Alhamdulillah, bisa lebaran bersama anak dan istri
Dia adalah seniorku saat belajar di sekolah
pelayaran dulu. Setelah lulus lima belas tahun silam, dan sibuk dengan pekerjaan masing- masing,
kami tidak pernah lagi bertemu muka. Dia bekerja menjadi pelaut, dan aku adalah
mantan pelaut yang sekarang hanya menjadi karyawan di salah satu perusahaan
swasta, Jakarta.
Hatiku tergugah untuk datang ke rumahnya, sembari bersilaturrahmi dan berucap selamat lebaran sepatah atau dua patah kata. Syukur-syukur dapat THR Uang Dollar. Tapi karena masih beberapa hari menjelang lebaran, kurencanakan untuk pergi dua hari pasca lebaran. Aku sengaja tidak mengomentari status BBM dia, dengan maksud memberi kejutan dengan rencanaku menemui dia.
Namun hati ini terlalu ingin untuk segera
menemuinya. Tak bisa lagi kutunggu takbir Allahu
Akbar berkumandan. Kupinjam motor Mio adikku, dan aku pergi menuju
rumahnya. Dengan perasaan senang bukan kepalang, kulajukan motor sambil
bersiul- siul riang, sedikit berharap selain Uang Dollar, moga- moga diajak
pergi karaoke bareng. Gerimis kecil sempat membuat laju motorku jadi terhenti, baju
baru yang aku pakai basah kuyup. Tetapi hal itu tidak menyurutkan niatku untuk
tetap menemuinya.
Sampai di pagar rumah yang dulu terlihat sederhana, sudah berganti cukup megah dengan bangunan tingkat dua. Kulihat pria berambut gondrong mencium anak kecil menangis di pelukan seorang wanita yang sedang hamil muda. Sepertinya pria gondrong itu sedang berpamitan. Si anak kecil meronta- ronta memanggil ayah, dan wanita yang sedang hamil muda hanya bisa menghapus air mata sang anak dengan jilbab kuning yang dia kenakan.
Pria gondrong mengangkat tas ranselnya, diiringi ciuman hangat di jidat wanita yang sedang hamil muda. Selangkah, dua langkah, hingga
beberapa langkah, pria gondrong berpapasan denganku. Kami pun saling kaget… ternyata
dia adalah senior yang aku maksud.
Lima belas tahun tak pernah bertatap mata,
rupanya dia masih ingat dengan lesung pipiku yang manis, dan dia langsung menendang
kecil pantat keroposku, dimana candaan seperti itu sudah menjadi kebiasaannya
dari dulu.
Sangat disayangkan… harapan ingin pergi
karaoke bareng, pupus... lantaran seniorku harus kembali berlayar ke Singapura.
Hanya sesaat, aku dipersilakan masuk ke rumahnya. Aku diperkenalkan dengan anak
kecil dan wanita yang sedang hamil muda
tadi. Mereka tak lain dan tak bukan adalah anak dan istrinya.
Hanya sepuluh menit bercengkrama, ‘Maaf ya,
Dik, Abang harus pergi lagi. Abang ndak bisa merasakan lebaran di rumah tahun ini. Ada telpon dari atasan yang mengharuskan berlayar lagi’
Aku terdiam dengan kata-katanya yang penuh keluh kesah. ‘Gak apa, Bang,’ dan hanya itu
yang bisa aku jawab, sambil melihat seniorku mengusap-usap kepala anaknya yang
mulai tenang.
Anak yang tadi sudah terdiam dari tangisnya,
kembali meronta-meronta, ‘Ikut Ayaaah, ikut ayah’ Aku jadi terhanyut dalam kesedihan
bocah kecil itu. Sekedar berbasa-basi terhadap istri seniorku, kuselipkan selembar
uang kertas lima puluh ribu untuk anaknya yang kembali menangis.
Tak disengaja, aku mendengar dua perempuan
separuh baya yang merupakan tetangga seniorku berbisik ria,
‘Siapa suruh kawin
sama pelaut? Di rumah cium jidat istri sendiri, di pelabuhan cium jidat istri
orang. Ya nggak, Ros?’
Dengan pongah Ros menjawab sambil garuk-garuk
ketiak, ‘Ya iyalah, pelaut gituu, lho!’
Aku tidak mengerti tujuan kedua perempuan itu
bicara demikian. Apakah ada masalah pribadi dengan istri seniorku? Apakah merasa
iri dengan perubahan materi istri seniorku? Atau memang tidak suka dengan
seorang pelaut? Dari nada bicara mereka, pelaut terlihat begitu hina. Apakah
sehina itu seorang pelaut?
Kesal menyelinapi hatiku, pikiranku seakan terpanah mendengar ocehan mereka. Apa bedanya pelaut dengan yang lain? Toh, sama- sama cari nafkah untuk anak dan istrinyanya.
Mungkin mereka tak sadar bahwa tidak semua
pelaut seperti yang mereka duga. Jadi bisa difahami selama ini, kenapa orang-orang
menyalahkan profesi dan lembaga tertentu, ketika ada individu/golongan berbuat
salah.
Seorang anggota dewan, jadi hujatan publik
ketika anggota dewan itu melakukan korupsi. Islam menjadi buah bibir dunia
ketika teroris berbuat rusuh. Begitu juga dengan pelaut, akan jadi bahan olok-olokan
orang, ketika segelintir pelaut berlaku buruk.
Jika dilihat di luar sana, banyak guru-guru
melakukan pelecehan seksual terhadap muridnya. Dokter melakukan malpraktek
terhadap pasiennya. Bahkan ustadz dan pendeta mencabuli jamaahnya. Siapa yang salah?
Profesi atau orangnya?
Profesi… kita tidak selalu bisa memilih.
Bukankah adakalanya takdir yang berkehendak? Andai kedua perempuan itu tetangga
rumahku, rasanya ingin aku bertanya:
‘Sekarang kalian senang bisa menggunakan hp,
tv, motor, kulkas, apakah kalian tahu, siapa yang membawa peralatan benda itu
dari satu pulau ke pulau lain, dari satu negara ke negara lain, dari satu benua
ke benua lainnya?’
‘Sekarang kalian bisa makan ikan enak di rumah
dan di restoran mewah, apakah kalian tahu, siapa yang menangkap ikan-ikan itu dan
siapa yang membawanya ke pelabuhan?’
‘Sekarang kalian merasa bangga memiliki
Indonesdia, apakah kalian tahu siapa yang menjaga lautan batas wilayah?’
‘Dan sekarang kalian bisa merasakan indahnya
dunia, apakah kalian tahu siapa yang menemukan pulau- pulau itu, benua-benua
itu, atau tanah yang kalian injak itu? Yang pasti jawabannya “Bukan Nkong kalian”.
Jika kalian mengeluk-elukan, Prabowo si tangan besi dengan semangat juangnya,
atau Jokowi kalian anggap sebagai Superheronya Indonesia, maka bagiku pelaut
adalah Superheronya dunia.’
‘Mestinya kalian bersyukur! saat semua orang
pergi berlibur dan bersuka cita menyambut lebaran bersama keluarga, banyak
pelaut yang harus bekerja menjalankan tugasnya, bahkan menangis takbir pun mereka
lakukan di lautan.’
‘Selamat bertugas seniorku, Semoga sukses
selalu.’
Minal Idzin Walfa Idzin, Maaf lahir dan bathin!’
Comments