Skip to main content

Kontak Bathin Dalam Takdir|Adosinfo






Sudah jadi kebiasaan Ayahnya memberi nasehat Dalih dan adik-adik di setiap makan malam bersama. Bermacam wejangan mereka dengar ketika mereka sedang menyuap nasi. Dari aturan makan yang tidak boleh sebutir nasi pun kececer ke meja makan, nasi dan lauk yang tidak boleh bersisa di piring sedikitpun juga. Sampai ke pembahasan tata karma dengan petatah petitih Ranah Minang.

Sering Ayahnya membahas kato mandaki, kato malereng, kato mandata, dan kato manurun kepada mereka. Empat pribahasa adat dengan kearifan Ranah Minang. Empat nasehat tua yang ditujukan agar ia dan adik-adik bisa menempatkan tutur bahasa sesuai umur ke orang-orang sekitar kampung. Walau tidak sepenuhnya bisa ia fahami petatah petitih itu, setiap perkataan Ayahnya harus mereka dengarkan.

‘Nan buruk-buruk kalian buang dari kini. Kalau sudah besar akan terbawa-bawa. Mau mati tak akan terubah lagi. Nan susah hanya merubah muka kalian. Tapi tidak dengan perangai. Muda akan tua. Tua menunggu mati. Itu nan perlu kalian ingat. Terutama kamu, yang lebih tua, Dalih.’

Dalih menghentikan kunyahan nasinya. Menatap muka adik lelakinya, Jeki, yang juga sedang lahap mengunyah nasi dengan sepotong paha ayam goreng di piringnya. Ia memberi isyarat kepada Ayahnya agar Jeki juga dingatkan akan hal itu. Akan tetapi, Jeki tak hiraukan nasehat Ayahnya yang ia anggap hanyalah ocehan rutin di setiap makan bersama. Terus ia menyuap nasi dan menikmati sisa-sisa daging ayam yang tertinggal di tulangnya.

‘Kamu juga!’

Jeki tersentak dari tempat duduknya. Menyembur segumpal nasi dari mulutnya. Ia mengira nasehat itu hanya berlaku untuk kakaknya, Dalih, lantaran lebih tua.

‘Tak lama lagi kamu akan bersekolah. Jangan sembarangan bicara dengan orang-orang kampung. Tadi ada laporan di warung kopi kalau kamu memperolok-olok Ibu Marni nan sudah tua dan pakai tongkat. Bagaimana kalau kamu yang diolok-olok orang ketika tua?’

Dan Jeki hanya menunduk tanpa menjawab sepatah kata pun.

Mendengar nasehat Ayahnya yang masih itu-itu saja, masakan Ibunya seakan-akan tidak enak lagi saat dikunyah. Terkadang apa yang disampaikan hanya bisa masuk ke telinga kanan dan keluar di telinga kiri. Begitulah adanya cara Ayahnya memberi nasehat yang hanya dilakukan ketika makan bersama. Di lain kesempatan, pujian tetap berlaku untuk Dalih yang rajin mengembala sapi, rajin membersihkan pekarangan rumah yang acap kali dipenuhi kotoran sapi. Dan Ayahnya juga memaklumi Jeki yang sedikit malas disuruh mengembala lantaran usianya lebih kecil dari Dalih.
***


Ql Lusiana & Keponakan


Mereka anak desa. Keceriaan masa kecilnya dan adik-adik berbeda dengan anak-anak kota pada umumnya.  Mungkin keceriaan anak-anak kota adalah bermain bersama keluarga ke taman hiburan. Sementara keceriaan masa kecilnya, hanya mandi bersama teman sebayanya di tepi sungai Jorong Kubu Anau, Agam, sambil menunggu senja tiba untuk kembali membawa sapi-sapi gembalaannya pulang ke kandangnya. Lain daripada mendengar ceramah Ayahnya saat makan bersama, tak ada beban hidup yang tertanggung bocah kecil yang masih berumur tujuh tahun itu. Ia meloncat kegirangan menikmati riak aliran sungai Batang Agam yang tenang. Pulang ke rumah pun sapi-sapinya sudah kenyang masuk kandang.   

Mereka memang belum pernah merasakan istimewanya hidup tenang dalam berkecukupan. Kedua orang tua hidup dari berjualan beras di pasar tradisional. Terlahir dari  seorang Ibu yang tidak tamat Sekolah Menengah Bawah. Ayahnya pun tidak sampai tamat Sekolah Dasar. Bukan dari keluarga intelektual yang bisa dibanggakan secara akademisi. Hanya berbekal ilmu agama yang turun temurun dari leluhurnya. Bukan dari keluarga kekinian yang setiap berpamitan pergi mencium kedua tangan orang tuanya. Apalagi mencium pipi kiri dan pipi kanan. Itu tidak sama sekali.

Bukan pilihan hidupnya terlahir dari orang tua yang serba primitif. Ketika ia masih menyusu di pangkuan Ibunya, tidak pernah merasakan tertidur di buaian anyaman rotan ataupun buaian mewah beralaskan busa empuk. Kecuali buaian ala kampung buatan Ayahnya dari kain panjang yang dililit tali sapi dan digantung di atas kusen rumahnya. Nyanyian “Dodoi Si Dodoi” menemani lelap Dalih semasa kecil, yang sering didengungkan oleh Ibu tercinta ketika ia mau tidur.

Di usia yang kian tumbuh, ia pergi belajar mengaji ditemani Ayah yang juga seorang guru mengaji di musholla kampung. Ia naik ke pundak Ayahnya lantaran tidak memiliki sepeda seperti teman-teman sebayanya. Pekerjaan utama Sang Ayah adalah penjual beras. Hanya gerobak barang pengangkut padi yang ia punya. Dan Ayahnya dengan senang hati menjadi pengganti sepeda untuk Dalih kecil, agar mau belajar mengaji ke musholla.

Ia anak manja, tapi bukan berarti ia tidak bisa untuk mandiri setelah beranjak remaja. Semasa belajar di sekolah pelayaran, harus menempuh 5 kilo meter jalan berkerikil untuk bisa sampai ke jalan utama Lubuk Basung - Padang. Terkadang Jeki mengantarkannya dengan motor butut CB 100 milik Kakeknya. Konon usia motor itu jauh lebih tua dibandingkan usianya.

Setiap bepergian, Adik bungsunya, Dewi,  yang masih berusia dua tahun selalu minta diajak. Dan mereka sering bertigaan berangkat dari rumah menuju bus melintas. Setelah Bus Dagang Pesisir datang dan  ia naiki, Jeki dan Dewi kembali pulang ke rumahnya. Harapan keluarganya tertumpu di sekolah pelayaran yang ia pilih sebagai jembatan masa depan. Sekolah Usaha Perikanan Menengah yang berdiri di Simpang Toboh, Kabupaten Padang Pariaman. Ia bercita-cita ingin menjadi seorang pelaut tangguh. Ingin merubah ekonomi keluarga yang hanya sebatas kata cukup.

Bukan perkara mudah untuk bisa ia sampai menyelesaikan sekolah pelayaran itu. Karena hadangan dan hukuman berat selalu menanti ketika ia dianggap berbuat salah oleh seniornya. Hadangan itu tidak lain dan tidak bukan adalah tangan besi seniornya. Ya, sekolah pelayaran memang dikenal dengan yang namanya kekerasan senior.

Walau doa orang tua mengantarkan Dalih berlayar ke Negeri Sakura, tapi ujian hidup masih saja berlaku pada dirinya. Hasil jerih payahnya jadi seorang pelaut tidak meninggalkan bekas yang berarti. Ia rubah haluan hidup dengan menjadi seorang guru les Bahasa Jepang di Padang Nihon Go Gakuin Padang. Bahasa itu ia kuasai, lantaran pernah belajar dan berkomunikasi dengan orang Jepang selama tiga tahun.

Apalah daya, semua uang semasa ia berlayar sudah dikirim ke Ibunya untuk memajukan usaha jualan beras. Tapi usaha itu tidak berjalan seperti yang ia harapkan. Keluarganya harus memulai dari semula lagi untuk kelangsungan hidup yang harus dijalankan.
Apakah Dalih marah dengan orang tuanya?

Tidak, ia tidak perlu marah terhadap orang tuanya. Ia faham akan hidup yang ada pasang surutnya. Tidak semua kebahagian bisa diraih, tidak semua kepahitan terus berlaku dalam hidup. Ada masanya setiap insan yang bernyawa mengalami hal yang sama.

Hanya saja ujian hidup itu tidak sampai di situ saja. Dari Padang ia  pulang ke kampung halaman untuk melihat kondisi rumah orang tuanya yang sudah roboh digoncang gempa. Meski rumah itu tidak rata dengan tanah, tapi andai diperbaiki pun sudah tidak lagi layak huni. Rusak dan retak di setiap sudut dan sisi. Ia pandangi piala kemenangan yang ia raih sewaktu menang lomba mengaji di musholla. Sudah pecah, jatuh ke lantai, dan berdebu.

Sejenak ia merenung. Ia genggam kuat piala kemenangannya. Begitu banyak kenangan masa lalu yang hinggap setiap ia pulang melihat rumah orang tua. Sekarang rumah tempat berkumpul teman-temannya sebelum pergi mengaji itu sudah tidak lagi berpenghuni. Hamparan sawah tanah pusaka terbentang luas sudah tidak lagi tertanam padi. Ia pandangi tepian mandi semasa kecilnya. Dari kejauhan, terlihat Gunung Singgalang menjulang tinggi, yang puncaknya tertutupi awan hitam. Tiba-tiba, petir datang bergemuruh. Pikirannya serasa mengawang entah ke mana. Sering ia berpikir dalam hati, mengapa perkara-perkara buruk terjadi pada keluarganya?

Sang Ayah pergi ke rumah sanak saudaranya lantaran malu, sementara Ibunya merantau ke Tanjung Pinang demi menjalankan takdir di negeri orang. Terpisahnya kedua orang tua terkasih bukanlah disebabkan sebuah perselisihan atau pertengkaran rumah tangga. Melainkan lilitan hutang yang tidak mungkin dibayar hanya dengan bertanam padi di sawah kampung. Begitu sulitnya mereka hadapi pasang surut hidup yang sedang terjadi.

Sanak saudara pun sudah tidak bisa diajak berunding muka. Semua menjauh karena nasib buruk itu dianggap tidak lagi sekedar petaka biasa. Tapi sudah jatuh ke lobang tanah yang dalam, dan akan sulit untuk bangkit lagi.

Ia coba bertafakur mencari jawaban akan hal-hal buruk itu. Kedua orang tua jatuh bangkrut setelah tertipu teman dekat sesama penjual beras. Kedua orang tua itu tidak lagi tinggal serumah. Ditambah pula lilitan hutang dan hancurnya rumah kenangan semasa berkumpul dengan teman sebaya sebelum pergi mengaji.

Saat renungannya terisi dengan bermacam ragam perkara, ia teringat akan Ibunya. Ia ingat kopiah haji yang dipasangkan Ibunya ketika ia naik ke pundak Ayahnya pergi mengaji. Ingat sapi betina yang jadi hadiah dari Ibunya ketika ia menang lomba mengaji di musholla. Ingat senang yang bukan kepalang ketika uang jajan 100 rupiah Ibunya tambahkan jadi 150 rupiah. Berjatuhan air mata di pipi si pemuda desa itu. Sapi-sapinya pun sudah habis terjual untuk mengangsur hutang orang tua.

Hingga ia bisa hidup mandiri pun, ia tetap jadi anak desa yang terpencil. Tidak pernah ia merasakan bagaimana pesta ulang tahun dengan tiupan lilin dan disaksikan orang-orang terdekat. Tidak ada tepukan gemuruh seperti pesta ulang tahun orang-orang pada umumnya.

Bertepatan hari itu adalah hari di mana ia dilahirkan. Entah senang entah tidak, berdering Hp genggam yang ada di kantong celananya.

'Dalih, apa kabar, Nak? Kenapa ya, Ibu jadi rindu sama kamu hari ini. Bagaimana keadaan rumah kita? Apa masih bisa kita tempati? Ibu lihat di tipi-tipi, banyak rumah orang-orang yang rusak?'

'Rumah kita perlu diperbaiki, Bu.'

'Iya, lah. Kalau ada rezeki, nanti kita perbaiki sama-sama ya, Nak. Moga-moga ada bantuan dari pemerintah. Coba kita tunggu saja. Oh, ya. Kamu ada berkunjung ke tempat Ayah?'

'Ada, Bu. Semalam aku dari tempat Ayah.'

'Sampaikan salam Ibu untuk Ayah. Sudah hampir dua tahun Ibu di Tanjung Pinang. Sepertinya bulan depan Ibu dan adik-adikmu mau balik ke kampung saja. Tak elok dilihat orang kalau Ibu berlama-lama berpisah dengan Ayah. Usaha jual buah di Tanjung Pinang  juga tidak berjalan dengan baik. Masalah hutang-hutang Ibu dan Ayah, nanti Ibu pikirkan di kampung saja. Jika memang tak ada jalan lagi, kita gadaikan saja sawah yang ada. Nanti Ibu coba lagi bicara dengan Mamang-Mamang kamu.'

'Pulang sajalah, Bu. Tak harus menggadai sawah untuk membayar hutang. Selama aku masih hidup, aku akan berusaha untuk melunasinya. Yang penting hutang itu tidak dibawa mati.'

'Iya, lah, Nak! Kamu sendiri bagaimana? Sudah adakah agaknya perempuan yang dekat denganmu, Nak? Ingin sekali Ibu melihat kamu menikah, Nak. Kita bisa berkumpul dengan sanak saudara sekampung dan dari perantauan.'

Dalih terdiam dengan tetesan air mata. Walau Ibunya tidak mengucapkan selamat ulang tahun, atau, bahkan Ibunya tidak tahu atau lupa hari itu adalah hari ia dilahirkan. Tapi ia merasakan kontak bathin seorang Ibu yang tidak bisa dipisahkan dari anaknya. Kontak Bathin telah mengingatkan seorang Ibu yang telah melahirkannya di hari itu.

'Sudahlah, Bu. Abis batrai Hp-ku. Nanti disambung lagi.'

Tak ingin ia menjawab dengan perempuan mana hatinya sudah tertambat. Belum ada kemauannya untuk mencari perempuan untuk bisa ia nikahi. Andaipun ada, hanyalah bual-bual orang sekampung saja. Orang-orang hanya menjadikannya seumpama menanam sawit, yang apabila berbuah, dipetik, dan dinikmati semua hasilnya. Tapi bila tidak, batang sawit mereka tebang, dibuang, dan diganti dengan tanaman lainnya.





Popular posts from this blog

Rotan Itu Hanya Melengkung, Bukan Patah! |Adosinfo

By: DR Taktik dan siasat tidak hanya berlaku dalam politik. Tapi juga dalam hal lainnya, termasuk dalam dunia usaha, yang menggunakan bermacam cara untuk mencari keuntungan lebih. Itu hal positif selama dilakukan dengan cara yang positif pula. Tapi apa jadinya jika siasat itu dilakukan dengan cara yang tidak transfaran, penuh kecurangan. Mungkin gelagat pecundang bisa tak terlihat saat kebohongan ia lakukan. Nyalinya tak gemetaran ketika ada sesuatu hal yang diperdebatkan. Tapi bagi seorang pemenang, harus mampu membaca arah siasat buruk itu, untuk menyiapkan siasat lainnya, agar tidak merasa dirugikan. Tak perlu berargumen panjang lebar untuk menguji sebuah kebenaran. Tak perlu menggunakan kedua tangan untuk meruntuhkan kokohnya sebuah komitmen, selama hal itu masih berlaku untuk hal-hal yang positif. Satu hal yang perlu difahami: Rotan itu hanya melengkung, bukan patah!! Hanya kelapukkan yang bisa mematahkan rotan. Tunggulah rotan itu lapuk pada waktunya.

Hiduplah Seperti Kereta Berjalan | Adosinfo

Hidup akan terus berjalan, tapi banyak hal yang perlu kita ketahui bagaimana mestinya menjalani hidup semestinya? Karena yang namanya hidup tidak lepas dari ujian ataupun cobaan. Walau adakalanya hidup menerima puja dan pujian, hidup tidak lepas dari caci dan hinaan. Bergantung atas apa yang telah kita perbuat di muka bumi ini, dan bergantung bagaimana sudut pandang orang-orang yang menilai kita.  Ya… begitulah hidup, tidak semua keinginan mampu kita wujudkan, lantaran hidup ini akan ada liku dan jalan terjal. Hidup butuh inspirasi dan motivasi untuk meraih sesuatu. Tapi hidup ini terlalu terbalut angan bila hanya terinspirasi oleh kisah kesuksesan seseorang, atau termotivasi oleh omongan seseorang yang memang ahlinya sebagai motivator ulung, yang mampu merangkai kata demi kata. Kita mesti bijak menyikapi sebuah inspirasi dan motivasi. Karena cerita orang sukses akan tetap jadi cerita yang menggiurkan, bila memang mereka mampu meraih kesuksesan dalam hidup mereka. Tapi bila mere

6 Alasan Yang Membuat Anak SUPM Layak Jadi Pemimpin

Secara konstitusional maupun nonkonstitusional,  politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan. Tak sedikit di antara mereka yang haus akan kekuasaan, berlomba-lomba untuk bisa jadi pemimpin. Tak peduli asalnya dari mana, tak penting latar belakangnya apa. Karena syarat jadi calon penguasa tidak pernah mempertanyakan asalnya dari mana? Kuliah lulusan apa? Atau wawasannya apa saja? Yang penting bisa jadi penguasa, apapun caranya itu. 'Ehem.' Bermacam sudut pandang mengatakan, bahwa untuk jadi seorang pemimpin tentunya diperlukan wawasan yang luas, ulet, kompeten, bertanggung jawab, plus dukungan penuh oleh orang-orang yang akan dipimpin.  Itu bukanlah perkara yang mudah. Banyak terjadi di dunia perpolitikan, pemimpin-pemimpin yang hadir, jauh dari apa yang kita harapkan, seringkali kacang lupa dengan kulitnya. Berbeda jauh dengan anak-anak SUPM, yang tetap ingat dan mengayomi bawahannya, meski jarak umur berpuluh tahun sekalipun. Ya sudahlah! Dunia po