Skip to main content

Posts

Dua Ranah - Keramat Kembali Pulang

Tak bisa kukuasai Bahasa Jepang dengan baik. Tapi aku sudah tahu dasar-dasar penulisannya. Bagiku itu sudah cukup sebagai langkah awal. Karena bahasa yang digunakan sebagai alat interaksi, harusnya lebih banyak mendengar daripada menulis di atas kertas. Bak pribahasa "bisa karena terbiasa". Bila aktif melakukan interaksi dengan lawan bicara, maka kemampuan untuk menguasai bahasa tertentu akan datang dengan sendirinya. Interaksi yang akan kami hadapi adalah interaksi dunia kerja di lapangan. Bukan kerja kantoran berteman tumpukan dokumen yang sudah menunggu untuk segera diterjemahkan. Masa belajar Bahasa Jepang di Jakarta telah usai. Nama-nama peserta training yang resmi diberangkatkan ke Kota Naha tertera di papan pengumuman. Yudianes, teman satu sekolahku dibatalkan berangkat ke Kota itu, dengan alasan yang tidak jelas. Padahal nilai belajar Yudianes selama mengikuti pelajaran di Jakarta, tidak jelek-jelek amat. Pun... dengan hasil medical  chek up  dia, tidak ada masalah sa

Dua Ranah - Merantau - Jakarta

Cerahnya mentari pagi menyinari alam desaku. Desa terpencil yang tidak masuk dalam daftar peta dunia. Desa tempatku dilahirkan dan dibesarkan. Kutatapi sekeliling rumah dan hamparan sawah yang terbentang luas. Kupandangi tepian mandi semasa kecil. Dari kejauhan, terlihat Gunung Singgalang menjulang tinggi, yang puncaknya tertutupi awan hitam. Petir datang bergemuruh, pikiranku serasa mengawang entah ke mana. Desa dan keluarga harus kutinggalkan. Aku pergi merajut asa, demi mengayuh mimpi ke negeri orang. Tradisi Ranah Minang yang melegenda, terjadi juga pada diriku. Bukan legenda anak lelaki yang tidak mendapatkan tempat di kampung halamannya. Bukan legenda anak lelaki yang diusir kaum atas dosa dan kesalahan. Bukan legenda si Malin Kundang yang menjadi cerita hidup di masa lalu. Tetapi realita kehidupan yang mengharuskan tradisi dan filosofi dijalankan, MERANTAU. ‘Baik-baiklah di negeri orang, Yung. Ingat selalu akan adat dan agamo. Jangan lupakan adik-adik waang. Mereka akan menunggu

Dua Ranah - Mak, Aku Ingin Ke Jepang

Setiap kaki kupijakan di teras rumah, mengiangkan masa kecil yang penuh dengan cerita. Aku dan adik laki-laki satu-satunya mandi di sungai Batang Agam bersama-sama. Naik sepeda berboncengan bersama. Belajar mengaji pun bersama-sama. Berantam pukul-pukulan karena si adik menolak mengembala sapi. Namun berdamai lagi, ketika Ayah menggendong kami naik ke atas bahunya. Kami duduk hadap-hadapan sambil berpegangan di kepala Ayah. Ayah mengajarkan kami mengaji agar bisa membaca Al-quran. Ayah memarahi Adik, karena suka tidur saat belajar. Giliran si adik diajak teman main kelereng, mata si adik melek lagi. Masa itu terasa cepat berlalu, yang ada hanyalah dual hal saja: berantam dan keceriaan, tanpa berpikir seperti apa masa depan yang akan terjadi. Aku dan adik laki-laki dulunya si sulung dan si bungsu, sudah ada si bungsu baru menemani Mak ke mana-mana. Hingga umur si bungsu mendekati lima tahun, Ayah masih melakukan pekerjaan yang sama untuk kehidupan kami. Tak ada perubahan berarti dalam k