Skip to main content

Dua Ranah - Negeri Sakura, Apa Ranah Minang?

By: DR


Lampion toko telah nyala berjajaran di pinggir jalan. Siswa-siswa simpang siur pulang dari sekolahnya, sebagian lagi dari tempat kerja. Ada yang pegang buku menunggu kereta tiba. Ada yang pakai dasi tapi pulang mengayuh sepeda. Ada juga yang bergegas jalan kaki, sambil menundukan kepala.

Tak terlihat anak sekolah teriak ledek-ledekan sesama teman, apalagi tawuran di keramaian. Indah betul apa yang terlihat oleh mata, walau ada di pinggir kota.

Nenek berdiri dari tempat duduk, menyalakan lampu di semua sisi rumah. Walau usia Nenek sudah menua, penglihatan sudah mulai rabun, Tapi Nenek masih kuat melakukannya seorang diri.

'Aku bantu, ya, Nek.'

'Sudah, sudah. Biar Nenek saja!

Setelah suami Nenek meninggal, sebenarnya Nenek tinggal bersama Haruka, cucu Nenek satu-satunya. Haruka lebih memilih tinggal bersama Nenek, karena merasa tidak cocok dengan orang tuanya. Haruka bekerja di sebuah kafe. Sore selesai kuliah, Haruka langsung ke tempat kerjanya. Jadi, ketika malam Nenek sering sendirian.

'Oh, gitu ya, Nek.'

Malam tidak begitu larut, Nenek memberiku sebuah selimut tebal. Bila mata sudah mengantuk, aku dipersilahkan tidur di kamar depan.

Kuperhatikan sekeliling kamar yang penuh dengan pernak-pernik hello kitty
mata tertuju ke sebuah bingkai foto yang terpampang di atas meja belajar. Seorang wanita berpose menunjukkan dua jarinya, mengenakan baju musim dingin, dengan baground putih menyerupai salju.

‘Haruka kah?’ pikirku.

Kurebahkan badan sambil menatap foto itu. Hingga terasa tidak begitu lama, kudengar samar-samar suara wanita bernyanyi di kamar mandi. Suara itu mengganggu lelapnya tidurku.

‘Apakah itu Haruka?’ pikirku.

Dinginnya pagi kian mencekam. Lelah kerena kejaran polisi masih terasa. Tak begitu kuhiraukan suara wanita yang sedang bernyanyi itu. Kembali kutarik selimut ke badan, dan kembali tertidur pulas.

Aku terbangun dari tidur. Menggeliat duduk dengan perlahan. Kaget… seorang wanita cantik berdiri di depanku, dan dia menebarkan senyum.

‘Ohayou gozaimasu. Haruka desu.’

'Owh. Doro desu.’


Poto: Telmaharukana



Dengan rambut panjang terurai basah, Haruka memberikan handuk dan perlengkapan mandi lainnya kepadaku. Sepertinya Nenek telah bercerita tentang keberadaanku di rumahnya.

‘Mandi dulu! Nanti kalau mau ikut, kita pergi ke luar rumah.’

Aku loncat kegirangan dari tempat tidur. Haruka mengajakku pergi jalan. Teringat masa-masa di sekolah dan Jakarta yang tidak pernah menjadi teman bermain seorang perempuan, kecuali Nilam dan teman anak si tukang pecel lele. itu pun sekedar bertemu di rumah dan kontrakan saja.

‘Yess, sekarang masa itu berpihak kepadaku.’


Poto: Telmaharukana


'Apa kamu mau kerja di sini? Nanti Nenek dan Haruka bantu carikan pekerjaan yang cocok buat kamu. Nenek rasa tidak terlalu sulit, karena di sini banyak pabrik-pabrik yang mempekerjakan orang asing, terutama orang-orang Indonesia.’

'Mau Nek, mau sekali. Aku malu pulang ke Indonesia sekarang. Kapan bisa kerja, Nek?’

 ‘Sabar! Nanti dikabari!’

Lalu, aku diajak Haruka bermain sepeda mengelilingi taman di sekitar kampusnya. Kami duduk di ayunan sambil bercengkrama, bercerita panjang lebar tentang diri masing-masing.'




Kesan baik akan sosok Haruka, begitu cepat aku rasakan. Aku tidak mengerti, apakah itu faktor aku yang kesepian? Atau mungkin, karena tidak pernah punya teman jalan seorang perempuan?

‘Sampai detik ini, aku hanya bisa mendengar cerita Nenek tentang orang-orang Indonesia yang memiliki budaya bermacam ragam. Selesai kuliah, aku mau pergi ke Indonesdia,’ kata Haruka.

‘Buat apa? Sekedar mengetahui kah?’ tanyaku.

‘Hmm. Mungkin.’

‘Ohh, apa gak kepikiran tinggal di sana? Seperti Nenek, misalnya,' tanyaku.

‘Mungkin saja, jika punya suami orang Indonesia. Heee.’

Setiap jeda percakapan, aku berpikir, kenapa Haruka memilih tinggal bersama Neneknya? Apa kepingin hidup bebas? Apa dipaksa kawin oleh orang tuanya?

'Ahh, mungkin benar apa yang dibilang Nenek, “karena tidak cocok dengan orang tuanya”.’

Kucoba menerka-nerka tentang keberadaan Haruka, dia menghentikan ayunannya dengan dadakan. 

‘Kamu Islam?’

‘Iya, Islam,’ jawabku.

‘Ninja Teroris?’

Aku terhenyak dari ayunan. Mencari maksud dari pertanyaan Haruka? Apakah Islam seperti Ninja? Atau Agama Islam adalah teroris?

Sulit kujelas tentang Islam pada Haruka. Karena Islam yang dia kenal hanya orang-orang pakaian bercadar. Sulit bagiku mengagung-agungkan Islam, saat mata dunia belahaan sana memandang Islam suka bikin rusuh. Dari faham radikal sampai faham terorisme.

Kucoba menjelaskan sebisanya. Mungkin muslim salah, tapi tidak bisa dikatakan Islam salah. Bila melihat Islam maka pelajarilah kitab suci-Nya. Muslim adalah orang yang menganut agama Islam itu sendiri. Dan orang bisa saja berubah dari baik menjadi jahat, begitu juga sebaliknya. Jadi, bedakanlah apa itu muslim? dan apa itu Islam?

Hanya seperti itu yang bisa aku lontarkan pada Haruka. Salah atau benar, akulah yang salah.

Aku maklumi opini Haruka tentang pandangannya terhadap Islam. Karena dia tidak punya agama sama sekali. Wajar-wajar saja Haruka berkata seperti itu. Tiap orang punya pemikiran masing-masing. Sesama muslim saja bisa selisih faham dan sudut pandang akan Keislamannya. Apalagi Haruka punya agama yang tidak jelas itu.

Aku juga belum bisa lebih jauh bicara agama pada Haruka. Karena aku sendiri belum mampu menjalankan perintah agamaku dengan baik. Ingat sholat hanya ketika ada maunya saja. Ingat Tuhan hanya ketika kesusahan saja. Bila tiba rasa senang, lupa dengan ayat-ayat-Nya.

'Apa kamu punya Kitabnya?'

'Dulu bawa, tapi tinggal di asrama pelayaran Naha. Nanti aku carikan.'




Sore mulai menuju gelap. Kami pulang berboncengan naik sepeda. Sampai di rumah Nenek, Haruka pergi ke tempat kerjanya, dan aku di rumah bersama Nenek.

Esok harinya, aku dan Haruka pergi berjalan-jalan ke supermarket. Kami kembali pergi mengayuh sepeda, dimana hal serupa, sudah jadi kebiasaan orang-orang Jepang pada umumnya.

Aku merasa semakin nyaman dengan adanya Haruka. Ke mana-mana berboncengan naik sepeda. Selama satu minggu, aku mengantarkan Haruka ke tempat kerjanya. Sepeda kubawa pulang, menunggu sampai Haruka selesai bekerja. Lalu kembali menjemput Haruka lagi.

Kami menaiki mobil Hanya seperlunya saja. Dan, bila ada tempat yang dituju agak berjauhan, kami pergi dengan menaiki kereta lisrik.

Minggu kedua, aku mendapat kerjaan di sebuah pabrik ramen. Haruka memberiku hadiah sepeda baru. Kutabung uang untuk melunasi janji pada adikku di kampung. Kukirim uang untuk membelikanya sepeda baru. Usaha Ayah sudah ada kemajuan. Dulu jualan beras hutang sana-sini membeli padi, dengan uang kirimanku, Ayah sudah bisa membayar kontan saat transaksi.




Tapi aku bingung, hubungan apa yang harus aku jalani dengan Haruka, sementara kami semakin dekat. Dibilang teman, lebih dari teman. Anggap adik kakak, rasanya aku dan Haruka tidak menginginkan hal itu. Cinta kami tak terucap, tapi perasaan dan perhatian kami saling berbalasan. Aku dan Haruka sudah saling membutuhkan.

Apakah cinta kembali tak terucap?

‘Ya.’

Aku memilih tidak mengungkapkan perasaanku pada Haruka, begitu juga dengan dia. Kami membiarkan perasaan itu terus mengalir begitu saja. Selalu bersama tanpa prahara. Kami sudah sama-sama merasa nyaman dengan hubungan yang ada. Saling mengerti satu sama lain.

Tapi kebersaamaan tak selamanya bisa diharap. Masa kerjaku berakhir sudah. Aku kembali ke Indonesia, bertemu keluarga yang telah lama aku tinggalkan.

Hubungan yang tidak jelas mesti diselesaikan. Satu hari waktu tersisa, Kami luapkan rasa hati di jalan panjang yang dihiasi indahnya bunga sakura. Gerimis kecil seakan tidak mengizinkan aku untuk pergi. Lara terpancar di wajah Haruka. Dia ingin aku terus menemaninya.

Aku bak memakan buah simalakama. Tak ingin berpisah dengan Haruka. Tapi disisi lain, aku harus kembali pulang ke Indonesia.

Haruka bersandar ke punggunggu, menangis sesegukan tiada henti. Di sanalah aku mengerti, betapa besarnya cinta Haruka kepadaku.





‘Aku janji akan menyusulmu ke Indonesia. Aku pasti datang. Kuharap itu juga menjadi keinginanmu. Maaf, aku sayang kamu. Tidak pernah lidahku mengatakannya selama kamu ada di sini. Karena aku rasa kamu pasti mengerti, bagaimana aku berprilaku.Aku tidak bisa mengantarmu ke bandara. Aku tidak kuat. Pergilah! Tinggalkan aku di sini! Aishiteru. Sayounara.’

‘Sayounara.’

Kutangisi perpisahan dalam hati. Kutinggalkan dia ditemani hujan gerimis. Aku pergi berkemas menuju apartemenku. Walau berat rasanya kaki melangkah, cukup sudah aku bekerja di negara orang.










Aku cinta tanah kelahiranku. Aku rindu tepian mandi semasa kecil. Aku yakin, Haruka akan menyusulku ke Indonesia.

Aku pergi menuju bandara bersama teman yang lainnya. Berharap Haruka akan melihat kepergianku. Tapi, hingga pesawat yang aku tumpangi take off landing, aku belum juga melihat wajah Haruka. 

‘Yahh.’

Mungkin benar apa yang  dia katakan, “Tak kuat melihat kepergianku”.

Bangau terbang telah jauh, tapi pulangnya ke kubangan juga. Aku senang bisa bertemu kembali dengan kedua orang tuaku. Empat tahun adik-adik kutinggalkan, mereka tumbuh semakin dewasa.

Namun di balik semua itu, hari-hariku dicekam rasa rindu akan Haruka. Teringat saat bermain sepeda di Kota Sendai. Teringat malam-malam menikmati gemerlap tahun baru. Terngiang masa berjalan-jalan di Taman Nishi Kouen, hingga hujan-hujanan pulang berboncengan naik sepeda.

Kuingin Ayah dan Mak mendengarkan ceritaku. Menyampaikan betapa rumitnya rasa di hati. Jika Haruka datang ke Indonesdia, aku ingin menikah dengan dia, aku inginkan dia. Haruka… wanita pertama yang memberiku kisah, betapa aku membutuhkan dia. Aku memohon kepada Mak, agar bisa memberi restu.

Tapi?

‘Sampai mati pun Mak ndak akan setuju waang nikah samo orang Jepang. Sesama orang Indonesia di luar Minang sajo, Mak masih pikir-pikir, apolagi dengan orang Jepang yang ndak jelas asal usulnyo.’

‘Dia paham dengan Indonesia, Mak!’

‘Kalau mau nikah cepat, nikah sajo dengan orang yang adatnyo samo dengan kito. Ayah waang datuk, ndak usah buat malu. Banyak perempuan di kampung ini. Sekali lagi bicara si Jepang itu, lebih baik waang merantau chino, ndak usah pulang kampung !’

‘Namonya Haruka, Mak. Bukan si Jepang.’

‘Samo sajo!’

Mak menolak mentah-mentah keinginanku. Aku hanya bisa diam. Ayah pun tidak mau melihat mukaku. Ayah lagi-lagi memberi sindiran.

‘Bodoh jangan dipeliharo. Dari jaman waang masih mandi telanjang, ndak kenal perempuan sama sekali, sampai kini randang lebih enak daripado ikan mentah.’

Lalu Ayah nyelonong makan ke dapur, satu kaki diangkat ke atas kursi, dan kembali nongkrong ke warung kopi.

Bujuk rayu aku lakukan kepada Mak. Dalih dan alasan kujelaskan kepada Mak. Tapi, jawaban Mak tetap tidak berubah.Telah banyak cara meluluhkan hati Ayah. Taktik dan siasat kulakukan mengambil hati Ayah. Jawaban Ayah tetap sama.

‘Randang lebih enak daripado ikan mentah.’

Tiga hari tiga malam, aku mengurung diri di dalam kamar. Mencoret-coret buku harian yang aku bawa dari Ranah Sakura. Kata demi kata terisi penuh di buku itu, yang ada hanya nama Haruka.

Mungkin orang kampung beranggapan, bahwa aku telah lupa dengan budaya. Mestinya pulang merantau, berkunjung dulu ke warung warga, berkunjung dulu ke rumah-rumah tetangga. Tapi aku lebih memilih mengurung diri di dalam kamar.

Bukan aku tak faham lautan sakti rantau bertuah. Bukan tak mengerti dengan alam nan takambang jadi guru. Bukan pula tidak baraja ka Nan Manang, atau mancontoh ka Nan Sudah.

Kususun jari yang sepuluh, bila lupa adat dan budaya, ketika badan kubawa pulang.
Bukan rezeki yang sedang jauh, bukan itu yang terasa. Tapi cinta di hati sedang malang.

Sejauh apapun tanah rantau pernah kutempuh. Walau bermandikan emas di negeri orang. Andaipun tinggi jabatan di sandang badan, kutetap ingin kembali pulang, tak akan kulupa tepian mandi. Andai boleh aku meminta, jika ajal menjeput nyawa, mati pun aku ingin di Ranah Minang.

Kubuka-buka pintu jendela. Kubuka-buka buku harian. Aku berjalan ke belakang rumah, lahan sepetak sawah telah berganti lahan sawit. 

Aku berjalan di pematang sawah. Kulihat Ayah menghalau burung, daun sawit melambai-lambai. Angin berembus cuaca mendung. Tidak lama cerah lagi. Dari rumah, si bungsu teriak keras.

'Udaaaaa.'

Si bungsu pamer baju baru. Mak pun telah berdandan gaun pesta, muka gelap jadi memutih, karena ditutup bedak viva.

'Antarkan Mak ke rumah Om Yahya.'

'Om Yahya?,' tanyaku.

'Antarkan sajo lah! Jawab Mak.

Aku berpikir ada pesta di rumah Om Yahya. Rupanya hanya sekedar bersilaturrahmi biasa. Aku tidak mengenal siapa Om Yahya itu. Karena tidak pernah melihat sebelumnya.

Sepertinya tradisi kuno akan terjadi lagi di rumah Om Yahya. Bila terdengar orang kampung pulang dari rantau, terdengar kabar angin membawa banyak uang, garis keturunan di usut-usut, sejarah lama dibaca-baca, dan benar saja.

'Kita ini keluarga. Kamu itu keponakan Om,' kata Om Yahya.

Ketika kepala manggut-manggut, datang perempuan cantik berkerudung merah. Dia menyuguhkan minuman untuk kami. Lalu, dia duduk di samping Om Yahya.

'Nah, ini kenalkan anak Om,' kata Om Yahya.

Aku berkenalan dengan anak Om Yahya bernama Vika. Dia masih duduk di bangku kuliah semester 2. Aku sudah mengerti apa maksud dan tujuan mereka. Mereka sengaja menjodohkan kami diam-diam, Mak juga berkata demikian.

Mak memintaku mau membuka hati untuk Vika. Dan apabila waktunya tiba, akan menikahkan aku dengan dia. Aku menuruti kemauan Mak. Tapi... jika kelak aku bisa mencintai dia.

Ketiadaan Haruka di dekapku, digantikan oleh Vika. Wanita rancak dan baik hati, begitulah Mak memandangnya.

Terus kucoba membuka diri untuk Vika, sambil menunggu luluh melihatnya. Kuantarkan Vika pergi ke kampusnya, kutemani Vika ketika libur kuliah. Berjalan-jalan ke sana ke sini, Tapi semua percuma saja, sosok Haruka tidak bisa tergantikan.

Tiga bulan berkenalan dengan Vika, hari pertunanganan kami akan segera diresmikan. Sebuah pertunanganan terpaksa karena alasan orang tua, mengingat semua jasa-jasa orang tua, mengingat kerasnya adat yang kami anut, hingga pertunangan akan berlangsung tanpa ada rasa cinta.




Satu minggu sebelum bertukar cincin di rumah Vika, kubuka akun facebookku. Aku bermaksud mengirim pesan kepada Haruka. Aku ingin Haruka tahu tentang hubunganku dengan Vika. Aku berharap Haruka bisa mengerti, dan melupakan semua kenangan yang pernah terjadi di antara kami.

Kunyalakan komputer rental dengan perlahan, sambil memperhatikan orang-orang sekitar di tempat rental itu. Kumasukan login dan password faceebok yang aku punya. Kulihat pesan masuk semua pertemanan. Kaget...  sebuah pesan datang dari Haruka.

"Sayang, aku sudah dua hari di Jakarta. Aku mau jalan-jalan sendiri dulu. Nanti kalau ke jakarta, hubungi saja ke no 0856... beri tahu aku, biar bisa berpindah hotel dekat Bandara."

Aku berlari pulang ke rumah. Kuambil tas dan baju seperlunya. Tak kuhiraukan, akan ada pertunanganan secara kekeluargaan di rumah Vika. Tak kupedulikan Vika bertanya mau kemana?

Kucari tiket pesawat menuju Jakarta. Kucari hotel tempat Haruka menginap dekat bandara. Bertanya ke respsionis dengan jawaban kamar 303. Kupencet bel kamar itu, dan Haruka tahu bahwa aku telah datang menemuinya. Haruka membuka pintu dan kami berpelukan.

'Sama siapa ke Jakarta,' tanyaku.

'Sendiri.' Jawab Haruka dengan nada lirih.

'Sampai kapan kamu di sini?' tanyaku.

'Hanya sampai hari ini,' jawab Haruka.

'Kenapa?' Tanyaku.

'Karena aku bukan tunanganmu, tapi orang lain.'

Spontan, aku melepaskan pelukan Haruka. Dari mana Haruka tahu semua itu?

'Aku datang hanya untuk menepati janjiku kepadamu. Dan sekarang sudah aku tepati. Aku sudah tau semuanya. Tahris... temanmu di pabrik ramen yang memberi tahuku. Awanya aku tidak percaya. Tapi sekarang aku tahu, semua benar.'

'Gini...'

'Tak perlu dijelaskan. Aku datang hanya untuk menepati janji. Kamulah yang tidak menepatinya. Aku tidak butuh penjelasanmu. Aku hanya butuh kamu ingat dengan kenangan kita. Oh... ya. Nenek sudah meninggal. Dia titip selimut ini untukmu. Mohon kamu pakai.'

Aku diam terpaku... tak tahu mana yang mesti aku pikirkan. Ingat Nenek, temanku bercerita di saat menganggur. Nenek yang telah menyelamatkan aku dari kejaran polisi, Nenek yang sangat menyayangiku dengan tulus. Nenek yang mempertemukan aku dengan Haruka. Kini kudengar kabar Nenek telah tiada. Dan Haruka sudah berdiri di depanku, tapi juga akan kembali ke negaranya.

Saat aku terpaku diam, Haruka pergi membawa coper yang telah siap untuk dibawa. Aku berusaha untuk menahan dia. Tapi dia tetap bersikukuh ingin pergi.

Haruka terlihat tenang berkata-kata. Tapi air mata benetes di pipinya. 

Haruka pergi menaiki taksi menuju bandara. Aku berteriak memanggil dia. Tapi dia tidak sekalipun menoleh kepadaku. Dia tetap pergi dengan linangan air mata di pipinya.

Aku coba menyusul taksi tumpangan Haruka ke bandara. Berusaha menahan dia satu minggu atau dua hari saja. Tapi aku tidak bisa bertemu dia, karena dihalangi petugas bandara.

Haruka telah kembali ke negaranya, Negeri Sakura, tempat aku dan Haruka memadu kasih. Cintaku hilang, hatiku rapuh, karena alasan “Tradisi yang berbeda”.

Aku mengerti apa yang dirasakan Haruka. Hancur, sedih, kecewa, yang pasti hatinya terluka.

Entah siapa yang harus aku salahkan? Orang tua? Tradisi? Atau diriku sendiri? Hanya buku harian yang bisa kujadikan sebagai tempat bercurah hati.

Mak, nyanyian Dodoi si Dodoi ketika aku dalam buaian, masih terngiang di telingaku hingga sekarang. Usapan jarimu di punggungku masih terasa hangat di saat mata susah aku lelapkan

Dulu... bahagia yang aku tahu hanyalah suapan nasi dari tanganmu sambil berlari-lari ke sana ke mari. Namamu kupanggil ketika dunia jahat kepadaku.

Dan Badanku terasa gamang bangun tidur, karena Mak tidak ada di dekatku.

Mak... Aku ingat semuanya. Ingat kopiah haji yang Mak pasangkan ketika aku naik ke pundak Ayah pergi mengaji. Ingat senyum haru Mak saat aku menang lomba mengaji di musholla, dan Mak memberi aku hadiah seekor sapi betina.

Ingat senang yang bukan kepalang uang jajan 100 rupiah Mak tambahkan jadi 150 rupiah. Mak berkata, "Nanti kalau sudah besar, Mak harap kamu jadi anak yang membanggakan. GAGAH anak Mak!."

Aku mengiyakan, padahal aku tidak tahu seperti apa anak yang membanggakan itu?

Mak... dari sana aku berjanji: Hanya padamu kuabdikan diriku ini, agar ceria hari-harimu slalu. Padamu jua kuserahkan langkah hidup dan matiku, agar tiada rasa berdosa sebagai anakmu.

Kini... anakmu yang dulu polos telah beranjak makin dewasa. Ia punya keinginan mulai berbeda dengan keinginanmu. Yaitu CINTA dan Perjodohan. 

Ranah Rantau telah merubah haluan hidupnya. Tapi tak akan mampu melupakan ranah tepian mandi.

Mak... tak pernah kulupakan semua mimpimu saat diriku dalam pangkuanmu dulu. Hanya cintalah yang membuat diriku ini, harus berdosa akan dirimu, Mak. 

Janjiku tak tinggal janji, kan kuarungi cintaku hingga kata pasti. Dialah bunga hatiku, dan dialah yang kusayangi

Mak... kujanjikan bahagiamu Mak, agar selalu jadi buah hati. Kan kubuktikan padamu Mak, karena aku adalah anakmu. Tapi satu kupinta darimu Mak,

"Lupakanlah semua rencanamu!"

Setelah Haruka cukup lama berada di Jepang, aku memutuskan menutup akun facebookku "Naku Sakura". Aku mencoba untuk melupakan Haruka dengan tidak melihat poto dia lagi. Dan akun facebookku berganti dengan akun yang sekarang. Semua kenangan bersama Haruka, kutuangkan ke sebuah lagu jadul yang pernah aku tulis.

"Kenangan Cinta Di Negeri Sakura".







Dan demi kebaikan bersama, aku memutuskan untuk menentukan hari pernikahan bersama Vika. Janji dibuat, adat dirundingkan, kesepakan di tentukan. Pernikahan itu direncanakan akan berlangsung setelah Vika selesai kuliah.

Tapi, apakah Vika jodohku?

Popular posts from this blog

Rotan Itu Hanya Melengkung, Bukan Patah! |Adosinfo

By: DR Taktik dan siasat tidak hanya berlaku dalam politik. Tapi juga dalam hal lainnya, termasuk dalam dunia usaha, yang menggunakan bermacam cara untuk mencari keuntungan lebih. Itu hal positif selama dilakukan dengan cara yang positif pula. Tapi apa jadinya jika siasat itu dilakukan dengan cara yang tidak transfaran, penuh kecurangan. Mungkin gelagat pecundang bisa tak terlihat saat kebohongan ia lakukan. Nyalinya tak gemetaran ketika ada sesuatu hal yang diperdebatkan. Tapi bagi seorang pemenang, harus mampu membaca arah siasat buruk itu, untuk menyiapkan siasat lainnya, agar tidak merasa dirugikan. Tak perlu berargumen panjang lebar untuk menguji sebuah kebenaran. Tak perlu menggunakan kedua tangan untuk meruntuhkan kokohnya sebuah komitmen, selama hal itu masih berlaku untuk hal-hal yang positif. Satu hal yang perlu difahami: Rotan itu hanya melengkung, bukan patah!! Hanya kelapukkan yang bisa mematahkan rotan. Tunggulah rotan itu lapuk pada waktunya.

Hiduplah Seperti Kereta Berjalan | Adosinfo

Hidup akan terus berjalan, tapi banyak hal yang perlu kita ketahui bagaimana mestinya menjalani hidup semestinya? Karena yang namanya hidup tidak lepas dari ujian ataupun cobaan. Walau adakalanya hidup menerima puja dan pujian, hidup tidak lepas dari caci dan hinaan. Bergantung atas apa yang telah kita perbuat di muka bumi ini, dan bergantung bagaimana sudut pandang orang-orang yang menilai kita.  Ya… begitulah hidup, tidak semua keinginan mampu kita wujudkan, lantaran hidup ini akan ada liku dan jalan terjal. Hidup butuh inspirasi dan motivasi untuk meraih sesuatu. Tapi hidup ini terlalu terbalut angan bila hanya terinspirasi oleh kisah kesuksesan seseorang, atau termotivasi oleh omongan seseorang yang memang ahlinya sebagai motivator ulung, yang mampu merangkai kata demi kata. Kita mesti bijak menyikapi sebuah inspirasi dan motivasi. Karena cerita orang sukses akan tetap jadi cerita yang menggiurkan, bila memang mereka mampu meraih kesuksesan dalam hidup mereka. Tapi bila mere

6 Alasan Yang Membuat Anak SUPM Layak Jadi Pemimpin

Secara konstitusional maupun nonkonstitusional,  politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan. Tak sedikit di antara mereka yang haus akan kekuasaan, berlomba-lomba untuk bisa jadi pemimpin. Tak peduli asalnya dari mana, tak penting latar belakangnya apa. Karena syarat jadi calon penguasa tidak pernah mempertanyakan asalnya dari mana? Kuliah lulusan apa? Atau wawasannya apa saja? Yang penting bisa jadi penguasa, apapun caranya itu. 'Ehem.' Bermacam sudut pandang mengatakan, bahwa untuk jadi seorang pemimpin tentunya diperlukan wawasan yang luas, ulet, kompeten, bertanggung jawab, plus dukungan penuh oleh orang-orang yang akan dipimpin.  Itu bukanlah perkara yang mudah. Banyak terjadi di dunia perpolitikan, pemimpin-pemimpin yang hadir, jauh dari apa yang kita harapkan, seringkali kacang lupa dengan kulitnya. Berbeda jauh dengan anak-anak SUPM, yang tetap ingat dan mengayomi bawahannya, meski jarak umur berpuluh tahun sekalipun. Ya sudahlah! Dunia po