Skip to main content

Dua Ranah - Keramat Kembali Pulang

Tak bisa kukuasai Bahasa Jepang dengan baik. Tapi aku sudah tahu dasar-dasar penulisannya. Bagiku itu sudah cukup sebagai langkah awal. Karena bahasa yang digunakan sebagai alat interaksi, harusnya lebih banyak mendengar daripada menulis di atas kertas.

Bak pribahasa "bisa karena terbiasa". Bila aktif melakukan interaksi dengan lawan bicara, maka kemampuan untuk menguasai bahasa tertentu akan datang dengan sendirinya.

Interaksi yang akan kami hadapi adalah interaksi dunia kerja di lapangan. Bukan kerja kantoran berteman tumpukan dokumen yang sudah menunggu untuk segera diterjemahkan.

Masa belajar Bahasa Jepang di Jakarta telah usai. Nama-nama peserta training yang resmi diberangkatkan ke Kota Naha tertera di papan pengumuman. Yudianes, teman satu sekolahku dibatalkan berangkat ke Kota itu, dengan alasan yang tidak jelas.

Padahal nilai belajar Yudianes selama mengikuti pelajaran di Jakarta, tidak jelek-jelek amat. Pun... dengan hasil medical chek up dia, tidak ada masalah sama sekali.

Perserta training untuk Kota Naha-Okinawa berjumlah 30 orang. Utusan Sumbar tersisa tiga orang: Basir, Fardi, dan aku sendiri. Sisanya adalah siswa-siswa lulusan sekolah pelayaran lain yang ada di seluruh Indonesia.

Di papan pengumuman juga tertulis jadwal keberangkatan kami.

------------------------------------------
PESERTA TRAINING NAHA-OKINAWA

Sabtu, 04 April 2003
Garuda Indonesia
Pukul 18:00 WIB. Terminal E (CGK), Jakarta

Harap berkumpul di kantor sebelum pukul 15.00 WIB
----------------------------------------------

'Wah, dua hari lagi,' pikirku.

Aku bergegas menelepon Mak dan Ayah ke kampung, dengan meminta bantuan penjaga warung telepon yang ada di dekat kampung. Aku ingin memberi tahu jadwal keberangkatanku. Kalau bisa, Mak dan Ayah datang ke Jakarta, agar bisa melihat kepergianku dari Bandara Soekarno Hatta.

Setelah tiga jam menunggu lamanya, aku kembali menelepon si penjaga wartel, dan Ayah juga ada di toko itu.

'Hallo, Hallo', kata Ayah

'Hallo, Hallo. Ayah dan Mak bisa ke Jakarta? Tanyaku dengan nada buru-buru.

'Hallo, hallo. Kok ndak jelas suara waang?' Tanya Ayah.

'Ayah dan Mak bisa ke Jakarta? Tanyaku lebih keras lagi.

Tiba-tiba si penjaga toko menghampiri Ayah, dan memberi tahu sesuatu.

'Bapak megang teleponnyo kebalik, Pak.'

'Oalaaah. Terbalik rupanya,' kata Ayah.

'Ayah dan Mak bisa ke Jakarta?' Aku bertanya lagi.

'Ayah ndak bisa. Ndak ado yang jaga sawah kita. Padi sebentar lagi panen. Ndak ado yang usir burung makan padi nanti. Mak sama adik waang sajo lah yang ke Jakarta.'

'Owh. Yo sudah. Bilang sajo sama Mak. Kalau sudah sampai di bandara, berdiri sajo di pintu keberangkatan terminal E. Suruh tanya sajo sama satpam.'

'Yo, yo,' kata Ayah.

Tapi apa yang terjadi?

Mak dan adikku harusnya berangkat dari Bandara Tabing pukul 11.30 WIB, keberangkatan Mak ditunda menjadi pukul 16.00 WIB.

Aku gelisah dalam berpikir. Tak disangka ada perubahan jadwal sebelumnya. Hp-pun belum punya waktu itu.

Kucari Mak berulang kali ke terminal E, tetapi tidak ada tanda-tanda Mak ada di terminal itu. Kucari Mak ke terminal B kedatangan, tapi pesawat yang Mak tumpangi belum mendarat juga. Kutanya ke petugas bandara, rupanya keberangkatan Mak ditunda dengan waktu yang sangat mepet sekali.

Aku tidak tahu harus berbuat apa? Yang ada hanyalah kebingungan dan gelisah setengah mati.

Mak dan adikku sangat berharap bisa melihat keberangkatanku dari Bandara. Tapi waktu tidak memungkinkan untuk bisa menemuiku.

Aku semakin panik... seperti gempa datang tiba-tiba dari ketinggian. ada rasa penyesalan karena sudah meminta Mak datang ke Bandara Soekarno Hatta. Mestinya aku tidak perlu lakukan itu, untuk orang tua yang tidak pernah datang ke Bandara sama sekali


Poto: Dewi Bundo Rasyad


Kulihat jarum jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Sekujur tubuhku terasa sudah lemas, tak mampu berpikir bagaimana caranya agar bisa bertemu dengan Mak. Tak bisa kubayangkan, betapa sedihnya Mak dan adikku yang masih kecil. Andaipun pesawat yang mereka tumpangi mendarat di Bandara Soekarno Hatta,  mereka tidak punya pilihan lagi, harus kembali pulang ke desa.

Rasa kasihan menyelinap dalam pikiran. Hanya maaf dalam hati yang mampu aku ucapkan. Karena hanya itu yang bisa aku lakukan.

Saat perasaan kacau balau hinggap di kepala, Hendri membisikan sesuatu ke telinga.

‘Kehidupan kapal lebih keras daripada kehidupan di asrama pelayaran.’

Jika kita tidak bisa bekerja dengan baik, akan kembali terjadi kekerasa di atas kapal seperti di asrama dulu. Apalagi tidak paham dengan bahasa orang Jepang. Bahasa kapal jauh berbeda dengan bahasa yang kita pelajari di Jakarta. Bisa-bisa, kita tidak diberi makan ketika nahkoda sudah marah.

‘Ada juga yang dibuang kelaut,’ sambung Hendri.

‘Truss, kamu ngapain pergi ke Jepang?’ tanyaku.

‘Yang jelas bukan berlayar. Aku mau kabur selesai belajar nanti. Ada senior akan bantu kita mencarikan pekerjaan di daratan, uangnya lebih besar. Kalau kamu mau ikut, silakan!’

Mendengar bujukan Hendri, aku jadi berpikir panjang. Teringat kembali kerasnya kehidupan asrama. Aku trauma akan hal itu. Sejenak kucoba merenungkan diri, menyimpulkan, hingga kubisikan sebuah jawaban atas bujukan Hendri.

‘Aku coba dulu berlayar. Jika nanti ucapanmu benar, aku pasti hubungi kamu.’

‘Boleh, tapi hati-hati dari mata-mata polisi,’ sahut Hendri, dan dia menyelipkan selembar kertas bertuliskan alamat dan nomor telepon seseorang yang akan membantu bila melarikan diri dari pelayaran nanti.

Perjalanan dari Jakarta menuju Kota Naha benar-benar perjalanan yang  melelelahkan. Pesawat yang ditumpangi tidak langsung menuju Kota Naha, mesti transit dulu di Singapura dan Korea. Hanya kursi ruang tunggu menjadi tempat tidur kami, sebelum berganti pesawat lagi.

Sampai di Bandara International Naha, Di ruang tunggu kedatangan, berdiri tiga pria paruhbaya mengenakan jas warna hitam dengan rapi. Ditambah kaca mata warna coklat yang menutupi bola mata mereka. Sepintas lalu, mereka seperti tertuju melihat kami yang sedang sibuk dengan barang bawaan masing-masing. Ketiga pria itu mendekat ke arah kami, yang salah satu di antara mereka membuka kaca mata sambil berjalan.

‘Konbanwa.’

‘Konbanwa.’

Rupanya ketiga pria paruhbaya itu agen utusan kantor yang akan mempekerjakan kami di kapal nanti. Bicara mereka terkesan lembut, tapi dalam pikiran ada rasa takut, entah apa penyebabnya?

Kami menuju asrama menaiki bus dalam pengawasan mereka. Kami diminta  memasang papan nama di jaket kuning yang sedang kami kenakan, sekaligus menyerahkan paspor kami masing-masing.

'Dengar baik-baik. Sebelum kalian menaiki kapal dari Kota Naha, kalian terlebih dahulu belajar Bahasa dan Budaya Jepang di Pusat Pelatihan daerah Itoman. Tiga puluh menit dari sini.'

Pendamping kami menterjemahkan ucapan salah satu agen itu. Kami menjawab dengan keras dan serentak.

'Haiiiik.'

Tepat di lampu merah kedua dari Bandara Naha, sebelah kanan kami berhenti mobil rombongan pasukan berbaju loreng kamufalse, kulit putih kemerah-merahan, sebagian dari pasukan itu ada juga yang berkulit hitam. Semua mata tertuju melihat pasukan itu, mereka juga tertuju melihat kami.

'Kayak Tentara Amerika', kata Hendri.

'Yaa. Itu tentara Amerika.' Jawab salah satu agen kami.

Si agen menjelaskan, bahwa Kepulauan Okinawa tidak sepenuhnya milik Negara Jepang. 17 % wilayah Okinawa di kuasai oleh Negara Amerika yang beroperasi sebagai pangkalan militer pasukan tentara negeri Paman Sam itu.

Tidak lama lampu merah bargati hijau. Bus kami melaju menuju asrama Pusat Pelatihan Itoman. Lebih kurang 30 menit, bus memasuki pintu gerbang pusat pelatihan yang dimaksud.

Kami disambut dengan hidangan malam. Para agen memperkenalkan nama-nama mereka, begitu juga dengan kami.

Kami istirahat di Kamar sederhana jendala kaca, pintu geser, dan berlantaikan tatami (anyaman jerami). Udara malam terasa sejuk di musim semi, walau masing-masing kamar dihuni lima orang.

Kami kembali belajar Bahasa dan Budaya Jepang selama tiga bulan. Mengikuti jam pelajaran sesuai aturan yang berlaku di Negara itu, Senin sampai Jumat. Jam belajar dimulai pukul 09.00 pagi sampai pukul 05.00 sore.




Libur minggu pertama, kami berkunjung ke Pantai Naminoue, sebuah pantai buatan yang terkenal di Kepulauan Okinawa. Pantai yang indah dengan air berwarna zamrud.

Kami berjalan-jalan ke Kokusai Dori, sebuah pusat perbelanjaan yang menjual ole-ole khas Okinawa yang unik dan murah. Ramai dan tamah, mungkin itu dua kata yang bisa menggambarkan indanya tiap sudut toko-toko yang ada di Kokusai Dori.




Tak ketinggalan melihat Istana Shuri, bekas milik Kerajaan Ryukyu di Shuri, Okinawa. Suasana yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.

Keindahan Kota Naha, perlahan menghipnotis otakku untuk melupakan kenangan desa. Teringat suasana desa hanya ketika menyantapi makanan Jepang. Makanan yang membuat aku kangen dengan rendang buatan Mak.

Kami diminta untuk membiasakan makan sashimi. Seumur-umur, baru kali itu aku melahap daging mentah yang hanya dibubuhi kecap asin dan wasabi. Tak jarang setelah melahapnya kembali aku muntahkan.

Setiap melahap daging mentah itu, Basir selalu saja mengocok perut kami. Ada saja bahan omongan memberi sindiran ke orang-orang Jepang yang berdiri mengawas kami.

‘Orang Jepang buat masakan ndak punya modal. Makan pake ikan mentah.'

Si pengawas hanya bisa plonga-plongo diam, karena tidak memahami ucapan Basir.




Tiga bulan masa belajar di pusat pelatihan Itoman, terasa cepat berlalu begitu saja. Kami pergi menuju asrama baru di Kota Naha. Kami mulai berpetualang menjadi seorang pelaut. Aku dan Basir terpisahkan, karena kapal yang menerima kami tidak sama.

Kuarahkan pandangan mata ke laut lepas. Gundah gulana merasuki jiwa. Keraguan membebani pikiranku. Ketakutan menghantui, karena teringat kata-kata Hendri “Kehidupan di kapal lebih keras daripada kehidupan di asrama dulu”.

Dengan mengucap "Bismillah" kuyakinkan hati untuk tetap pergi belayar, tak lagi berpikiran akan ada kekerasan di kehidupan kapal. Kuarungi luasnya samudera, walau deru ombak bergemuruh di lautan lepas.

Kapal yang memerimaku bekerja, tidak hanya berlabuh di pelabuhan Naha. Tapi juga ke pelabuhan bagian utara Jepang seperti Katsura dan Shiogama.

Bila kapal berlabuh di Katsura dan Shiogama, tak jarang bertemu teman-teman satu sekolah yang bekerja di kapal kota lain, seperti Kincai, Eston, dan yang lainnya, serta juga senior-senior yang lebih dulu datang dari kami.

Ruang waktu malam kami habiskan di tempat hiburan karaoke. Sebagian dari kami, pulang mabuk-mabukan karena banyaknya minum sake.

Hingga setahun berlalu, entah nasibku yang beruntung, atau dugaan Hendri yang salah, aku tidak pernah merasakan kekerasan di atas kapal. Nahkoda dan orang-orang Jepang lainnya memperlakukan aku seperti keluarganya sendiri.

Setiap kapal memasuki pelabuhan, Nahkoda tidak lupa mengajakku pergi makan ke restoran mewah, serta karaoke bereng dengan keluarganya.

Bermacam rencana mulai singgah di benakku: ingin beli rumah bila pulang nanti, ingin merancang usaha bila modal sudah cukup, dan ingin bantu keluarga ke arah yang lebih baik.

Andai kontrak kerja berakhir nanti, tersirat keinginan untuk memperpanjang, dan kembali berlayar lagi. Aku masih berpikiran untuk bertahan sebagai pelaut. Dan jika tidak di negara orang, mungkin di negara sendiri. Karena potensi kekayaan laut Indonesia juga tidak kalah baiknya dibandingkan dengan Jepang.

Tapi garis tangan berkata lain. Nasib baik-baik tidak selamanya berpihak kepadaku.

Saat kontrak kerja menyisakan dua tahun lagi, saat rancangan masa depanku sudah tertulis di buku harian, saat pundi-pundi uang sudah terkumpul di perusahaan, entah apa sebabnya, nahkodaku pingsan di anjungan kapal. Seisi kapal dibuat panik dengan kejadian itu.

Kapal yang baru saja berangkat dari pelabuhan Shiogama, berputar laju menuju daratan. Tak sampai separuh jalan, nyawa nahkodaku tidak bisa tertolong, dan meninggal dalam perjalanan.

Dalam kurun waktu satu bulan, kapal dijual oleh keluarga yang ditinggalkan. Pihak perusahaan memintaku kembali pulang ke Indonesia.

Pikiranku jadi kalut!

Uang tabungan belum seberapa, dan aku belum siap untuk meninggalkan tanah sakura.

Aku berpikir pulang ke Indonesdia, atau menyusul Hendri yang telah duluan kabur?

Aku bertafakur di kamar persinggahan, Kembali merenungkan diri, langkah apa yang mesti aku pilih?

Kubuka dompet yang berisi kartu identitas, uang kertas empat puluh ribu yen, serta selembar kertas dari Hendri.

Tak berpikir berlama-lama, segera kuhubungi Hendri.

‘Aku juga mau kabur.’

Dari Stasiun Shiogama, aku pergi menuju Stasiun Sendai. Banyak rasa khawatir menuju stasiun itu, dari susahnya membaca tulisan kanji di jalanan, campur aduk seakan-akan langkah kaki di hadang polisi sebelum sampai ke tujuan.



Kulihat Hendri berdiri di sebelah rel shinkansen melambaikan tangan, aku menujunya. Tapi baru saja akan menyeberang rel shinkansen, Hendri teriak, 'Polisiiiii!’

Spontan aku berlari tak tahu arah, aku terpisah dari Hendri. Gang sempit rumah penduduk menjadi tempat aksi kejar-kejaran. Aku bersembunyi di bangunan tua yang tak berpenghuni, hingga polisi kehilangan jejakku.

Dalam kelelahan, aku berjalan dengan baju bercucuran keringat. Kutundukkan kepala, terlihat sepatu yang kupakai sudah basah kuyup. Aku kebingungan, haus, lapar, menyesali atas apa yang telah aku lakukan. Andai saja aku memilih pulang, mungkin tak akan seperti itu kejadiaanya.

Sinar matahari mulai redup. Semarak Kota Sendai terlihat indah dari kejauhan. Aku berjalan menuju tangga bangunan tua yang ada di hadapanku. Kusandarkan badan yang masih letih, teringat pesan Mak dan Ayah, teringat pesan adikku yang kepingin sepeda baru. Aku berpasrah dengan keadaan, hingga tertidur dalam kelelahan.

Matahari terasa menyengat wajahku. Perlahan kubuka mata, ternyata malam telah berganti siang. Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki orang berjalan. Suara itu semakin mendekatiku, dekat, dekat, hingga kami berpapasan.

Seorang Nenek tua kaget dan ketakutan melihatku. Nenek itu menghindar.

‘Tunggu! Tolong, Nek!’

Aku memohon dengan alasan aku sedang kebingungan. Aku meyakinkan Nenek, bahwa aku bukanlah seorang penjahat. Aku mengiba dengan berucap aku sedang kehausan. Nenek yang semula ingin pergi, memutar badan.

'Kamu siapa?’ tanya Nenek.

‘Aku orang Indonesdia, Nek.’

Nenek mau berbaik hati menolongku. Nenek mengajak aku ke rumahnya, mempersilakan aku duduk di kursi tamu rumahnya, menawarkan aku segelas air putih, dan sepotong roti bakar.

Rupanya Nenek pernah lima tahun tinggal di Jakarta. Dulu Nenek ikut suami, lantaran bekerja di Kedutaan Jepang untuk Indonesia. Aku tercengang akan penjelasan Nenek.

Aku bersyukur bisa bertemu orang Jepang yang mengerti dengan Indonesia. Bahkan Nenek memuji orang-orang Indonesia yan saling bantu dan suka bersilaturrahmi. Tidak seperti orang-orang Jepang, dimana dengan tetangga sendiri tidak saling kenal dan bertutur sapa. Mungkin hal itu menjadi alasan, kenapa Nenek bersedia menumpangiku di rumahnya.



Doni Romiza

Sambungan⬅Geser Layar Hp Ke Kiri⬅
Sebelumnya➡Geser Kanan ➡

Popular posts from this blog

Rotan Itu Hanya Melengkung, Bukan Patah! |Adosinfo

By: DR Taktik dan siasat tidak hanya berlaku dalam politik. Tapi juga dalam hal lainnya, termasuk dalam dunia usaha, yang menggunakan bermacam cara untuk mencari keuntungan lebih. Itu hal positif selama dilakukan dengan cara yang positif pula. Tapi apa jadinya jika siasat itu dilakukan dengan cara yang tidak transfaran, penuh kecurangan. Mungkin gelagat pecundang bisa tak terlihat saat kebohongan ia lakukan. Nyalinya tak gemetaran ketika ada sesuatu hal yang diperdebatkan. Tapi bagi seorang pemenang, harus mampu membaca arah siasat buruk itu, untuk menyiapkan siasat lainnya, agar tidak merasa dirugikan. Tak perlu berargumen panjang lebar untuk menguji sebuah kebenaran. Tak perlu menggunakan kedua tangan untuk meruntuhkan kokohnya sebuah komitmen, selama hal itu masih berlaku untuk hal-hal yang positif. Satu hal yang perlu difahami: Rotan itu hanya melengkung, bukan patah!! Hanya kelapukkan yang bisa mematahkan rotan. Tunggulah rotan itu lapuk pada waktunya.

Hiduplah Seperti Kereta Berjalan | Adosinfo

Hidup akan terus berjalan, tapi banyak hal yang perlu kita ketahui bagaimana mestinya menjalani hidup semestinya? Karena yang namanya hidup tidak lepas dari ujian ataupun cobaan. Walau adakalanya hidup menerima puja dan pujian, hidup tidak lepas dari caci dan hinaan. Bergantung atas apa yang telah kita perbuat di muka bumi ini, dan bergantung bagaimana sudut pandang orang-orang yang menilai kita.  Ya… begitulah hidup, tidak semua keinginan mampu kita wujudkan, lantaran hidup ini akan ada liku dan jalan terjal. Hidup butuh inspirasi dan motivasi untuk meraih sesuatu. Tapi hidup ini terlalu terbalut angan bila hanya terinspirasi oleh kisah kesuksesan seseorang, atau termotivasi oleh omongan seseorang yang memang ahlinya sebagai motivator ulung, yang mampu merangkai kata demi kata. Kita mesti bijak menyikapi sebuah inspirasi dan motivasi. Karena cerita orang sukses akan tetap jadi cerita yang menggiurkan, bila memang mereka mampu meraih kesuksesan dalam hidup mereka. Tapi bila mere

6 Alasan Yang Membuat Anak SUPM Layak Jadi Pemimpin

Secara konstitusional maupun nonkonstitusional,  politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan. Tak sedikit di antara mereka yang haus akan kekuasaan, berlomba-lomba untuk bisa jadi pemimpin. Tak peduli asalnya dari mana, tak penting latar belakangnya apa. Karena syarat jadi calon penguasa tidak pernah mempertanyakan asalnya dari mana? Kuliah lulusan apa? Atau wawasannya apa saja? Yang penting bisa jadi penguasa, apapun caranya itu. 'Ehem.' Bermacam sudut pandang mengatakan, bahwa untuk jadi seorang pemimpin tentunya diperlukan wawasan yang luas, ulet, kompeten, bertanggung jawab, plus dukungan penuh oleh orang-orang yang akan dipimpin.  Itu bukanlah perkara yang mudah. Banyak terjadi di dunia perpolitikan, pemimpin-pemimpin yang hadir, jauh dari apa yang kita harapkan, seringkali kacang lupa dengan kulitnya. Berbeda jauh dengan anak-anak SUPM, yang tetap ingat dan mengayomi bawahannya, meski jarak umur berpuluh tahun sekalipun. Ya sudahlah! Dunia po