Tak perlu tangisi yang telah hilang. Apalagi bertanya sesuatu yang telah pergi. Pergiku jauh ... jauh sekali. Bukan membawa luka atau sekedar membalutnya saja. Bila nanti aku menemukan sebuah kedamaian, itulah ganjaran takdirku sekarang yang dulu engkau lecehkan.
Ingatilah ketika aku pernah memberi.
Tujuh tahun kuabdikan jiwaku untukmu, tak mudah bagiku menerima kenyataan jika harus berakhir sia-sia. Tujuh tahun lamanya aku menanti untuk bisa kau persunting, tapi di tahun ketujuh itu engkau katakan, sebaiknya hubungan kita diakhiri saja, padahal aku belum menyerah demi impianmu. Terbuat dari apakah hatimu wahai manusia batu?
Tujuh tahun kuabdikan jiwaku untukmu, tak mudah bagiku menerima kenyataan jika harus berakhir sia-sia. Tujuh tahun lamanya aku menanti untuk bisa kau persunting, tapi di tahun ketujuh itu engkau katakan, sebaiknya hubungan kita diakhiri saja, padahal aku belum menyerah demi impianmu. Terbuat dari apakah hatimu wahai manusia batu?
Keraguan yang selalu kau perlihatkan kepadaku, merasa hati yang tak akan bahagia bila kau paksakan mempersunting aku, padahal engkau sendiri yang tidak menampakkan keyakinan itu. Prinsip budaya engkau jadikan alasan untuk mengulur waktu pernikahan.
Ah, pengecut
Kini mengapa tiba-tiba luka yang kian kau rasakan, setelah aku pergi dan menemukan sebuah ketenangan, yang membuat aku bebas berkreasi.
Ketahuilah, tak mungkin dan tak pasti mentari saat gerhana. Itulah hatiku kini yang dulu engkau sia-siakan. Jangan lagi tanyai hilang kasih mengapa? Relakanlah diriku untuk jadi teman hidupnya.
QL Lusiana