Skip to main content

Misteri Kegagalan Pelaut



Bekerja sebagai seorang pelaut adalah sebuah tantangan yang cukup besar. Selain tantangan yang identik dengan gemuruh ombak, juga terdapat tantangan secara psikologis, dimana seorang pelaut harus terpisah dari keluarga, teman dekat, kekasih hati, kekasih gelap, bahkan ada juga yang tidak pernah melihat daratan hingga berbulan-bulan lamanya. Memang tidak bisa dipungkiri, bekerja sebagai seorang pelaut akan menjanjikan banyak hal tentang materi, rumah idaman, mobil mewah, atau mungkin saja istri cantik nan jelita.

Potensi kekayaan bumi di lautan yang masih jauh dari jangkauan manusia, akan sulit punah bila dibandingkan dengan  kekayaan alam yang ada di daratan, sehingga aktifitas dunia kelautan akan tetap berjalan sampai waktu yang tidak bisa ditetentukan. Semua itu tidak lepas dari rasio luas lautan 71% berbanding 29% dengan luas daratan yang ada di muka bumi ini.

Bicara kehidupan seorang pelaut, mungkin sudah menjadi sarapan pagi, makan siang, makan malam, dan bahkan merayap malam sekalipun ketika kita masih belajar di sekolah pelayaran dulu. 85% siswa pelayaran begitu mendambakan untuk bisa berlayar ke luar negeri demi mencapai impian dan cita-cita bersama yang tak pernah berubah, yaitu, “istri cantik mertua kaya”

‘Upp, masih berlaku gak, ya?’

Namun tanpa disadari, di balik besarnya materi yang dijanjikan kehidupan laut, terdapat misteri kehidupan alumni pelayaran yang kebingungan berbuat sesuatu setelah mereka meninggalkan dunia lautan. Mereka punya uang, tetapi tidak punya ilmu untuk mengelolanya. Mereka punya keahlian di lautan, tetapi tidak punya upaya mengaplikasikan ke daratan. Bahkan, ada beberapa alumni pelayaran yang mencoba membuka usaha, tetapi gagal dan gagal lagi. Apakah uang laut itu uang haram?

‘No no no, Insya Allah halal, kok.’

Nah! Sekarang saatnya kita coba menganalisa, menelaah, mencari tahu, atau membuka tabir, ada apa di balik kegagalan itu?

Entah benar atau salah, tetapi semakin banyak alumni yang menua, maka akan semakin mempermudah kita untuk mencari jawaban, ada apa di balik misteri itu?

Kita bicara berdasarkan data atau statisitik, karena statistik adalah bagian dari ilmu matematika, dan matematika adalah ilmu pasti. Jika salah, salahkanlah statistik itu.

Data mencatat, bahwa tak kurang dari 80% alumni pelayaran tidak lagi memilih bekerja sebagi seorang pelaut. Mereka memilih menjalankan aktifitas sebagai PNS, Pedagang, Konsultan, karyawan, pengusaha, dan lain sebagainya. Dari pengakuan alumni-alumni tersebut, uang hasil laut tak bersisa sama sekali, kebingungan hilang entah kemana, hingga mereka kembali memulai langkah awal, dengan memilih bekerja di daratan yang sesuai dengan kemampuan mereka.

Kaya adalah takdir, sedangkan sukses adalah pilihan. Sukses tidak bisa diukur dengan kekayaan, melainkan lebih kepada bagaimana caranya berbagi terhadap sesama, sahabat maupun keluarga.

 Benar atau salah, analisa adosinfo mengatakan penyebab kegagalan itu terdiri dari: 

Mengaplikasikan ajaran senior yang salah
(juara di kelas tidak ada jaminan bisa berlayar ke luar negeri)”

Coba kita ingat-ingat lagi memori lama semasa kita belajar di asrama dulu. Suka memilah dan memilih mata pelajaran mana yang mau diikuti. “Ilmu perikanan penting, mesin perikanan penting, matematika tidak penting, Bahasa Inggris tidak penting.” Padahal semua pelajaran itu penting.
 .
Matematika akan mengantarkan kita untuk tahu ilmu statistik, sedangkan Bahasa Inggris membawa kita untuk bisa berinteraksi dengan orang-orang asing, atau para investor asing yang mau menanamkan modalnya di Indonesia. Alangkah beruntungnya kita, bila diberi kesempatan untuk bisa bekerjasama dengan orang-orang asing tersebut. Namun kenyataannya kita lebih memilih mengikuti pelajaran yang dianggap wajib (yang ada kaitannya dengan dunia pelayaran), bahkan lebih mengutamakan keperkasaan otot daripada mengikuti pelajaran yang dianggap tidak penting tadi.

Memang… salah satu kebanggaan sekolah pelayaran adalah mampu mengirim para alumninya berlayar ke luar negeri: Jepang, Spanyol, Korea, atau negara-negara lain, yang notabene pelayaran yang bekerja sama dengan sekolah-sekolah pelayaran di Indonesdia. Tetapi, pernahkah kita menganalisa, karakter siswa bagaimana yang mampu menembus pelayaran luar negeri? Siswa yang otaknya hebat? Atau siswa yang ototnya luar biasa kuat?

Mestinya kita sepakat, “kecerdasan dan kemampuan berpikir seseorang akan mampu merubah hal yang tidak mungkin menjadi mungkin.” Perubahan dari masa ke masa telah membuktikan, “satu otak manusia mampu mengendalikan jutaan otot yang ada di dunia ini.” Hal itu tidak lepas dari kemajuan zaman dengan kecanggihan teknologi yang semakin pesat.

Perjanjian aneh dengan pihak luar negeri

Perjanjian aneh yang dimaksud adalah penjanjian lain dari pada yang lain. Mari kita telaah lagi, perjanjian apa yang telah kita sepakati? Hingga kita tanda tangani sebelum berangkat training ke Jepang dulu.

Dalam perjanjian kontrak kerja, kita telah menyutujui, “Semasa bekerja sama dengan pihak Jepang, tidak diperkenankan sholat dan berpuasa pada Bulan Ramadhan”. Bukankah agama mengajarkan, “kepentingan ibadah harus berada di atas kepentingan apa pun juga”.

So! Apakah demi impian ke luar negeri, kita harus korbankan kaidah agama? Apakah demi pekerjaan kita harus abaikan perintah Tuhan? Apakah demi uang, kita sepakati semua itu?
Sadar atau tidak, kita telah menyakiti Tuhan dengan kesepakatan-kesepakatan yang kita ambil. Sebelum wisuda dan mengikuti tes training di kapal Jepang, kita semua berubah menjadi santri-santri yang taat beribadah,  dan tak sedikit juga yang melakukan nazar.

‘Ehh, gak taunya minta dilulusin, doang. Setelah lulus, ‘gak ada rotan akar pun jadi. Yang penting piti dan piti.’

Tidak punya management keuangan yang baik

Minimnya waktu untuk bisa dekat dengan informasi dan teknologi adalah salah satu resiko kita sebagai seorang pelaut. Banyak alumni-alumni tidak tahu, harus berbuat apa setelah mendapatkan uang? Kebanyakan di antara mereka setelah memasuki daratan, hanyalah menghabiskan uang alias hura-hura pergi mencari hiburan dunia malam.

Bagi yang setengah insyaf, mereka gunakan uangnya membeli mobil atau rumah, ujung-ujungnya ke laut juga. Bagi yang benar-benar insyaf dan serius mendirikan usaha, ujung-ujungnya gulung tikar juga. Hal itu tidak lepas dari miskinnya pengetahuan tentang managemen, serta pengaruh orang-orang terdekat yang salah memberi arahan tentang management keuangan tadi.

Entah apa yang salah? Statistik mengatakan demikian adanya. Jawaban yang paling tepat, tentu hanya Tuhanlah yang lebih tahu. Yang jelas, Jika selamanya kita menghabiskan waktu di lautan, dengan limpahan harta sebesar apa pun, itu bukanlah kebahagiaan yang hakiki. Karena kita punya anak, istri, serta kerabat, yang butuh kebersamaan kita untuk menuju impian lainnya.

Sekian tulisan dari saya, yang tidak bermaksud menjatuhkan nama baik sekolah pelayaran. Tetapi sekedar berbagi dan menghimbau kepada adik-adik yang masih belajar, “bahwa kebanggaan sebuah almamater dilihat dari kesuksesan hidup para alumninya”. Jadi, ikuti yang baik-baik, dan  tinggalkan yang tidak baik, untuk bisa memperbaiki kesalahan kami dulu, sehingga kebangga dengan almamater yang pernah kita kenakan, tidak hilang begitu saja.

Menggali Ilmu lebih penting dari pada memperbesar otot, karena dengan ilmu kita bisa mengolah potensi yang kita punya, saat kita terjatuh. Bagi yang tidak diterima berlayar ke luar negeri, lanjutkanlah pendidikan ke jenjang perkuliahan. Karena kekayaan alam kita jauh lebih besar daripada yang ada di luar sana. 
 .
Banyak cara untuk menuju kejayaan, tetapi tidak akan ada satu cara pun untuk mempertahankan kejayaan itu ketika Tuhan berkehendak. Kepentingan agama di atas kepentingan apa pun. Jangan sampai menjual harkat agama yang agung hanya demi sebuah pekerjaan. Dan dengan semakin canggihnya ilmu teknologi, tentu akan memperkaya wawasan kita bagaimana mengelola keuangan dengan baik?

Doni Romiza







Comments

Popular posts from this blog

Rotan Itu Hanya Melengkung, Bukan Patah! |Adosinfo

By: DR Taktik dan siasat tidak hanya berlaku dalam politik. Tapi juga dalam hal lainnya, termasuk dalam dunia usaha, yang menggunakan bermacam cara untuk mencari keuntungan lebih. Itu hal positif selama dilakukan dengan cara yang positif pula. Tapi apa jadinya jika siasat itu dilakukan dengan cara yang tidak transfaran, penuh kecurangan. Mungkin gelagat pecundang bisa tak terlihat saat kebohongan ia lakukan. Nyalinya tak gemetaran ketika ada sesuatu hal yang diperdebatkan. Tapi bagi seorang pemenang, harus mampu membaca arah siasat buruk itu, untuk menyiapkan siasat lainnya, agar tidak merasa dirugikan. Tak perlu berargumen panjang lebar untuk menguji sebuah kebenaran. Tak perlu menggunakan kedua tangan untuk meruntuhkan kokohnya sebuah komitmen, selama hal itu masih berlaku untuk hal-hal yang positif. Satu hal yang perlu difahami: Rotan itu hanya melengkung, bukan patah!! Hanya kelapukkan yang bisa mematahkan rotan. Tunggulah rotan itu lapuk pada waktunya.

Hiduplah Seperti Kereta Berjalan | Adosinfo

Hidup akan terus berjalan, tapi banyak hal yang perlu kita ketahui bagaimana mestinya menjalani hidup semestinya? Karena yang namanya hidup tidak lepas dari ujian ataupun cobaan. Walau adakalanya hidup menerima puja dan pujian, hidup tidak lepas dari caci dan hinaan. Bergantung atas apa yang telah kita perbuat di muka bumi ini, dan bergantung bagaimana sudut pandang orang-orang yang menilai kita.  Ya… begitulah hidup, tidak semua keinginan mampu kita wujudkan, lantaran hidup ini akan ada liku dan jalan terjal. Hidup butuh inspirasi dan motivasi untuk meraih sesuatu. Tapi hidup ini terlalu terbalut angan bila hanya terinspirasi oleh kisah kesuksesan seseorang, atau termotivasi oleh omongan seseorang yang memang ahlinya sebagai motivator ulung, yang mampu merangkai kata demi kata. Kita mesti bijak menyikapi sebuah inspirasi dan motivasi. Karena cerita orang sukses akan tetap jadi cerita yang menggiurkan, bila memang mereka mampu meraih kesuksesan dalam hidup mereka. Tapi bila mere

6 Alasan Yang Membuat Anak SUPM Layak Jadi Pemimpin

Secara konstitusional maupun nonkonstitusional,  politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan. Tak sedikit di antara mereka yang haus akan kekuasaan, berlomba-lomba untuk bisa jadi pemimpin. Tak peduli asalnya dari mana, tak penting latar belakangnya apa. Karena syarat jadi calon penguasa tidak pernah mempertanyakan asalnya dari mana? Kuliah lulusan apa? Atau wawasannya apa saja? Yang penting bisa jadi penguasa, apapun caranya itu. 'Ehem.' Bermacam sudut pandang mengatakan, bahwa untuk jadi seorang pemimpin tentunya diperlukan wawasan yang luas, ulet, kompeten, bertanggung jawab, plus dukungan penuh oleh orang-orang yang akan dipimpin.  Itu bukanlah perkara yang mudah. Banyak terjadi di dunia perpolitikan, pemimpin-pemimpin yang hadir, jauh dari apa yang kita harapkan, seringkali kacang lupa dengan kulitnya. Berbeda jauh dengan anak-anak SUPM, yang tetap ingat dan mengayomi bawahannya, meski jarak umur berpuluh tahun sekalipun. Ya sudahlah! Dunia po