Kutatapi sekeliling rumah dan lorong sempit tempat berlari semasa kecil. Kupandangi raut wajah orang tua yang kian lama kian menua. Dari kejauhan, terlihat puncak monas menjulang tinggi, yang telah tertutupi awan hitam. Petir datang bergemuruh, pikiranku serasa mengawang entah ke mana. Kota dan keluarga harus aku tinggalkan. Aku pergi merajut asa, demi menyusul takdir ke tempat lain.
Kuminta sepucuk harapan ke Tanah Melayu. Kupegang janji suci sekuat mungkin. Kokoh, bak megahnya Istana Kerajaan Siak. Indah, seindah panorama Alam Mayang. Agar Tanah Melayu bisa membawaku lebih dekat ke Ranah Minang, yang banyak hal satu iring dan satu haluan dengan Tanah Melayu, yang sedari kecil hanya aku dengar dari cerita orang tua.
Terlahir di kota besar, tak akan aku melupakan tradisi yang jadi legenda. Bukan legenda anak perempuan yang tidak mendapatkan tempat di kampung halamannya. Bukan legenda anak perempuan yang diusir kaum atas dosa dan kesalahannya. Bukan legenda Si Malin Kundang yang menjadi cerita hidup di masa lalu. Tapi realita kehidupan yang mengharuskan tradisi dan filosofi dijalankan, MERANTAU.
![]() |
QL Lusiana |
'Elok-eloklah di kampuang, Nak. Pakanbaru itu kampuang kito juo, banyak urang awak di situ, pulang ka padang pun jadi dakek. Ingat selalu akan adat jo agamo. Baramah tamahlah samo urang banyak. Kalau ado wakatu dan razaki, japuiklah Ibu jo Ayah ka Jakarta.'
‘Iyo, Bu.’
Tak banyak kata terucap ketika aku harus pergi. Air mata kutahan dalam-dalam. Hari itu adalah hari yang berat untuk aku lalui.
Ayah berpura-pura membersihkan mobil agar tidak terlihat bersedih. Kakak laki-lakiku berpura-pura memberi makan kucing, agar tidak terlihat menangis. Ibu mengelus-elus kepalaku dengan mata lirih.
Mungkin orang-orang beranggapan bahwa aku anak Jakarta, yang tidak mengerti adat budaya Ranah Minang. Lantaran seumur hidup tidak pernah menginjakan kaki ke tanah Minang. Tapi itu tidak akan pernah berlaku dari darah yang telah mengalir di tubuhku.
Bukan aku tak faham lautan sakti rantau bertuah. Bukan tak mengerti dengan alam nan takambang jadi guru. Bukan pula tidak baraja ka Nan Manang, atau mancontoh ka Nan Sudah.
Kususun jari yang sepuluh, bila lupa adat dan budaya. Kini aku telah pulang. Bukan cinta ke nagari yang sedang jauh, bukan itu yang terasa. Tapi, takdir di badan yang sedang malang.
Sejauh apapun tanah rantau pernah kutempuh, walau bermandi emas di negeri orang, andai tinggi jabatan di sandang badan, aku tetap ingin pulang. Tak akan kulupa tanah leluhur orang tua. Andai boleh aku meminta, jika ajal sampai hari tua, aku ingin di Ranah Minang. Tapi... jika takdir berkata lain, izin aku di Tanah Melayu.
.
.