Menyatukan dua jiwa yang bertikai, memang sudah cukup untuk menjalin hubungan apa yang disebut dengan PACARAN. Tapi tidak dengan PERNIKAHAN. Karena masih banyak hati lain yang mesti terlibat untuk bisa sampai ke jenjang itu.
Walau warna-warni cinta merekah indah ke langit jingga, walau keyakinan berjodoh dengan orang yang kita pilih terjalin lama, namun hati lain belum tentu bisa memberi restu, dengan alasan bermacam ragam. Ada yang gagal menikah lantaran perbedaan budaya, ada juga kegagalan disebabkan perbedaan status sosial, atau orang tua sudah punya pilihan sendiri untuk anak-anaknya, yang kita kenal dengan istilah perjodohan.
Inilah yang dialami Bang Indra bersama Kak Laura, senior dua tingkat di atasku semasa belajar di asrama pelayaran. Romantika mereka berakhir dengan perpisahan. Hubungan mereka kandas di tengah jalan, lantaran orang tua Kak Laura tidak setuju anaknya dinikahi Bang Indra, dengan alasan Bang Indra adalah “seorang pelaut”.
Bang Indra adalah sosok senior yang sangat disegani di sekolahku. Tidak hanya disegani oleh juniornya, tetapi juga disegani oleh teman-teman sekelasnya.
Seiring berjalannya waktu, Bang Indra jatuh hati kepada teman sekelasnya, Kak Laura. Bukan cinta karena pandangan pertama, bukan pula cinta sekedar cinta biasa, melainkan cinta yang lahir dari hati, cinta yang menggelisahkan jika Kak laura jauh dari pandangannya. Tapi apa daya hendak dikata, jika cinta tak kesampaian, bukan gelisah lagi yang terasa, nafsu makan pun bisa jadi tak karuan
Lantaran ingin menyampaikan maksud hati, Bang Indra memintaku datang ke kamarnya. Bang Indra terlihat melipat selembar kertas penuh hati-hati. Dia memintaku untuk mengantarkan surat itu untuk Kak Laura. Dengan segera, kubawa sepucuk surat beramplopkan biru tua, bertuliskan for Laura di pojok kiri amplop ke asrama siswi. Kucari keberadaan Kak Laura, yang orang-orang mengenalnya sebagai Kakak senior tercantik di asrama. Sementara aku tidak begitu kenal siapa Kak Laura itu.
Sampai di asrama siswi , kutanya Kak Laura ada di mana dari teman yang satu ke teman yang lainnya. Dari satu senior ke senior lainnya. Seorang teman memberi tahu, ‘Kak Laura sedang mandi,’ dan aku dipersilakan menunggu selama sepuluh menit.
Aku berdiri di teras asrama siswi sembari melihat jemuran yang tak kalah berantakan dengan jemuran siswa. Lalu seorang perempuan bersandal jepit, berkulit putih, rambut sebahu, mengenakan rok mini selutut menghampiriku.
‘Ada apa, Dek?’
‘Kak Laura, ya?’ tanyaku.
‘Iya.’
‘Ini ada surat dari Bang Indra, Kak.’
Tangan Kak Laura setengah gemetar menerima surat itu. Aku berpamitan kembali ke kamarku, tapi Kak Laura memintaku untuk tetap berdiri di tempat, sampai dia selesai membaca isi surat itu. Sejenak kucuri pandang melihat wajah Kak Laura, dia tersenyum menggeliat membaca untaian kata demi kata dari Bang Indra. Kuperhatikan dari ujung kaki sampai leher Kak Laura yang tampak bening. Dia begitu cantik, menggairahkan, ‘Ternyata selera Bang Indra boleh juga,’ pikirku.
‘Sebentar, Dek!. Tunggu dua menit, ya!’ Pinta Kak Laura.
Kak Laura berlarian menuju kamarnya. Setelah beberapa menit, dia kembali membawa robekan kertas yang tak beramplop sama sekali. Dia memintaku menyerahkan kertas itu untuk Bang Indra secepatnya. Bergegas aku berjalan menuju kamar Bang Indra. Entah kenapa rasa penasaranku datang tiba-tiba, ingin tau apa isi surat itu?
“Saat matamu menatap ingin, tanyakan dulu pada perasaan yang tak bisa berbohong, hingga bibirmu berkata benar, bahwa isi suratmu sesuai dengan kata hatimu. Katakan semua itu ketelingaku, Teleng!”
(Teleng: panggilan akrab Bang Indra)
‘Oh,’ rupanya Kak Laura menantang Bang Indra untuk menyatakan isi hatinya secara langsung.
Kutemui Bang Indra di ruang kamarnya. Dia berdiri gelisah sambil melihat muara sungai dari jendela kamar. Aku masuk ke kamar itu sambil berdehem, Bang Indra membalikkan badannya.
‘Bagaima-bagaimana?’ Tanya Bang Indra seperti orang tak kuat menahan sabar.
‘Ni, baca!’ kataku.
Belum tuntas membaca seluruh isi surat dari Kak Laura, mulut jahilku terlebih dulu mengompor-ngompori, ‘Ngasih ceramah ke junior lancar abisss, tapi, bilang Ai laff yu sama cewek, susahnya setengah mati. Aloloko?’
Bang Indra menepuk sayang kepalaku. Janji bertemu kembali harus aku sampaikan pada Kak Laura.
Di jembatan perbatasan antara kawasan asrama dan rumah penduduk, aku dan Bang Indra menunggu Kak Laura sesuai waktu yang telah disepakati. Raut wajah Bang Indra tampak makin gelisah. Dia melempar-lempar batu kerikil ke arah sungai yang ada di depan kami. Dalam perasaan harap-harap cemas, Bang Indra bertanya kepadaku.
‘Kalau ditolak, bagaimana, ya?’
‘Cari yang lainlah!’ jawabku.
‘Kalau diterima?’
‘Cium!’
.
Bang Indra lagi-lagi menepuk kepalaku, ‘Ntar, ditangkap warga, lho,’ ujar Bang Indra.
Tak beberapa lama, Kak Laura datang mengenakan celana training, baju kaos putih. Aku menghidar dari mereka dengan jarak yang tidak terlalu berjauhan. Dari jarak itu, aku menyaksikan ending penembakan drama cinta ala asrama dari Bang Indra.
Kak Laura berdiri menyampingi Bang Indra. Gugup makin terlihat di wajah Bang Indra, persis seperti orang mau kencing dari celananya. Karena tidak tahu harus memulai kata-kata dari mana.
‘Anu, anu, anu.’ Kata Bang Indra karena saking groginya.
‘Onde Mandeeeeeee,’ kesalku dari kejauhan.
Bang Indra bingung teramat sangat. Sementara Kak Laura terus menunggu sambil menyimpuhkan kedua tangannya ke bawah dagu, dan lututnya bergerak maju mundur, dengan ekspresi wajah bermanja-manja.
‘Apa? Apa?’ tanya Kak Laura, dan berusaha memancing Bang Indra untuk bisa mengungkapkan isi hatinya.
‘Anu, anu, anu, aku sayang kamu.’
‘Itu aja?’ tanya Kak Laura.
‘gak, cinta, sayang, cinta. Ya gitu gitu, deh,’ jawab Bang Indra tak karuan.
‘Cuma itu?’ Kak Laura mengalihkan pandangannya.
‘Apalagi, ya?’ Bang Indra berpikir dalam harap-harap cemas..
‘Cuma itu?’ Hening lima detik, ‘Peluk, dong!’ bujuk Kak Laura.
Bang Indra langsung memeluk Kak Laura, membiarkan Kak Laura bergelayut di dada bidangnya, mereka pun resmi berpacaran.
‘Giliran peluk-pelukan, cepat ya?’ teriakku dari belakang mereka.
Bang Indra melemparku dengan sandal jepitnya, dan aku lari menuju asrama. Sejak saat itu, aku selalu ada untuk hubungan mereka. Mengantar hadiah dari Bang Indra untuk Kak Laura, mengantar baju Bang Indra yang akan distrika, dan menyampaikan pesan janji bertemu. Setiap menyampaikan pesan Bang Indra untuk Kak Laura, aku selalu memperhatikan wajah Kak Laura tanpa kedipan. Bibir Kak Laura bak asam seulas, menggelitik otakku berlama-lama memandangi wajahnya. Tapi apalah daya, aku masih junior kelas 1. “Tembok asmara” bukanlah milik siswa yang masih ingusan. Bagaimana mungkin bisa menikung Bang Indra dari belakang, mandi dan ganti baju saja susahnya setengah mati.
Seringkali Bang Indra mengajak Kak Laura berkunjung ke rumahnya di Bukittinggi. Hubungan mereka kian serius. Keluarga Bang Indra pun menerima Kak Laura dengan tangan terbuka, apalagi Ibu, yang menyayangi Kak Laura dengan kesungguhan hati seorang Ibu, tak membedakan mana anak kandung dan mana yang tidak?
Ibu berharap hubungan mereka bertahan lama. Bak pinang dibelah dua, yang satu tampan, dan yang satu lagi cantik. Pasangan yang elok dan serasi, begitulah mata Ibu memandang, saat mereka jalan berduaan.
Kak Laura juga begitu… sadar keberadaannya akan jadi menantu di rumah Bang Indra, terus dia berusaha mengambil hati Ibu, dengan membantu Ibu memasak di dapur, mendengar cerita Ibu tentang Bapak yang sudah lama meninggal dunia. Kasih sayang Ibu sangat tercurah untuk Kak Laura. Hingga malam semakin larut, tak sadar Kak Laura tertidur di kaki Ibu. Setiap kembali ke asrama, Ibu tidak lupa menyelipkan uang jajan untuk Kak Laura, mengelus-elus kepala Kak Laura seperti anak sendiri.
Kak Laura merasa beruntung bisa dekat dengan Ibu. Dia terus membuktikan kesungguhan hatinya untuk Bang Indra. Sampai akhirnya Bang Indra pergi berlayar ke Negara Jepang. Mereka harus berpisah sementara waktu, dan dengan terpaksa jalankan hubungan jarak jauh. Sulit… tetapi semua adalah demi cinta.
Bang Indra sangat berharap agar Kak Laura sabar menanti. Janji mereka ucapkanyang, agar benih cinta yang mereka tanamkan, tidak layu di tengah jalan. Agar harapan dan mimpi yang mereka bangun, tidak berakhir sia-sia.
Sepuluh tahun kemudian
Iseng buka akun Facebook usai kerja di kantor, dengan hati berbinar aku lihat postingan salah satu teman di Facebook group alumni pelayaran. Sebuah postingan memberi tahu, bahwa Bang Indra akan menikah lengkap dengan waktu dan tempatnya. Tetapi tidak memberi tahu dengan siapa Bang Indra akan menikah.
Kebiasaan kami para alumni, mendengar salah satu alumni menikah, tak ubahnya seperti Jailangkung yang datang tak diundang, dan pulang tak diantar. Tetapi bagi kami, cara seperti itu adalah sebuah bukti kekompakan di bawah almamater yang pernah kami kenakan.
Di perjalanan menuju pesta Bang Indra, aku mempersiapkan guyonan untuk kedua mempelai setelah sekian tahun tak pernah lagi bertatap muka. Sampai di keramai pesta, dari lahan parkir terlihat Bang Indra menatap mesra mempelai wanita yang duduk di sampingnya. Kedua pengantin itu tampak mesra, yang hanya bisa dirasakan oleh mereka berdua.
Tak sabar… kuhampiri kedua mempelai untuk memberi ucapan selamat atas pernikahan mereka. Serta melontarkan guyonan yang telah aku persiapkan sebelumnya.
‘Lho?’
Langkahku tertegun… tak percaya dengan kenyataan yang terlihat di hadapan mata. Pengantin perempuan yang aku harapkan adalah Sosok Kak Laura menemani Bang Indra untuk mengarungi bahtera hidup, berganti dengan perempuan lain.
Tak beberapa lama, kucicipi hidangn pesta, tersimpan bermacam Tanya di kepalaku, ‘Kak laura ke mana? Kenapa bukan dia? Ada apa di antara mereka?
Bersambung...
Walau warna-warni cinta merekah indah ke langit jingga, walau keyakinan berjodoh dengan orang yang kita pilih terjalin lama, namun hati lain belum tentu bisa memberi restu, dengan alasan bermacam ragam. Ada yang gagal menikah lantaran perbedaan budaya, ada juga kegagalan disebabkan perbedaan status sosial, atau orang tua sudah punya pilihan sendiri untuk anak-anaknya, yang kita kenal dengan istilah perjodohan.
Inilah yang dialami Bang Indra bersama Kak Laura, senior dua tingkat di atasku semasa belajar di asrama pelayaran. Romantika mereka berakhir dengan perpisahan. Hubungan mereka kandas di tengah jalan, lantaran orang tua Kak Laura tidak setuju anaknya dinikahi Bang Indra, dengan alasan Bang Indra adalah “seorang pelaut”.
Bang Indra adalah sosok senior yang sangat disegani di sekolahku. Tidak hanya disegani oleh juniornya, tetapi juga disegani oleh teman-teman sekelasnya.
Seiring berjalannya waktu, Bang Indra jatuh hati kepada teman sekelasnya, Kak Laura. Bukan cinta karena pandangan pertama, bukan pula cinta sekedar cinta biasa, melainkan cinta yang lahir dari hati, cinta yang menggelisahkan jika Kak laura jauh dari pandangannya. Tapi apa daya hendak dikata, jika cinta tak kesampaian, bukan gelisah lagi yang terasa, nafsu makan pun bisa jadi tak karuan
Lantaran ingin menyampaikan maksud hati, Bang Indra memintaku datang ke kamarnya. Bang Indra terlihat melipat selembar kertas penuh hati-hati. Dia memintaku untuk mengantarkan surat itu untuk Kak Laura. Dengan segera, kubawa sepucuk surat beramplopkan biru tua, bertuliskan for Laura di pojok kiri amplop ke asrama siswi. Kucari keberadaan Kak Laura, yang orang-orang mengenalnya sebagai Kakak senior tercantik di asrama. Sementara aku tidak begitu kenal siapa Kak Laura itu.
Sampai di asrama siswi , kutanya Kak Laura ada di mana dari teman yang satu ke teman yang lainnya. Dari satu senior ke senior lainnya. Seorang teman memberi tahu, ‘Kak Laura sedang mandi,’ dan aku dipersilakan menunggu selama sepuluh menit.
Aku berdiri di teras asrama siswi sembari melihat jemuran yang tak kalah berantakan dengan jemuran siswa. Lalu seorang perempuan bersandal jepit, berkulit putih, rambut sebahu, mengenakan rok mini selutut menghampiriku.
‘Ada apa, Dek?’
‘Kak Laura, ya?’ tanyaku.
‘Iya.’
‘Ini ada surat dari Bang Indra, Kak.’
Tangan Kak Laura setengah gemetar menerima surat itu. Aku berpamitan kembali ke kamarku, tapi Kak Laura memintaku untuk tetap berdiri di tempat, sampai dia selesai membaca isi surat itu. Sejenak kucuri pandang melihat wajah Kak Laura, dia tersenyum menggeliat membaca untaian kata demi kata dari Bang Indra. Kuperhatikan dari ujung kaki sampai leher Kak Laura yang tampak bening. Dia begitu cantik, menggairahkan, ‘Ternyata selera Bang Indra boleh juga,’ pikirku.
‘Sebentar, Dek!. Tunggu dua menit, ya!’ Pinta Kak Laura.
Kak Laura berlarian menuju kamarnya. Setelah beberapa menit, dia kembali membawa robekan kertas yang tak beramplop sama sekali. Dia memintaku menyerahkan kertas itu untuk Bang Indra secepatnya. Bergegas aku berjalan menuju kamar Bang Indra. Entah kenapa rasa penasaranku datang tiba-tiba, ingin tau apa isi surat itu?
“Saat matamu menatap ingin, tanyakan dulu pada perasaan yang tak bisa berbohong, hingga bibirmu berkata benar, bahwa isi suratmu sesuai dengan kata hatimu. Katakan semua itu ketelingaku, Teleng!”
(Teleng: panggilan akrab Bang Indra)
‘Oh,’ rupanya Kak Laura menantang Bang Indra untuk menyatakan isi hatinya secara langsung.
Kutemui Bang Indra di ruang kamarnya. Dia berdiri gelisah sambil melihat muara sungai dari jendela kamar. Aku masuk ke kamar itu sambil berdehem, Bang Indra membalikkan badannya.
‘Bagaima-bagaimana?’ Tanya Bang Indra seperti orang tak kuat menahan sabar.
‘Ni, baca!’ kataku.
Belum tuntas membaca seluruh isi surat dari Kak Laura, mulut jahilku terlebih dulu mengompor-ngompori, ‘Ngasih ceramah ke junior lancar abisss, tapi, bilang Ai laff yu sama cewek, susahnya setengah mati. Aloloko?’
Bang Indra menepuk sayang kepalaku. Janji bertemu kembali harus aku sampaikan pada Kak Laura.
Di jembatan perbatasan antara kawasan asrama dan rumah penduduk, aku dan Bang Indra menunggu Kak Laura sesuai waktu yang telah disepakati. Raut wajah Bang Indra tampak makin gelisah. Dia melempar-lempar batu kerikil ke arah sungai yang ada di depan kami. Dalam perasaan harap-harap cemas, Bang Indra bertanya kepadaku.
‘Kalau ditolak, bagaimana, ya?’
‘Cari yang lainlah!’ jawabku.
‘Kalau diterima?’
‘Cium!’
.
Bang Indra lagi-lagi menepuk kepalaku, ‘Ntar, ditangkap warga, lho,’ ujar Bang Indra.
Tak beberapa lama, Kak Laura datang mengenakan celana training, baju kaos putih. Aku menghidar dari mereka dengan jarak yang tidak terlalu berjauhan. Dari jarak itu, aku menyaksikan ending penembakan drama cinta ala asrama dari Bang Indra.
Kak Laura berdiri menyampingi Bang Indra. Gugup makin terlihat di wajah Bang Indra, persis seperti orang mau kencing dari celananya. Karena tidak tahu harus memulai kata-kata dari mana.
‘Anu, anu, anu.’ Kata Bang Indra karena saking groginya.
‘Onde Mandeeeeeee,’ kesalku dari kejauhan.
Bang Indra bingung teramat sangat. Sementara Kak Laura terus menunggu sambil menyimpuhkan kedua tangannya ke bawah dagu, dan lututnya bergerak maju mundur, dengan ekspresi wajah bermanja-manja.
‘Apa? Apa?’ tanya Kak Laura, dan berusaha memancing Bang Indra untuk bisa mengungkapkan isi hatinya.
‘Anu, anu, anu, aku sayang kamu.’
‘Itu aja?’ tanya Kak Laura.
‘gak, cinta, sayang, cinta. Ya gitu gitu, deh,’ jawab Bang Indra tak karuan.
‘Cuma itu?’ Kak Laura mengalihkan pandangannya.
‘Apalagi, ya?’ Bang Indra berpikir dalam harap-harap cemas..
‘Cuma itu?’ Hening lima detik, ‘Peluk, dong!’ bujuk Kak Laura.
Bang Indra langsung memeluk Kak Laura, membiarkan Kak Laura bergelayut di dada bidangnya, mereka pun resmi berpacaran.
‘Giliran peluk-pelukan, cepat ya?’ teriakku dari belakang mereka.
Bang Indra melemparku dengan sandal jepitnya, dan aku lari menuju asrama. Sejak saat itu, aku selalu ada untuk hubungan mereka. Mengantar hadiah dari Bang Indra untuk Kak Laura, mengantar baju Bang Indra yang akan distrika, dan menyampaikan pesan janji bertemu. Setiap menyampaikan pesan Bang Indra untuk Kak Laura, aku selalu memperhatikan wajah Kak Laura tanpa kedipan. Bibir Kak Laura bak asam seulas, menggelitik otakku berlama-lama memandangi wajahnya. Tapi apalah daya, aku masih junior kelas 1. “Tembok asmara” bukanlah milik siswa yang masih ingusan. Bagaimana mungkin bisa menikung Bang Indra dari belakang, mandi dan ganti baju saja susahnya setengah mati.
Seringkali Bang Indra mengajak Kak Laura berkunjung ke rumahnya di Bukittinggi. Hubungan mereka kian serius. Keluarga Bang Indra pun menerima Kak Laura dengan tangan terbuka, apalagi Ibu, yang menyayangi Kak Laura dengan kesungguhan hati seorang Ibu, tak membedakan mana anak kandung dan mana yang tidak?
Ibu berharap hubungan mereka bertahan lama. Bak pinang dibelah dua, yang satu tampan, dan yang satu lagi cantik. Pasangan yang elok dan serasi, begitulah mata Ibu memandang, saat mereka jalan berduaan.
Kak Laura juga begitu… sadar keberadaannya akan jadi menantu di rumah Bang Indra, terus dia berusaha mengambil hati Ibu, dengan membantu Ibu memasak di dapur, mendengar cerita Ibu tentang Bapak yang sudah lama meninggal dunia. Kasih sayang Ibu sangat tercurah untuk Kak Laura. Hingga malam semakin larut, tak sadar Kak Laura tertidur di kaki Ibu. Setiap kembali ke asrama, Ibu tidak lupa menyelipkan uang jajan untuk Kak Laura, mengelus-elus kepala Kak Laura seperti anak sendiri.
Kak Laura merasa beruntung bisa dekat dengan Ibu. Dia terus membuktikan kesungguhan hatinya untuk Bang Indra. Sampai akhirnya Bang Indra pergi berlayar ke Negara Jepang. Mereka harus berpisah sementara waktu, dan dengan terpaksa jalankan hubungan jarak jauh. Sulit… tetapi semua adalah demi cinta.
Bang Indra sangat berharap agar Kak Laura sabar menanti. Janji mereka ucapkanyang, agar benih cinta yang mereka tanamkan, tidak layu di tengah jalan. Agar harapan dan mimpi yang mereka bangun, tidak berakhir sia-sia.
Sepuluh tahun kemudian
Iseng buka akun Facebook usai kerja di kantor, dengan hati berbinar aku lihat postingan salah satu teman di Facebook group alumni pelayaran. Sebuah postingan memberi tahu, bahwa Bang Indra akan menikah lengkap dengan waktu dan tempatnya. Tetapi tidak memberi tahu dengan siapa Bang Indra akan menikah.
Kebiasaan kami para alumni, mendengar salah satu alumni menikah, tak ubahnya seperti Jailangkung yang datang tak diundang, dan pulang tak diantar. Tetapi bagi kami, cara seperti itu adalah sebuah bukti kekompakan di bawah almamater yang pernah kami kenakan.
Di perjalanan menuju pesta Bang Indra, aku mempersiapkan guyonan untuk kedua mempelai setelah sekian tahun tak pernah lagi bertatap muka. Sampai di keramai pesta, dari lahan parkir terlihat Bang Indra menatap mesra mempelai wanita yang duduk di sampingnya. Kedua pengantin itu tampak mesra, yang hanya bisa dirasakan oleh mereka berdua.
Tak sabar… kuhampiri kedua mempelai untuk memberi ucapan selamat atas pernikahan mereka. Serta melontarkan guyonan yang telah aku persiapkan sebelumnya.
‘Lho?’
Langkahku tertegun… tak percaya dengan kenyataan yang terlihat di hadapan mata. Pengantin perempuan yang aku harapkan adalah Sosok Kak Laura menemani Bang Indra untuk mengarungi bahtera hidup, berganti dengan perempuan lain.
Tak beberapa lama, kucicipi hidangn pesta, tersimpan bermacam Tanya di kepalaku, ‘Kak laura ke mana? Kenapa bukan dia? Ada apa di antara mereka?
Bersambung...
Comments