Skip to main content

Ranah Yang Bertikai

Lampion toko telah nyala berjajaran di pinggir jalan. Siswa-siswa simpang siur pulang dari sekolahnya, sebagian lagi dari tempat kerja. Ada yang pegang buku menunggu kereta tiba. Ada yang pakai dasi tapi pulang mengayuh sepeda. Ada juga yang bergegas jalan kaki, sambil menundukan kepala.

Tidak terlihat anak sekolah teriak ledek-ledekan sesama teman, apalagi tawuran di keramaian. Indah betul apa yang terlihat oleh mata, walau ada di pinggir kota Sendai.

Nenek berdiri dari kursi goyangnya, menyalakan lampu di semua sisi rumah. Walau usia sudah menua, penglihatan sudah mulai rabun, Nenek masih kuat beraktifitas seorang diri.

'Aku bantu, ya, Nek,' niat Dalih ingin membantu.

'Sudah, sudah. Biar Nenek saja!

Suami Nenek sudah lama meninggal dunia. Tinggallah Nenek bersama Haruka, cucu satu-satunya. Dia lebih memilih tinggal bersama Nenek, lantaran merasa tidak cocok dengan orang tuanya. Haruka bekerja di sebuah kafe di Kota Sendai. Setiap selesai mengikuti kuliah, Haruka langsung bergegas ke tempat kerjanya. Itulah yang menyebabkan ketika malam tiba, Nenek sering sendirian.

'Oh, gitu ya, Nek.'

Malam tidak begitu larut, Nenek memberi selimut tidur untuk Dalih. Lantaran mata sudah mulai mengantuk, Dalih dipersilahkan tidur di kamar depan.

Ia perhatikan sekeliling kamar yang penuh dengan pernak-pernik hello kitty, matanya tertuju ke sebuah bingkai foto yang terpampang manis di atas meja belajar. Seorang wanita berpose menunjukkan dua jarinya, mengenakan baju musim dingin, dengan baground putih menyerupai salju.

‘Haruka kah?’

Ia rebahkan badan sambil menatap foto itu. Hingga terasa tidak begitu lama, ia mendengar samar-samar suara wanita bernyanyi di kamar mandi. Suara itu mengganggu lelapnya tidurnya.

‘Apakah itu Haruka?’ Dalih berpikir.

Dinginnya pagi kian mencekam. Lelah kerena kejaran polisi masih terasa. Tidak begitu ia hiraukan suara wanita yang sedang bernyanyi itu. Kembali ia tarik selimutnya ke badan, untuk kembali tertidur pulas.

Dalih terbangun dari tidur. Menggeliat duduk dengan perlahan. Ia terkaget… ada wanita cantik berdiri di hadapannya, sambil menebarkan senyum.

‘Ohayou gozaimasu. Haruka desu.’

'Owh. Dalih desu.’

Rambut wanita itu terurai basah, dia berikan handuk dan perlengkapan mandi lainnya untuk Dalih.

‘Mandi dulu! Nanti kamu ikut aku,' kata Haruka.

Dalih loncat kegirangan dari tempat tidurnya. Mengingat masa-masa di sekolah dan di Jakarta yang tidak pernah menjadi teman bermain seorang perempuan, kecuali Nilam dan teman bercandanya anak si tukang pecel lele. itu pun sekedar bertemu di rumah dan kontrakan saja.

‘Yess, sekarang masa itu berpihak kepadaku,' seru Dalih.

'Apa kamu mau kerja di sini? Nanti Nenek dan Haruka bantu carikan pekerjaan yang cocok buat kamu. Nenek rasa tidak terlalu sulit, karena di sini banyak pabrik-pabrik yang mempekerjakan orang asing, terutama orang-orang Indonesia.’

'Mau Nek, mau sekali. Aku malu pulang ke Indonesia sekarang. Kapan bisa kerja, Nek?’

‘Nanti dikabari!’

Haruka mengajak Dalih bermain sepeda mengelilingi taman di sekitar kampusnya. Mereka duduk di ayunan sambil bercengkrama, bercerita panjang lebar tentang diri masing-masing.

Kagum akan sosok Haruka, begitu cepat dirasa Dalih. Ia pun tidak mengerti apalah sebabnya, apakah itu faktor ia yang lama kesepian? Atau mungkin, lantaran tidak pernah punya teman perempuan yang bisa diajak bermain.

‘Sampai detik ini, aku hanya bisa mendengar cerita Nenek tentang orang-orang Indonesia yang memiliki budaya bermacam ragam. Selesai kuliah, aku mau pergi ke Indonesia,’ kata Haruka.

‘Buat apa? Sekedar mengetahui kah?’ tanya Dalih.

‘Hmm. Mungkin.’

‘Ohh, apa tidak kepikiran tinggal di sana? Seperti Nenek, misalnya?' tanya Dalih.

‘Mungkin saja, jika punya suami orang Indonesia. Heee,' Haruka menjawab dengan raut cengengesan.

Setiap jeda percakapan, Dalih berpikir kenapa Haruka memilih tinggal bersama Neneknya? Apa kepingin hidup bebas seperti yang lain? Atau jangan-jangan dipaksa kawin oleh orang tuanya?

'Ahh, mungkin benar apa yang katakan Nenek, “karena tidak cocok dengan orang tuanya”.’

Ia coba menerka-nerka tentang diri Haruka. Belum sempat menemukan jawaban pasti, Haruka menghentikan ayunannya dengan dadakan.

‘Kamu Islam?’

‘Iya, Islam,’ jawab Dalih.

‘Ninja Teroris?’

Pemuda itu terhenyak dari ayunan. Mencari maksud dari pertanyaan Haruka. Apakah Islam seperti Ninja? Atau Agama Islam adalah teroris?

Sulit ia jelaskan tentang Islam kepada Haruka. Lantaran Islam yang Haruka kenal hanyalah orang-orang pakaian bercadar saja. Sulit baginya mengagung-agungkan Islam ketika banyak mata dunia memandang Islam adalah sekelompok orang yang bikin rusuh, dari faham radikal sampai terorisme.

Sebisanya, mungkin muslim salah, tapi tidak bisa dikatakan Islam salah. Bila melihat Islam sesungguhnya, maka pelajarilah kitab suci-Nya. Muslim adalah orang-orang yang menganut agama Islam itu sendiri. Setiap orang bisa saja berubah dari baik menjadi radikal, begitu juga sebaliknya. Jadi, bedakanlah apa itu muslim? dan apa itu Islam? Hanya itu yang bisa Dalih sampaikan untuk menyangkal demua tuduhan Haruka. Entah benar atau salah, ia telah mencoba untuk beropini.

Dalih maklumi apa yang jadi ocehan Haruka terhadap Islam. Karena Haruka tidak punya agama sama sekali. Wajar-wajar saja Haruka berkata seperti itu. Setiap orang punya pemikiran masing-masing. Sesama kelompok saja bisa selisih faham dan sudut pandang akan keislamannya. Apalagi Haruka yang punya agama tidak jelas itu.

Dalih juga belum bisa bicara agama lebih jauh pada Haruka. Lantaran ia sendiri belum mampu menjalankan anjuran agamanya dengan baik. Ingat sholat hanya ketika ada maunya saja. Ingat Tuhan hanya ketika kesusahan saja. Bila tiba rasa senang, lupa dengan ayat-ayat-Nya.

'Apa kamu punya Kitabnya?'

'Dulu bawa, tapi tinggal di asrama. Nanti aku cari lagi.'

Sore mulai menunjukan gelap. Mereka pulang berboncengan naik sepeda. Tak terdengar lagi perdebatan di antaran mereka. Haruka pun pergi ke tempat kerjanya. Dalih menunggu rumah bersama Nenek.

Mereka semakin akrab saja, pergi berjalan-jalan ke supermarket. Kembali pergi mengayuh sepeda, dimana hal serupa, sudah jadi kebiasaan orang-orang Jepang pada umumnya.

Dalih merasa semakin nyaman dengan adanya Haruka. Ke mana-mana berboncengan naik sepeda. Terkadang Dalih mengantarkan Haruka ke tempat kerjanya. Sepeda ia bawa pulang, menunggu sampai Haruka selesai bekerja, lalu kembali menjemput Haruka untuk kembali pulang.

Mereka menaiki mobil Hanya seperlunya saja. Bila ada tempat yang dituju agak berjauhan, mereka pergi dengan menaiki shinkansen.

Dalih mendapati pekerjaan di sebuah pabrik ramen. Dua minggu lamanya ia menunggu pekerjaan itu. Haruka memberinya hadiah sepeda baru. Agar tidak keluar banya biaya ongkos pulang pergi, tempat kerja pun tidak terlalu jauh dari rumah.

Ia tabung uang untuk melunasi janji pada keluarganya di kampung. Ia kirim uang untuk membelikan sepeda baru untuk adik bungsunya. Usaha Ayahnya pun sudah ada kemajuan. Dulu jualan beras dengan berhutang sana-sini, denga  uang kiriman Sang Ayah sudah bisa membayar kontan membeli padi.

Tapi ia masih bingung, hubungan apa yang harus ia jalani dengan Haruka, sementara mereka semakin dekat? Dibilang teman, lebih dari teman. Anggap adik kakak, rasanya mereka tidak menginginkan hal itu. Cinta mereka tidak terucap, tapi perasaan dan perhatian saling berbalasan. Ia dan Haruka sudah saling membutuhkan.

Apakah cinta mereka tidak terucap?

‘Ya.’

Dalih memilih tidak mengungkapkan perasaannya pada Haruka, begitu juga dengan si jelita itu. Mereka biarkan perasaan itu terus mengalir begitu saja. Selalu bersama tanpa prahara, sudah sama-sama merasa nyaman dengan hubungan yang ada. Saling mengerti satu sama lain.

Tapi yang namanya kebersaamaan tidak bisa diharap terus bersama. Masa kerja Dalih berakhir sudah. Dia kembali ke tepian mandi semasa kecil, bertemu keluarga yang telah lama ia tinggalkan di Ranah Agam.

Hubungan yang tidak jelas mesti ia selesaikan. Satu hari waktu tersisa, Dalih meluapkan rasa hati di jalan panjang yang dihiasi indahnya bunga sakura. Gerimis kecil seakan tidak mengizinkannya untuk pergi. Kesedihan terpancar di wajah Haruka. Dia ingin Dalih terus menemaninya.

Bak memakan buah simalakama. Dalih tidak ingin berpisah dengan Haruka. Tapi disisi lain, ia harus kembali pulang ke Indonesia.

Haruka bersandar ke punggung Dalih, menangis sesegukan tiada henti. Di sanalah Dalih mengerti akan besarnya cinta Haruka.

‘Aku janji akan menyusulmu ke Indonesia. Aku pasti datang. Kuharap itu juga menjadi keinginanmu. Maaf, tidak pernah lidahku mengatakan sayang selama kamu ada di sini. Karena aku rasa kamu pasti mengerti bagaimana aku berprilaku. Aku tidak bisa mengantarmu ke bandara. Aku tidak kuat. Pergilah! Tinggalkan aku di sini! Aishiteru. Sayounara.’

‘Sayounara.’

Dalih tangisi perpisahan itu dalam hati. Ia tinggalkan Haruka ditemani hujan gerimis. Ia pergi berkemas menuju apartemennya. Walau berat rasa kakinya untuk melangkah, perpisahan itu akan terjadi esok hari, yang entah sampai kapan mereka bisa bertemu kembali?






Popular posts from this blog

Rotan Itu Hanya Melengkung, Bukan Patah! |Adosinfo

By: DR Taktik dan siasat tidak hanya berlaku dalam politik. Tapi juga dalam hal lainnya, termasuk dalam dunia usaha, yang menggunakan bermacam cara untuk mencari keuntungan lebih. Itu hal positif selama dilakukan dengan cara yang positif pula. Tapi apa jadinya jika siasat itu dilakukan dengan cara yang tidak transfaran, penuh kecurangan. Mungkin gelagat pecundang bisa tak terlihat saat kebohongan ia lakukan. Nyalinya tak gemetaran ketika ada sesuatu hal yang diperdebatkan. Tapi bagi seorang pemenang, harus mampu membaca arah siasat buruk itu, untuk menyiapkan siasat lainnya, agar tidak merasa dirugikan. Tak perlu berargumen panjang lebar untuk menguji sebuah kebenaran. Tak perlu menggunakan kedua tangan untuk meruntuhkan kokohnya sebuah komitmen, selama hal itu masih berlaku untuk hal-hal yang positif. Satu hal yang perlu difahami: Rotan itu hanya melengkung, bukan patah!! Hanya kelapukkan yang bisa mematahkan rotan. Tunggulah rotan itu lapuk pada waktunya.

Hiduplah Seperti Kereta Berjalan | Adosinfo

Hidup akan terus berjalan, tapi banyak hal yang perlu kita ketahui bagaimana mestinya menjalani hidup semestinya? Karena yang namanya hidup tidak lepas dari ujian ataupun cobaan. Walau adakalanya hidup menerima puja dan pujian, hidup tidak lepas dari caci dan hinaan. Bergantung atas apa yang telah kita perbuat di muka bumi ini, dan bergantung bagaimana sudut pandang orang-orang yang menilai kita.  Ya… begitulah hidup, tidak semua keinginan mampu kita wujudkan, lantaran hidup ini akan ada liku dan jalan terjal. Hidup butuh inspirasi dan motivasi untuk meraih sesuatu. Tapi hidup ini terlalu terbalut angan bila hanya terinspirasi oleh kisah kesuksesan seseorang, atau termotivasi oleh omongan seseorang yang memang ahlinya sebagai motivator ulung, yang mampu merangkai kata demi kata. Kita mesti bijak menyikapi sebuah inspirasi dan motivasi. Karena cerita orang sukses akan tetap jadi cerita yang menggiurkan, bila memang mereka mampu meraih kesuksesan dalam hidup mereka. Tapi bila mere

6 Alasan Yang Membuat Anak SUPM Layak Jadi Pemimpin

Secara konstitusional maupun nonkonstitusional,  politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan. Tak sedikit di antara mereka yang haus akan kekuasaan, berlomba-lomba untuk bisa jadi pemimpin. Tak peduli asalnya dari mana, tak penting latar belakangnya apa. Karena syarat jadi calon penguasa tidak pernah mempertanyakan asalnya dari mana? Kuliah lulusan apa? Atau wawasannya apa saja? Yang penting bisa jadi penguasa, apapun caranya itu. 'Ehem.' Bermacam sudut pandang mengatakan, bahwa untuk jadi seorang pemimpin tentunya diperlukan wawasan yang luas, ulet, kompeten, bertanggung jawab, plus dukungan penuh oleh orang-orang yang akan dipimpin.  Itu bukanlah perkara yang mudah. Banyak terjadi di dunia perpolitikan, pemimpin-pemimpin yang hadir, jauh dari apa yang kita harapkan, seringkali kacang lupa dengan kulitnya. Berbeda jauh dengan anak-anak SUPM, yang tetap ingat dan mengayomi bawahannya, meski jarak umur berpuluh tahun sekalipun. Ya sudahlah! Dunia po