PERJODOHAN?
Ibu, nyanyian Dodoi Si Dodoi ketika aku dalam buaian, masih terngiang di telingaku hingga sekarang. Usapan jarimu di punggungku masih terasa hangat di saat mata susah aku lelapkan
Dulu... bahagia yang aku tahu hanyalah suapan nasi dari tanganmu sambil berlari-lari ke sana ke mari. Namamu kupanggil ketika dunia jahat kepadaku, dan badanku terasa gamang bangun tidur, karena Ibu tidak ada di dekatku.
Ibu... Aku ingat semuanya. Ingat jilbab merah yang Ibu pasangkan ketika aku naik ke pundak Ayah pergi mengaji. Ingat senyum haru Ibu saat aku menang lomba mengaji di musholla, dan Ibu memberi aku hadiah baju kebaya.
Ingat senang bukan kepalang uang jajan 2000 rupiah Ibu tambahkan jadi 5000 rupiah. Ibu berkata, "Nanti kalau sudah besar, Ibu harap kamu jadi anak yang membanggakan. Rancak anak Ibu!."
Aku mengiyakan, padahal aku tidak tahu seperti apa anak yang membanggakan itu?
Ibu... dari sana aku berjanji: Hanya padamu kuabdikan diriku ini, agar ceria hari-harimu selalu. Padamu pula kuserahkan langkah dan jalan hidupku, agar tiada rasa berdosa sebagai anakmu.
Tapi kini... anakmu yang dulu polos telah beranjak makin dewasa. Ia punya keinginan mulai berbeda dengan keinginanmu. Yaitu CINTA dan Perjodohan.
Ranah rantau telah merubah haluan hidupnya. Tapi tak akan mampu melupakan ranah tepian mandi.
Ibu... tak pernah kulupakan semua mimpimu saat diriku dalam pangkuanmu dulu. Hanya cintalah yang membuat diriku ini, harus berdosa akan dirimu, Ibu
Janjiku tak tinggal janji, kan kuarungi cintaku hingga kata pasti. Dialah pilihan jiwaku, dan dialah yang aku sayangi
Ibu... kujanjikan bahagiamu Ibu, agar selalu jadi buah hati. Kan kubuktikan padamu Ibu, karena aku adalah anakmu. Tapi satu kupinta darimu Ibu,
"Lupakanlah semua rencanamu!"
Ibu, nyanyian Dodoi Si Dodoi ketika aku dalam buaian, masih terngiang di telingaku hingga sekarang. Usapan jarimu di punggungku masih terasa hangat di saat mata susah aku lelapkan
Dulu... bahagia yang aku tahu hanyalah suapan nasi dari tanganmu sambil berlari-lari ke sana ke mari. Namamu kupanggil ketika dunia jahat kepadaku, dan badanku terasa gamang bangun tidur, karena Ibu tidak ada di dekatku.
Ibu... Aku ingat semuanya. Ingat jilbab merah yang Ibu pasangkan ketika aku naik ke pundak Ayah pergi mengaji. Ingat senyum haru Ibu saat aku menang lomba mengaji di musholla, dan Ibu memberi aku hadiah baju kebaya.
Ingat senang bukan kepalang uang jajan 2000 rupiah Ibu tambahkan jadi 5000 rupiah. Ibu berkata, "Nanti kalau sudah besar, Ibu harap kamu jadi anak yang membanggakan. Rancak anak Ibu!."
Aku mengiyakan, padahal aku tidak tahu seperti apa anak yang membanggakan itu?
Ibu... dari sana aku berjanji: Hanya padamu kuabdikan diriku ini, agar ceria hari-harimu selalu. Padamu pula kuserahkan langkah dan jalan hidupku, agar tiada rasa berdosa sebagai anakmu.
Tapi kini... anakmu yang dulu polos telah beranjak makin dewasa. Ia punya keinginan mulai berbeda dengan keinginanmu. Yaitu CINTA dan Perjodohan.
Ranah rantau telah merubah haluan hidupnya. Tapi tak akan mampu melupakan ranah tepian mandi.
Ibu... tak pernah kulupakan semua mimpimu saat diriku dalam pangkuanmu dulu. Hanya cintalah yang membuat diriku ini, harus berdosa akan dirimu, Ibu
Janjiku tak tinggal janji, kan kuarungi cintaku hingga kata pasti. Dialah pilihan jiwaku, dan dialah yang aku sayangi
Ibu... kujanjikan bahagiamu Ibu, agar selalu jadi buah hati. Kan kubuktikan padamu Ibu, karena aku adalah anakmu. Tapi satu kupinta darimu Ibu,
"Lupakanlah semua rencanamu!"