Cerahnya mentari pagi menyinari alam desaku. Desa terpencil yang tidak masuk dalam daftar peta dunia. Desa tempatku dilahirkan dan dibesarkan.
Kutatapi sekeliling rumah dan hamparan sawah yang terbentang luas. Kupandangi tepian mandi semasa kecil. Dari kejauhan, terlihat Gunung Singgalang menjulang tinggi, yang puncaknya tertutupi awan hitam. Petir datang bergemuruh, pikiranku serasa mengawang entah ke mana. Desa dan keluarga harus kutinggalkan. Aku pergi merajut asa, demi mengayuh mimpi ke negeri orang.
Tradisi Ranah Minang yang melegenda, terjadi juga pada diriku. Bukan legenda anak lelaki yang tidak mendapatkan tempat di kampung halamannya. Bukan legenda anak lelaki yang diusir kaum atas dosa dan kesalahan. Bukan legenda si Malin Kundang yang menjadi cerita hidup di masa lalu. Tetapi realita kehidupan yang mengharuskan tradisi dan filosofi dijalankan, MERANTAU.
‘Baik-baiklah di negeri orang, Yung. Ingat selalu akan adat dan agamo. Jangan lupakan adik-adik waang. Mereka akan menunggu waang kembali pulang. Mak berdoa, semoga garis tangan membawa kebaikan untuk waang di negeri orang.’
‘Iyo, Mak.’
Tak banyak kata terucap ketika aku harus pergi. Air mata kutahan dalam-dalam di hadapan keluarga yang sangat aku cintai. Hari itu adalah hari pertama Ayah bersedia kembali berjabat tangan denganku.
Adik laki-lakiku, Jeky berpura-pura membersihkan motor agar tidak terlihat menangis. Ayah berpura-pura menghalau burung yang makan padi, agar tidak terlihat bersedih. Ibu mengelus-elus kepala sibungsu dengan mata lirih. Si bungsu berdiri di depan Mak sambil menghisap jempolnya.
'Pergi ke mano Uda, Mak?'
'Uda pergi cari piti.'
Si bungsu memberanikan diri melihat aku pergi. Dia meninggalkan pesan saat tas ransel akan kusandang.
‘Uda, nanti kalau uda banyak piti, kirim piti yang buaaanyak, yo! Untuk beli sepeda. Biar nanti sekolah ndak jalan kaki.’
Kaki terasa berat kulangkah melihat si bungsu yang polos bicara terbata-bata mengungkapkan keinginannya. Aku menganggukan kepala dan pergi membawa harapan, semoga keinginan orang tua dan adik-adikku bisa terwujudkan.
Kunaiki Bus Lampung Jaya menuju Jakarta tanpa menoleh ke belakang. Kusandarkan kepala di kursi bus sambil mendengar lantunan lagu Minang "Rilakan Nan Tamakan". Sulit mengambarkan rasa hati mendengar alunan nada lagu itu. Hingga satu hari dua malam, badanku sampai juga di Kota Metropolitan.
Laju Bus Lampung Jaya berhenti di Terminal Pulo Gadung. Kutemui saudara sekampung yang tidak jauh dari terminal itu. Semalam di rumah saudara, esoknya aku pergi ke Tanjung Priuk, mencari kantor yang akan memberangkatkan aku ke Negara Jepang.
Tiga jam lamanya mencari alamat ke sana ke mari. Di sebuah rumah putih Jalan Mindi kawasan Jakarta Utara, aku melihat Joko sedang berdiri bercengkrama dengan Zuardi.
Mereka berdua sama-sama teman sekolahku, dan sama-sama akan belajar bahasa Jepang di kantor yang sama.
Berembuk beberapa saat, kami memutuskan mengontrak satu kamar di Jalan Johor, yang tidak begitu jauh dari gedung tempat kami belajar Bahasa Jepang. Kami bertiga jadi penghuni satu kamar disusul Basir yang juga ikut ingin tinggal bersama kami.
Tiga bulan waktu belajar Bahasa Jepang terasa menyenangkan. Kami diajarkan menulis huruf hiragana dan katakana oleh sensei kami masing-masing. Kami bertemu teman-teman dari lulusan sekolah pelayaran yang ada di seluruh Indonesia. Kami coba untuk bisa berbaur dengan mereka. Teman baru, suasana baru, pastinya cara pergaulan yang baru juga.
Mereka gaya-gayaan bicara “lu gue”, aku juga ikut-ikutan bicara “lu gue”. Tapi logat anak kampung yang baru saja datang ke Jakarta memang tidak bisa digaya-gayakan. Bahasaku selalu saja jadi bahan tertawaan mereka, yang kental dengan logat Padang.
Pernah desak-desakan mau turun dari metromini. Jatuh ke aspal, dan lututku jadi memar. Sampai di rumah kontrakan, Hendri, teman dari Cirebon bertanya.
‘Kenapa kaki, lu?’
'Gue terjatuh waktu kejar-kejaran metromini. Sampai-sampai, badan gue terpelanting ke dalam bandar.’
Hendri bingung, ‘Maksudnya? Lu jatoh, trus nyungsep ke comberan, gitu?
‘Iya, itu maksud, gue.’
‘Kasian gue liat, lu,’ kata Hendri.
‘Iya ni, sakit sangat kaki gue.’
‘Bukan kaki lu, tapi bahasa lu. MEDOK!’
Hening.
Sejak saat itu, aku tidak pernah lagi bicara “lu gue”. Ternyata oh ternyata, menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, tidak cukup dianggap gaul oleh Hendri di Jakarta. Dia lebih memilih mengkritik bahasaku, ketimbang mencarikan obat merah untuk memar di kakiku.
Hal-hal baru jadi pelajari di Kota Jakarta. Selain cara bergaul dan bertetangga, juga belajar mengetahui bagaimana susahnya orang-orang mencari pekerjaan di Kota itu. Mengamen, jual koran, bahkan jual diri.
Aku bersyukur memiliki nasib sedikit lebih baik dibandingkan mereka. Meski hanya atas nama training, aku menerima gaji yang lebih dari kata cukup. Konon cerita seniorku, jika sudah di Jepang nanti, bisa nabung buat usaha.
Pergaulan anak pelayaran yang identik dengan dunia malam, sering kali mempengaruhi untuk terjerumus ke dunia itu. Serba salah ketika menolak ajakan teman-teman di Jakarta. Dituruti, ingat dosa. Tak dituruti, dianggap anak kampungan.
Agar tidak sampai terjerumus lebih jauh, kami hanya menuruti ajakan teman-teman ketika alasan tidak lagi kami temukan. Sebisanya, kami berusaha melupakan glamor dunia malam dengan bermain play station di sekitar kontrakan
Lantaran ikut-ikutan teman pergi clubing, sering kami kehabisan uang kiriman dari orang tua untuk makan di Jakarta. Padahal pihak perusahaan juga telah memberi kami uang saku, sejumlah delapan ratus ribu setiap bulannya.
Basir, pecandu rokok, pernah memungut puntung rokok buangan orang di jalanan. Tidak tahan dengan cara itu, Basir bekerja paruhwaktu sebagai tukang cuci piring di warung makan pecel lele. Hingga pacaran dengan anak si tukang pecel lele.
Nasib Basir terselamatkan oleh anak si tukang pecel lele. Tapi bagaimana dengan nasib kami bertiga?
Zuardi meminta anak si tukang pecel lele mengenalkan temannya. Joko juga tidak mau kalah, anak si tukang pecel lele diminta pula mengenalkan temannya satu orang lagi, jika masih ada?
Mereka bertiga punya pasangan masing-masing. Tapi aku tidak terima jika harus menjomblo seorang diri.
Pacar Joko yang cantik aduhai mirip artis Syakila Sakieb, kulirik-lirik dari kejauhan, kutebar pesona dengan manisnya lesung pipiku, kuupayakan dengan tingkah dan berprilaku, agar si cantik itu berpindah hati kepadaku.
Kukirim si cantik jelita sebuah surat cinta. Kurangkai kata-kata seindah mungkin, mengalir bak indahnya tatanan puisi, bagaikan memandang indahnya warna pelangi. Hanya dalam waktu dua hari saja, si cantik jelita berpindah hati kepadaku, dan peristiwa pagar makan tanaman terjadi di kontrakan kami.
Aku dan si cantik jelita menikmati indahnya bintang kejora dari teras kontrakan, sementara si Joko gigit jari di dalan kamar seorang diri.
'Ohw, teganya diriku.'
Satu minggu hidup menjomblo, Joko berusaha mencari pacar di komplek lain, dan tiap kami punya pasangan masing-masing.
Tiga bulan berlalu, kami berempat resmi diberangkatkan ke Negeri Sakura. Aku dan Basir untuk Kota Naha, Joko untuk kota Kochi, dan Zuardi untuk Kota Nichinan. Tapi bagaimana nasib anak si tukang pecel lele beserta teman-temannya?
Kami pergi berlalu begitu saja. Tidak terlalu berpikir akan kembali lagi. Kenangan hanya lah tinggal kenangan. Habis manis sepah dibuang, dan tidak lama terdengar kabar, rupanya sepah itu dipungut oleh junior-junior kami.
'Jakarta, Oh Jakarta.'
Besambung
+Potongan
Doni Romiza
Kutatapi sekeliling rumah dan hamparan sawah yang terbentang luas. Kupandangi tepian mandi semasa kecil. Dari kejauhan, terlihat Gunung Singgalang menjulang tinggi, yang puncaknya tertutupi awan hitam. Petir datang bergemuruh, pikiranku serasa mengawang entah ke mana. Desa dan keluarga harus kutinggalkan. Aku pergi merajut asa, demi mengayuh mimpi ke negeri orang.
Tradisi Ranah Minang yang melegenda, terjadi juga pada diriku. Bukan legenda anak lelaki yang tidak mendapatkan tempat di kampung halamannya. Bukan legenda anak lelaki yang diusir kaum atas dosa dan kesalahan. Bukan legenda si Malin Kundang yang menjadi cerita hidup di masa lalu. Tetapi realita kehidupan yang mengharuskan tradisi dan filosofi dijalankan, MERANTAU.
‘Baik-baiklah di negeri orang, Yung. Ingat selalu akan adat dan agamo. Jangan lupakan adik-adik waang. Mereka akan menunggu waang kembali pulang. Mak berdoa, semoga garis tangan membawa kebaikan untuk waang di negeri orang.’
‘Iyo, Mak.’
Tak banyak kata terucap ketika aku harus pergi. Air mata kutahan dalam-dalam di hadapan keluarga yang sangat aku cintai. Hari itu adalah hari pertama Ayah bersedia kembali berjabat tangan denganku.
Adik laki-lakiku, Jeky berpura-pura membersihkan motor agar tidak terlihat menangis. Ayah berpura-pura menghalau burung yang makan padi, agar tidak terlihat bersedih. Ibu mengelus-elus kepala sibungsu dengan mata lirih. Si bungsu berdiri di depan Mak sambil menghisap jempolnya.
'Pergi ke mano Uda, Mak?'
'Uda pergi cari piti.'
Si bungsu memberanikan diri melihat aku pergi. Dia meninggalkan pesan saat tas ransel akan kusandang.
‘Uda, nanti kalau uda banyak piti, kirim piti yang buaaanyak, yo! Untuk beli sepeda. Biar nanti sekolah ndak jalan kaki.’
Kaki terasa berat kulangkah melihat si bungsu yang polos bicara terbata-bata mengungkapkan keinginannya. Aku menganggukan kepala dan pergi membawa harapan, semoga keinginan orang tua dan adik-adikku bisa terwujudkan.
Kunaiki Bus Lampung Jaya menuju Jakarta tanpa menoleh ke belakang. Kusandarkan kepala di kursi bus sambil mendengar lantunan lagu Minang "Rilakan Nan Tamakan". Sulit mengambarkan rasa hati mendengar alunan nada lagu itu. Hingga satu hari dua malam, badanku sampai juga di Kota Metropolitan.
Laju Bus Lampung Jaya berhenti di Terminal Pulo Gadung. Kutemui saudara sekampung yang tidak jauh dari terminal itu. Semalam di rumah saudara, esoknya aku pergi ke Tanjung Priuk, mencari kantor yang akan memberangkatkan aku ke Negara Jepang.
Tiga jam lamanya mencari alamat ke sana ke mari. Di sebuah rumah putih Jalan Mindi kawasan Jakarta Utara, aku melihat Joko sedang berdiri bercengkrama dengan Zuardi.
Mereka berdua sama-sama teman sekolahku, dan sama-sama akan belajar bahasa Jepang di kantor yang sama.
Berembuk beberapa saat, kami memutuskan mengontrak satu kamar di Jalan Johor, yang tidak begitu jauh dari gedung tempat kami belajar Bahasa Jepang. Kami bertiga jadi penghuni satu kamar disusul Basir yang juga ikut ingin tinggal bersama kami.
![]() |
Poto: Doni Romza |
Tiga bulan waktu belajar Bahasa Jepang terasa menyenangkan. Kami diajarkan menulis huruf hiragana dan katakana oleh sensei kami masing-masing. Kami bertemu teman-teman dari lulusan sekolah pelayaran yang ada di seluruh Indonesia. Kami coba untuk bisa berbaur dengan mereka. Teman baru, suasana baru, pastinya cara pergaulan yang baru juga.
Mereka gaya-gayaan bicara “lu gue”, aku juga ikut-ikutan bicara “lu gue”. Tapi logat anak kampung yang baru saja datang ke Jakarta memang tidak bisa digaya-gayakan. Bahasaku selalu saja jadi bahan tertawaan mereka, yang kental dengan logat Padang.
Pernah desak-desakan mau turun dari metromini. Jatuh ke aspal, dan lututku jadi memar. Sampai di rumah kontrakan, Hendri, teman dari Cirebon bertanya.
‘Kenapa kaki, lu?’
'Gue terjatuh waktu kejar-kejaran metromini. Sampai-sampai, badan gue terpelanting ke dalam bandar.’
Hendri bingung, ‘Maksudnya? Lu jatoh, trus nyungsep ke comberan, gitu?
‘Iya, itu maksud, gue.’
‘Kasian gue liat, lu,’ kata Hendri.
‘Iya ni, sakit sangat kaki gue.’
‘Bukan kaki lu, tapi bahasa lu. MEDOK!’
Hening.
Sejak saat itu, aku tidak pernah lagi bicara “lu gue”. Ternyata oh ternyata, menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, tidak cukup dianggap gaul oleh Hendri di Jakarta. Dia lebih memilih mengkritik bahasaku, ketimbang mencarikan obat merah untuk memar di kakiku.
Hal-hal baru jadi pelajari di Kota Jakarta. Selain cara bergaul dan bertetangga, juga belajar mengetahui bagaimana susahnya orang-orang mencari pekerjaan di Kota itu. Mengamen, jual koran, bahkan jual diri.
Aku bersyukur memiliki nasib sedikit lebih baik dibandingkan mereka. Meski hanya atas nama training, aku menerima gaji yang lebih dari kata cukup. Konon cerita seniorku, jika sudah di Jepang nanti, bisa nabung buat usaha.
Pergaulan anak pelayaran yang identik dengan dunia malam, sering kali mempengaruhi untuk terjerumus ke dunia itu. Serba salah ketika menolak ajakan teman-teman di Jakarta. Dituruti, ingat dosa. Tak dituruti, dianggap anak kampungan.
Agar tidak sampai terjerumus lebih jauh, kami hanya menuruti ajakan teman-teman ketika alasan tidak lagi kami temukan. Sebisanya, kami berusaha melupakan glamor dunia malam dengan bermain play station di sekitar kontrakan
Lantaran ikut-ikutan teman pergi clubing, sering kami kehabisan uang kiriman dari orang tua untuk makan di Jakarta. Padahal pihak perusahaan juga telah memberi kami uang saku, sejumlah delapan ratus ribu setiap bulannya.
Basir, pecandu rokok, pernah memungut puntung rokok buangan orang di jalanan. Tidak tahan dengan cara itu, Basir bekerja paruhwaktu sebagai tukang cuci piring di warung makan pecel lele. Hingga pacaran dengan anak si tukang pecel lele.
Nasib Basir terselamatkan oleh anak si tukang pecel lele. Tapi bagaimana dengan nasib kami bertiga?
Zuardi meminta anak si tukang pecel lele mengenalkan temannya. Joko juga tidak mau kalah, anak si tukang pecel lele diminta pula mengenalkan temannya satu orang lagi, jika masih ada?
Mereka bertiga punya pasangan masing-masing. Tapi aku tidak terima jika harus menjomblo seorang diri.
Pacar Joko yang cantik aduhai mirip artis Syakila Sakieb, kulirik-lirik dari kejauhan, kutebar pesona dengan manisnya lesung pipiku, kuupayakan dengan tingkah dan berprilaku, agar si cantik itu berpindah hati kepadaku.
Kukirim si cantik jelita sebuah surat cinta. Kurangkai kata-kata seindah mungkin, mengalir bak indahnya tatanan puisi, bagaikan memandang indahnya warna pelangi. Hanya dalam waktu dua hari saja, si cantik jelita berpindah hati kepadaku, dan peristiwa pagar makan tanaman terjadi di kontrakan kami.
Aku dan si cantik jelita menikmati indahnya bintang kejora dari teras kontrakan, sementara si Joko gigit jari di dalan kamar seorang diri.
'Ohw, teganya diriku.'
Satu minggu hidup menjomblo, Joko berusaha mencari pacar di komplek lain, dan tiap kami punya pasangan masing-masing.
Tiga bulan berlalu, kami berempat resmi diberangkatkan ke Negeri Sakura. Aku dan Basir untuk Kota Naha, Joko untuk kota Kochi, dan Zuardi untuk Kota Nichinan. Tapi bagaimana nasib anak si tukang pecel lele beserta teman-temannya?
Kami pergi berlalu begitu saja. Tidak terlalu berpikir akan kembali lagi. Kenangan hanya lah tinggal kenangan. Habis manis sepah dibuang, dan tidak lama terdengar kabar, rupanya sepah itu dipungut oleh junior-junior kami.
'Jakarta, Oh Jakarta.'
Besambung
+Potongan
Doni Romiza