Skip to main content

Dua Ranah - Mak, Aku Ingin Ke Jepang

Setiap kaki kupijakan di teras rumah, mengiangkan masa kecil yang penuh dengan cerita. Aku dan adik laki-laki satu-satunya mandi di sungai Batang Agam bersama-sama. Naik sepeda berboncengan bersama. Belajar mengaji pun bersama-sama.

Berantam pukul-pukulan karena si adik menolak mengembala sapi. Namun berdamai lagi, ketika Ayah menggendong kami naik ke atas bahunya. Kami duduk hadap-hadapan sambil berpegangan di kepala Ayah.

Ayah mengajarkan kami mengaji agar bisa membaca Al-quran. Ayah memarahi Adik, karena suka tidur saat belajar. Giliran si adik diajak teman main kelereng, mata si adik melek lagi.

Masa itu terasa cepat berlalu, yang ada hanyalah dual hal saja: berantam dan keceriaan, tanpa berpikir seperti apa masa depan yang akan terjadi.

Aku dan adik laki-laki dulunya si sulung dan si bungsu, sudah ada si bungsu baru menemani Mak ke mana-mana. Hingga umur si bungsu mendekati lima tahun, Ayah masih melakukan pekerjaan yang sama untuk kehidupan kami. Tak ada perubahan berarti dalam keuangan, sementara keluarga kami sudah menjadi lima orang.

Kerut di kening Ayah kian bertambah. Sebagai anak tertua, tersirat keinginan agar bisa membalas jerih payah dan keringat orang tua yang telah membesarkan aku. Terpilih berlayar ke luar negeri, mungkin salah satu jalan untuk bisa berbuat sesuatu.

Tapi di hati tidak begitu yakin bisa terpilih ke luar negeri. Keraguan mengusik asa dan niat hati yang telah lama hendak aku wujudkan. Keinginan merubah nasib keluarga ke arah yang lebih baik, terkadang patah arang tatkala mengingat persaingan yang tidak mudah untuk ditaklukkan.

'Belum perang, sudah kalah. Mau berlayar apa jualan beras?’ tanya Ayah.

‘Berlayar, Yah’

‘Yo, sudah. Temui Mak waang!’

Ayah menepuk punggungku setiap memintaku menemui Mak. Aku kerap dibuat pusing dengan sikap Ayah yang tidak pernah menatap wajahku ketika diajak berbicara. Memberi nasehat hanya menggunakan bahasa sindiran dan istilah-istilah yang sulit untuk aku pahami. 

Harap Ayah menemani malam-malam kami saat di rumah, Ayah tidak pernah ada untuk kami. Selesai sholat magrib dan makan malam bersama, Ayah pergi nongkrong ke warung kopi, membahas dunia politik yang bukan ahli dan bidangnya. Tak jarang diwarnai perdebatan panjang dengan teman sesama duduk.

Hanya Mak yang sering mendengar keluh kesahku di saat kalut. Meski memiliki kesamaan dengan Ayah dalam bertutur kata, tapi cara Mak menyampaikan sesuatu lebih mudah untuk aku pahami.

‘Awak mau berlayar ke Jepang, Mak. Tapi mesti ikut tes dulu. Kalau ndak lulus, awak coba daftar jadi angkatan laut. Kalau ndak lulus juga, awak kuliah sajo di Jakarta, Mak. Itu pun kalau Mak ado piti.’

‘Indak kayu janjang dikapiang, Nak (tak ada kayu tangga pun dipotong, Nak). Keluarga kito yang lain tak mungkin tinggal diam.'

Jawaban Mak benar-benar mendatangkan ruh keyakinan terhadap diriku. Keyakinan akan doa orang tua yang selalu ada untuk anaknya kala menghadapi onak duri dunia. Keyakinan bahwa masa depan tidak bisa ditentukan dengan satu rencana. Jika rencana awal menemukan kebuntuan, tak ada salahnya mencoba  rencana-rencana yang lainnya.

Ada rasa lega setelah menceritakan gundahku kepada Mak. Mak akan tetap berjuang demi masa depanku apapun yang akan terjadi nanti.

Aku yang semula bercita-cita kepingin menjadi “angkatan laut”, mencoba menjadi seorang “pelaut” yang bisa berlayar ke luar negeri, mengumpulkan pundi-pundi uang untuk keluarga.

Mak menyutujui semua rencanaku, menyerahkan sepenuhnya keputusan apa yang mesti aku lakukan. Karena Mak beranggapan, usiaku sudah cukup dewasa untuk bisa menentukan pilihan

Kupersiapkan diri untuk bisa mengikuti tes berlayar ke Negara Jepang. Meski atas nama training, sebenarnya program training di kapal Jepang adalah sebuah kerja sama antara broker dalam negeri dengan perusahaan pelayaran Jepang yang akan mempekerjakan kami berlayar di Negara itu. Selama alumni-alumni terpilih masih mampu bekerja dengan baik, dan bisa menjaga nama baik sekolah seutuhnya, maka sekolah akan tetap didatangi pihak Jepang setiap tahunnya, untuk menyeleksi kami.

Syarat utama untuk bisa mengikuti tes itu adalah siswa kelas 3 yang tidak punya catatan buruk di mata sekolah, memiliki tinggi badan minimal 160 centi meter, dan berat badan dalam kondisi normal.

Aku dan teman-teman sangat antusias menyambut program itu, bersemangat siang malam latihan olah raga angkat barbell dan skot jump di halaman asrama. Kami yang tadinya malas-malasan menunaikan sholat wajib lima waktu, juga berubah seperti santri-santri di pasantren. Memohon kepada Tuhan agar diluluskan saat mengikuti tes nanti.

Aku yang merasa tinggi dan berat badan mencukupi, juga ikut-ikutan latihan angkat barbell dan skot jump di halaman asrama. Tapi setiap kali barbell aku angkat, teman-teman seringkali menertawakan kondisi tubuhku yang lebih kecil dari mereka.

‘Doro mau ke Jepang jugakah? Aloloko.'

Yang bikin kesal bukan kata “Aloloko” nya, tetapi bahasa tubuh dan ekspresi muka mereka dengan sengaja melentur-lenturkan jari tangan sambil berjalan, ditambah mata menyala, dan dengan pantat digoyang-goyangkan seperti bencong pulang pagi.

Kata aloloko sudah seperti ucapan wajib yang harus mereka lontarkan ketika memperolok-olokan seorang teman.

Aku tidak bisa kesal bila menerima ledekan seperti itu. Karena adakalanya aku sendiri juga menggunakan kata yang sama saat memperolok-olokan teman yang lainnya. Aku mengerti, bahwa di asrama memang tempatnya raja segala raja (raja ngantuk, raja  malas, raja cemooh, raja tolol, raja pede), dan masih banyak lagi raja-raja yang lainnya.

Untuk tetap bisa fokus saat latihan dan terhindar dari ledekan teman-teman, sering aku bangun pagi sebelum lonceng subuh diketuk bintara jaga, sebelum teman-temanku si raja cemooh itu terbangun dari tidurnya.

Tak satu pun teman-temanku tahu akan hal itu. Karena hanya dengan cara seperti itu aku lebih berkosentrasi melakukan sesuatu. Aku juga ingin seperti senior-seniorku dulu: berlayar ke luar negeri, mencari uang jadi pelaut, dan bisa membantu keluarga banyak sedikitnya.

Satu hari menjelang tes dimulai, kami semua bersuka-cita di lorong asrama. Ada yang terus-terusan berlatih angkat barbell, ada juga yang latihan wawancara sambil berdiri di depan kaca. Sholat wajib dan tahajud sekalipun, tak ada lagi yang mengingatkan kami. Semua datang dari kesadaran masing-masing (sadar ketika ada perlunya ingat Tuhan).

Tiba lah saatnya hari yang menebarkan itu dimulai. Juri, Mr.Imron dan Mr.Hosada telah menunggu kami di lokasi tes yang telah ditentukan. Kami berlarian ke lokasi tes lantaran takut telat. Walau telat limat menit saja, jangan harap mereka mau memberi maaf. Itulah yang terjadi dengan Kincai si anak fauky dan gaul, dia diusir dari kejauhan hanya dengan isyarat halauan tangan.

Mr. Hosada memberitau kami, yang diterjemahkan oleh Mr.Imrom, bahwa yang akan diterima berlayar ke Jepang hanya delapan belas orang saja.

Jantungku terasa berdebar kencang. Karena itu jumlah yang sedikit, sementara peserta tes jumlahnya ratusan orang.

Mr.Hosada memanggil nama kami satu persatu. Seleksi pengukuran tinggi dan berat badan akan dimulai. Sampai giliranku yang tinggi badan hanya sekedar kata cukup, kuinjitkan kakiku sedikit ke atas, agar terlihat sedikit tinggi di samping pengawasan Mr.Imrom.

'Alhamdulillah, aman,' aku menarik nafas panjang petanda Mr. Imrom tidak melihat tingkahku yang sedikit licik itu.

Tiba giliran nama Atul dipanggil Mr.Hosada. Dia juga mau menggunakan caraku menginjitkan kaki sedikit ke atas, lantaran tinggi badannya hanya "semeter kumuh" kata teman-teman di asrama.

Dia berharap semeter kumuh bisa berubah jadi 160 meter lebih. Tapi baru saja menginjitkan kaki sebentar saja, Mr. Imrom melihatnya dan kembali menekan kepala Atul ke bawah.

Gedebuk!

Tinggi badan Atul tetap semeter kumuh dan dia gagal melanjutkan tes berikutnya, yaitu angkat barbell.

Tertinggal beberapa nama.

Poto: Dony Betril




Kulalui proses seleksi itu satu persatu.  Kuangkat barbell sekuat tenaga, aku laksanakan skot jump semampunya. Walau tidak bisa berharap lebih, tahap demi tahap, tes itu aku jalani dengan sungguh-sungguh, hingga namaku diumumkan masuk tes terakhir, yaitu wawancara.

Keyakinanku untuk bisa terpilih datang seketika. Karena tes wawancara adalah tes termudah yang pernah aku pikirkan, lantaran terbiasa bersilat lidah, serta terbiasa berkata-kata.

Setelah menunggu cukup lama. Mr.Hosada mengumumkan nama-nama yang terpilih untuk melanjutkan training ke Jakarta.

Bagi nama-nama yang dia sebutkan, dipersilakan berbaris terpisah dari teman-teman yang lainnya.

‘Andi Firdaus, Dendi Irfan, Doni Basir, Fauzi Abas, Jony Eston, Joko Maratanjung, Muklis, Satria Yuda, Syahmadi Asra, Ricce Andrdiance, Wan Adinarta...,’ 

Detak jantungku seakan berhenti ... Mendengar nama-nama terpilih yang sedang diumumkan Mr.Hosada, dan berdasarkan urutan di kertas absensi, setelah Doni Basir harusnya namaku sendiri.

Bathinku menangis dalam. Kutundukan kepala mengingat harapan kedua orang tua. Aku benar-benar pasrah dengan apa yang akan terjadi. Hingga urutan ke 12, namaku belum juga disebutkan oleh Mr.Hosada. 

Sepertinya jalanku hidupku bukanlah menjadi seorang pelaut.

Dalam lamunan itu, Mr. Hosada telah sampai membacakan urutan ke 15. Dan dibacakanlah siswa yang terpilih untuk urutan ke 16.

‘Dooro.’

‘Allahu Akbar.’

Seketika aku bersujud syukur ke hadirat Tuhan. Begitu besar kuasa Tuhan atas apa yang terjadi pada diriku. Tuhan memutar balikkan segala sesuatu yang dikehendaki-Nya. Tuhan senantiasa menjadikan sesuatu yang tak mungkin menjadi nyata. Aku yang dianggap teman-teman, bahkan guru-guru tidak masuk kategori siswa ke Jepang, nyatanya terpilih dalam tes itu.

Aku pulang ke rumah memberi tahu kabar bahagia itu kepada orang tuaku. Di sanalah aku mengerti, kenapa Ayah selalu memintaku untuk menemui Mak?

Doa ibu tidak bisa ditandingi oleh doa siapa pun juga. Ridho Tuhan berada pada Ridho seorang Ibu. Murka Tuhan juga ada pada murkanya seorang Ibu. Ibu adalah penghubung seorang hamba dengan alam ruh”.

Mendengar kabar kelulusanku, Ayah senang bukan kepalang. Ayah bercerita ke semua warga yang nongkrong di warung kopi. Perbincangan yang tadinya seputar dunia politik, berganti tema dengan kelulusanku.

‘Si Buyung Doro, ndak disangka-sangka, terpilih pula berlayar ke Japang.

Rokok dihisap, kopi ditelan, dan satu kaki naik ke atas kursi.😂


Doni Romiza

Bersambung
+Potongan

Popular posts from this blog

Rotan Itu Hanya Melengkung, Bukan Patah! |Adosinfo

By: DR Taktik dan siasat tidak hanya berlaku dalam politik. Tapi juga dalam hal lainnya, termasuk dalam dunia usaha, yang menggunakan bermacam cara untuk mencari keuntungan lebih. Itu hal positif selama dilakukan dengan cara yang positif pula. Tapi apa jadinya jika siasat itu dilakukan dengan cara yang tidak transfaran, penuh kecurangan. Mungkin gelagat pecundang bisa tak terlihat saat kebohongan ia lakukan. Nyalinya tak gemetaran ketika ada sesuatu hal yang diperdebatkan. Tapi bagi seorang pemenang, harus mampu membaca arah siasat buruk itu, untuk menyiapkan siasat lainnya, agar tidak merasa dirugikan. Tak perlu berargumen panjang lebar untuk menguji sebuah kebenaran. Tak perlu menggunakan kedua tangan untuk meruntuhkan kokohnya sebuah komitmen, selama hal itu masih berlaku untuk hal-hal yang positif. Satu hal yang perlu difahami: Rotan itu hanya melengkung, bukan patah!! Hanya kelapukkan yang bisa mematahkan rotan. Tunggulah rotan itu lapuk pada waktunya.

Hiduplah Seperti Kereta Berjalan | Adosinfo

Hidup akan terus berjalan, tapi banyak hal yang perlu kita ketahui bagaimana mestinya menjalani hidup semestinya? Karena yang namanya hidup tidak lepas dari ujian ataupun cobaan. Walau adakalanya hidup menerima puja dan pujian, hidup tidak lepas dari caci dan hinaan. Bergantung atas apa yang telah kita perbuat di muka bumi ini, dan bergantung bagaimana sudut pandang orang-orang yang menilai kita.  Ya… begitulah hidup, tidak semua keinginan mampu kita wujudkan, lantaran hidup ini akan ada liku dan jalan terjal. Hidup butuh inspirasi dan motivasi untuk meraih sesuatu. Tapi hidup ini terlalu terbalut angan bila hanya terinspirasi oleh kisah kesuksesan seseorang, atau termotivasi oleh omongan seseorang yang memang ahlinya sebagai motivator ulung, yang mampu merangkai kata demi kata. Kita mesti bijak menyikapi sebuah inspirasi dan motivasi. Karena cerita orang sukses akan tetap jadi cerita yang menggiurkan, bila memang mereka mampu meraih kesuksesan dalam hidup mereka. Tapi bila mere

6 Alasan Yang Membuat Anak SUPM Layak Jadi Pemimpin

Secara konstitusional maupun nonkonstitusional,  politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan. Tak sedikit di antara mereka yang haus akan kekuasaan, berlomba-lomba untuk bisa jadi pemimpin. Tak peduli asalnya dari mana, tak penting latar belakangnya apa. Karena syarat jadi calon penguasa tidak pernah mempertanyakan asalnya dari mana? Kuliah lulusan apa? Atau wawasannya apa saja? Yang penting bisa jadi penguasa, apapun caranya itu. 'Ehem.' Bermacam sudut pandang mengatakan, bahwa untuk jadi seorang pemimpin tentunya diperlukan wawasan yang luas, ulet, kompeten, bertanggung jawab, plus dukungan penuh oleh orang-orang yang akan dipimpin.  Itu bukanlah perkara yang mudah. Banyak terjadi di dunia perpolitikan, pemimpin-pemimpin yang hadir, jauh dari apa yang kita harapkan, seringkali kacang lupa dengan kulitnya. Berbeda jauh dengan anak-anak SUPM, yang tetap ingat dan mengayomi bawahannya, meski jarak umur berpuluh tahun sekalipun. Ya sudahlah! Dunia po