunggu Tobot memulai kata-kata.
‘Ehmm. Pulang kemano, Dek?’ tanya Tobot.
‘Ahh, apa Bang?’ sahut si cewek sedikit kaget yang kelihatannya sedang mengantuk.
'Maninjau, Bang.' Sambung di cewek.
Tobot masih mencari-cari celah pembicaraan sambil menepuk-nepukkan jari tangannya ke paha.
Di atas bus sudah desak-desakan karena banyaknya penumpang berdiri.
Alur perbincangan mereka yang tadinya terbata-bata, tidak beberapa lama mulai mengalir begitu saja. Entah jurus apa yang sedang digunakan Tobot?
‘Anak perawat, ya?’ tanya Tobot sambil mendekatkan badannya ke badan cewek.
‘Tau dari mana, Bang? Lihat seragamku, ya?’
‘Iya, seragamnya putih-putih seperti dokter, eheee.’ Tobot terus mendekatkan badannya ke si cewek, tapi si cewek anak perawat mulai risih.
‘Anak pelayaran?’
‘Oo, iyolah. Seragamnyo sajo sudah jelas.’ Kata Tobot, dan lagi-lagi mendekatkan badannya ke si cewek.
Entah sengaja atau tidak, tangan si cewek menyentuh bagian paha Tobot, dan si cewek semakin risih.
‘Jurusan mesin?’ tanya si cewek yang sebenarnya mulai kesal.
'Yeeeee, Adek salah. Jurusan abang bukan mesin,' kata Tobot.
‘Tapi kenapa Piston Abang kerasa turun naik?' Malahan Bambang yang menjawab.
‘Hua ha ha ha ha ha.’
Kami tertawa terbahak-bahak melihat Tobot dadakan menghindar dari tempat berdirinya. Si cewek pergi menghindar ke bagian lebih depan. Usaha Tobot gagal mendekati si anak perawat.
Bambang tidak hentinya menahan tawa sambil memegang perut, disertakan pula cibiran pedas ke muka Tobot yang berlumurkan malu.
Tobot garuk-garuk kepala berlagak cuek. Jurus muka tembok dia perlihatkan, demi menutup malu dari Bambang dan Fajori yang tak henti menertawakan.
Bersambung
+Potongn
Bila terdapat kesamaan tokoh dan tempat, itu hanya kebetulan saja😁
Doni Romiza