Tak banyak yang bisa aku lakukan untuk bisa membalas jerih payah kedua orang tua. Walau ijazah SMU sudah ada di tanganku, hari-hari tidak lepas dari hamparan sawah dan bekerja sebagai tukang ojek, apabila badan masih bisa kupekerjakan.
Suratan tangan membawaku merantau ke Tanah Jawa. kutinggakan orang-orang yang aku sayangi. Niat hati ingin merubah nasib ke arah yang lebih baik. Dan ingin merasakan aroma sukses di tanah rantau.
Kawan cari dunsanak cari, induk semang cari dahulu. Kutemui paman kandung di Kota Jakarta, harap paman bisa jadi induk semang yang baik hati, dan bisa menjembataniku menuju pribadi yang mandiri.
Sulit kulupakan kenangan desa. Ditambah pula kabar buruk dari si dia yang sangat aku cintai. Empat bulan di jakarta, bukan kabar rindu dan ingin bertemu kembali yang aku dapatkan, tapi kabar yang meluluhlantahkan seisi jiwa. Bak mendengar petir di siang bolong, hubungan yang sudah terjalin sejak lama, harus diakhiri tiba-tiba.
Entah ke mana risalah hati kualamatkan? Nasib terkatung-katung di tanah rantau, kekasih hati pun tidak sabar menunggu pulang.
Kucoba melupakan semua kenangan masa lalu. Kujalani berhampa hati jualan sandal dan celana ABG milik paman. Tidak lama, kalut di hati mulai pudar. Gairah datang mendengar janji-janji paman, "kalau mau menuruti kata-kata dia, suatu saat aku diberi modal usaha dan dibiarkan usaha sendiri.
Tapi janji hanyalah tinggal janji. Saat pekerjaan yang ada sudah mulai aku sukai, paman memintaku pindah ke tempat usaha istrinya, di rumah makan Padang milik istrinya.
Berbulan-bulan di perkerjaan itu, aku seperti manusia yang tak dianggap, pahit, padahal sudah berusaha bekerja dengan baik, tidak pernah melakukan hal buruk akan perintah istrinya, apalagi mencoba untuk istirahat sehari saja.
Aku memutuskan keluar dari tempat paman yang hampir dua tahun mempekerjakan aku. Aku terima uang 2 juta rupiah sebagai upah pekerja, dan aku masih ingat akan hal itu.
Kutinggalkan Paman dengan janji-janji manisnya yang bersedia membantu modal usaha. Aku pergi ke tempat kakak perempuanku. Kucoba buka konter dengan uang pinjaman si Kakak. Alhamdulillah... tidak lama modal dari Kakak sudah bisa aku kembalikan.
Tapi nasib baik tidak selamanya berpihak kepadaku. Usaha konter baru saja mulai berjalan, kontrak kios tidak bisa lagi diperpanjang.
Aku berpindah ke lokasi baru dan memulai lagi cari pelanggan baru. Karena kurang uang di kantong celana lantaran biaya pindah, aku coba kembali menemui Paman yang pernah mempekerjakan aku. Aku coba meminjam uang paman 200 ribu rupiah saja, tapi malang... bukan uang yang aku terima, tapi...
'Kamu bukan keponakan saya lagi', kata paman.
Aku pergi dengan langkah berhiba hati. Kucoba kelola usaha konter dengan modal seadanya, hingga usaha kecil itu normal kembali, walau hanya cukup untuk membeli sesuap nasi. Jalan satu-satunya, ya aku harus bersabar.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiWp2T3i0Y6-jWYBzE6MEeGSTG939bhxrL2IcZMLdpCbxya68w20az7Hp4DUyvVxNx8G72UaDYrvMw1zGLbqK2tELhSNJGadNsybXyJ2GqpWvb0vQJ4smkrIcdzkr50ivq7Hy9yjV0rhFs/s640/2017-08-28+23.53.29.png)
Sejak saat itu sampai sekarang, aku tidak mau kenal lagi sama pamanku. Tak ada sedikit pun niat menantang dia. Tulisan ini hanyalah curhatan hati dari kepoanakamu yang bodoh dan tak berguna. Mungkin sekarang paman sedang berjaya, dan tidak begitu peduli dengan tulisan si bodoh ini. Semoga suatu saat paman mengerti, bahwa nasib manusia tidak pernah bisa diterka, apalagi dihakimi. Aku bukannya dendam, tapi hati ini sudah cukup terluka dengan kata-kata yang menyedihkan.
"Kamu bukan keponakan saya lagi".
Oleh: Novri Putra
Suratan tangan membawaku merantau ke Tanah Jawa. kutinggakan orang-orang yang aku sayangi. Niat hati ingin merubah nasib ke arah yang lebih baik. Dan ingin merasakan aroma sukses di tanah rantau.
Kawan cari dunsanak cari, induk semang cari dahulu. Kutemui paman kandung di Kota Jakarta, harap paman bisa jadi induk semang yang baik hati, dan bisa menjembataniku menuju pribadi yang mandiri.
Sulit kulupakan kenangan desa. Ditambah pula kabar buruk dari si dia yang sangat aku cintai. Empat bulan di jakarta, bukan kabar rindu dan ingin bertemu kembali yang aku dapatkan, tapi kabar yang meluluhlantahkan seisi jiwa. Bak mendengar petir di siang bolong, hubungan yang sudah terjalin sejak lama, harus diakhiri tiba-tiba.
Entah ke mana risalah hati kualamatkan? Nasib terkatung-katung di tanah rantau, kekasih hati pun tidak sabar menunggu pulang.
Kucoba melupakan semua kenangan masa lalu. Kujalani berhampa hati jualan sandal dan celana ABG milik paman. Tidak lama, kalut di hati mulai pudar. Gairah datang mendengar janji-janji paman, "kalau mau menuruti kata-kata dia, suatu saat aku diberi modal usaha dan dibiarkan usaha sendiri.
Tapi janji hanyalah tinggal janji. Saat pekerjaan yang ada sudah mulai aku sukai, paman memintaku pindah ke tempat usaha istrinya, di rumah makan Padang milik istrinya.
Berbulan-bulan di perkerjaan itu, aku seperti manusia yang tak dianggap, pahit, padahal sudah berusaha bekerja dengan baik, tidak pernah melakukan hal buruk akan perintah istrinya, apalagi mencoba untuk istirahat sehari saja.
Aku memutuskan keluar dari tempat paman yang hampir dua tahun mempekerjakan aku. Aku terima uang 2 juta rupiah sebagai upah pekerja, dan aku masih ingat akan hal itu.
Kutinggalkan Paman dengan janji-janji manisnya yang bersedia membantu modal usaha. Aku pergi ke tempat kakak perempuanku. Kucoba buka konter dengan uang pinjaman si Kakak. Alhamdulillah... tidak lama modal dari Kakak sudah bisa aku kembalikan.
Tapi nasib baik tidak selamanya berpihak kepadaku. Usaha konter baru saja mulai berjalan, kontrak kios tidak bisa lagi diperpanjang.
Aku berpindah ke lokasi baru dan memulai lagi cari pelanggan baru. Karena kurang uang di kantong celana lantaran biaya pindah, aku coba kembali menemui Paman yang pernah mempekerjakan aku. Aku coba meminjam uang paman 200 ribu rupiah saja, tapi malang... bukan uang yang aku terima, tapi...
'Kamu bukan keponakan saya lagi', kata paman.
Aku pergi dengan langkah berhiba hati. Kucoba kelola usaha konter dengan modal seadanya, hingga usaha kecil itu normal kembali, walau hanya cukup untuk membeli sesuap nasi. Jalan satu-satunya, ya aku harus bersabar.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiWp2T3i0Y6-jWYBzE6MEeGSTG939bhxrL2IcZMLdpCbxya68w20az7Hp4DUyvVxNx8G72UaDYrvMw1zGLbqK2tELhSNJGadNsybXyJ2GqpWvb0vQJ4smkrIcdzkr50ivq7Hy9yjV0rhFs/s640/2017-08-28+23.53.29.png)
Sejak saat itu sampai sekarang, aku tidak mau kenal lagi sama pamanku. Tak ada sedikit pun niat menantang dia. Tulisan ini hanyalah curhatan hati dari kepoanakamu yang bodoh dan tak berguna. Mungkin sekarang paman sedang berjaya, dan tidak begitu peduli dengan tulisan si bodoh ini. Semoga suatu saat paman mengerti, bahwa nasib manusia tidak pernah bisa diterka, apalagi dihakimi. Aku bukannya dendam, tapi hati ini sudah cukup terluka dengan kata-kata yang menyedihkan.
"Kamu bukan keponakan saya lagi".
Oleh: Novri Putra