Dia terlahir dengan disleksia, kemampuannya untuk mengenal huruf dan angka terkadang membutuhkan waktu untuk dipahami. Setiap ada perkumpulan keluarga, dia selalu terpojokan.
Sang Ayah yang tidak mengerti kondisinya seringkali memarahi. Karena dia tidak pernah mendapatkan peringkat ataupun bintang kelas. Ayahnya memaksa menjadi seperti Kakaknya, selalu mengatakan bahwa dia adalah anak bodoh, tidak seperti Kakaknya yang sukses dalam hal karir.
Dia bukan bodoh, hanya saja cara belajarnya yang berbeda dengan yang lainnya. Dia terbiasa dengan caranya sendiri untuk memahami hal-hal baru
Lusiana berbeda... dia tidak bisa menulis dengan Bagus. Dalam menuliskan kalimat tidak jarang suka terbalik-balik. Bahkan kemampuannya berbicara tidak selancar teman-teman sebayanya.
Dunia seakan mengasingkan dengan keterbatasan yang dia miliki. Kadang dia berpikiran untuk menyerah.
Beruntung Kakak laki-laki satu-satunya sangat sayang dan perhatian kepadanya. Sang Kakak lah yang melindungi dia dari setiap amarah Ayahnya, hingga di hari ulang tahun, Sang Kakak memberinya hadiah peralatan melukis dan buku gambar.
Sang Kakak tidak lupa memberi dorongan akan dunia yang dia sukai.
'Lukiskan suasana hatimu apapun itu!'
Lusiana sangat senang dengan hadiah dari Kakaknya. Dia sering melukis hingga buku yang Kakaknya berikan hampir penuh dengan coretan gambar-gambar.
Suatu ketika Lusiana melukis sebuah shine di tembok rumahnya. Bertepatan dengan waktu yang sama, Sang Ayah juga pulang dari kantor. Mendapati Lusiana yang sedang melukis di dinding rumah, alangkah marahnya Sang Ayah dengan apa yang dia lakukan.
Lusiana si anak bodoh bercita-cita menjadi seorang pelukis seperti almarhum Ibunya. Dia ingin Ibu bangga karena melanjutkan mimpi Ibunya yang terputus karena disibukan mengurusi rumah tangga setelah menikah dengan Ayah.
Lusiana tidak jera melukis di tembok rumahnya. Sang Ayah juga tidak bisa menerima atas apa yang dia kerjakan.
Setiap Lusiana melukis di tembok rumah, dia selalu menyelipkan sebuah tulisan "Tembok Kedamaian". Seringkali Sang Ayah mendapatinya. Ayah yang baru saja pulang dari bekerja dengan kondisi yang sangat lelah, melempar semua alat lukis yang dia miliki. Bermacam omongan Ayah dia terima di saat marah.
'Bodoh, tidak berguna!'
Lusiana ketakutan dan menangis sejadi-jadinya di hadapan Ayah yang sebenarnya sangat dia cintai. Tapi Ayahnya berprilaku pergi seperti orang tanpa peduli.
Amarah ayahnya terhenti saat seorang laki-laki paruhbaya datang menghentikan kemarahan Ayahnya.
Sejenak Ayahnya terhenti memberi ocehan dan laki-laki paruhbaya itu mendekati Lusiana dalam tangisan, berusaha menenangkan Lusiana yang masih terisak sendu.
Rupanya laki-laki paruhbaya seorang teman lama Ayahnya yang sudah menjadi atasan di sebuah perusahan ternama, Om Richard, yang kebetulan datang ke rumah, lantaran sudah lama tidak bertemu dengan Ayah.
Om Richard mendekati Lusiana, mengisyaratkan agar Lusiana berhenti menangis. Sejenak Om Richard memandangi hasil coretan di dinding rumah dan bertanya kepada Ayahnya.
'Kenapa kamu memarahinya? Apa yang salah dengan dia?'
Ayah Lusiana hanya tertunduk diam, membiarkan Om Richard mengusap kepala Lusiana yang mulai berhenti menangis, walau air mata masih menetes kecil dan membasahi baju warna-warni yang sedang dia kenakan.
'Apa kamu suka melukis?' tanya Om Richard.
Lusiana menganggukan kepala, seraya menatap wajah Om Richard yang mampu membuat hatinya merasa tenang.
Keesokan harinya, seorang pria datang berkunjung ke rumah Lusiana, menawarkan Lusiana untuk melukis sesuatu yang ternyata itu utusan datang dari Om Richard.
Sang Ayah mengizinkan Lusiana pergi ditemani oleh Sang Kakak ke rumah Om Richard. Ada sedikit haru mengisi ruang hati Lusiana selain Kakaknya. Rupanya Om Richard suka dengan lukisan Lusiana, bahkan Om Richard mempercayai Lusiana untuk melukis di tembok rumahnya.
Lusiana menawarkan beberapa desain yg sudah dia miliki, Om Richard pun sangat senang dengan desain-desain yang dia buat.
Om Richard meminta Lusiana melukis di dua sudut tembok: satu tembok yang ada di ruang tamu dan satunya lagi tembok lobby kantor Om Richard.
Dia kerjakan tawaran Om Richard selama dua minggu. Tanpa merasa lelah dia selesaikan melukisi dua tembok itu. Kerja keras Lusiana terbayarkan ketika Om Richard merasa puas dengan lukisan yang dia kerjakan.
Bahagia dirasa Lusiana atas apa yang telah dia lakukan, tapi tanggapan Ayah masih biasa-biasa saja. Ayahnya membiarkan dia bebas berkreasi, tapi tetap saja bersikap seolah tiada peduli. Sampai akhirnya Lusiana memutuskan kuliah di Newcastle University, atas bantuan Om Richard secara diam-diam. Sang Ayah hanya mendengar jika Lusiana menerima bea siswa.
Bukan lah keinginan hati Lusiana untuk jauh dari Sang Ayah. Tapi karena mengingat cita-cita Ibu tercinta yang belum kesampaian, Lusiana memutuskan untuk pergi dari rumah. Sering Lusiana berkirim pesan ke Ayah agar mau berkunjung ke Newcastle bila waktu libur Ayah tiba. Tapi selalu saja Ayah memberi penolakan.
'Jika ada libur yang cukup untuk pulang, baiknya kamu saja yang pulang,' dan Lusiana berusaha memahami keadaan dengan Sang Ayah yang sedang berlaku.
Dalam waktu setahun, Lusiana hanya bisa pulang sekali saja. Memasuki tahun kedua kuliah di Newcastle University, teman-teman kampus Lusiana mulai mengetahui kemampuan jenius Lusiana dalam melukis sesuatu. Lusiana terpilih melukis salah satu dinding kampus dalam rangka ulang tahun Newcastle University.
Orang-orang berdatangan dari berbagai penjuru kota, berkunjung melihat stan pameran hasil karya-karya mahasiswa.
Tak sedikit mata tertuju ke sebuah lukisan di tembok kampus bertuliskan,
"TEMBOK KEDAMAIAN".
Pengunjung tidak lupa memotret lukisan megah TEMBOK SI ANAK DISLEKSIA, dan mempostingnya di akun media sosial mereka.
Tak diduga, postingan akun sosial media orang-orang membawa keberuntungan untuk Lusiana. Bermacam tawaran melukis silih berganti berdatangan. Bahkan kampus University luar seperti Paris, Australia, Singapura mengundang Lusiana untuk bisa terlibat di setiap ajang lukisan, serta berbagi pengalaman atas keberhasilan Lusiana menjadi seorang pelukis.
Si anak disleksia telah mendunia, tapi di hati tetap saja menaruh sedih, lantaran tidak mendapat perhatian dari Sang Ayah tercinta. Ayahnya seakan-akan tidak mempercayai atas apa yang telah Lusiana raih.
Tiga hari menjelang wisuda, Sang Ayah bersama Kakak datang ke Newcastle University, di sana juga hadir Om Richard yang datang untuk mendampingi anak tercinta yang juga kuliah di universitas yang sama.
Sambil menunggu hari pasang toga, Ayah dan Kakak berjalan-jalan di sekitar Kampus Newcastle University. Di sebuah sudut tembok, dikerumuni para orang tua yang melihat sebuah pemandangan indah yang terpampang dengan megahnya.
Sang Ayah mendekatkan diri ke arah tembok, dan terheran-heran melihat lukisan megah nan menakjubkan itu. Mata ayah berhenti ketika melihat sebuah tulisan "TEMBOK KEDAMAIAN" yang di bawahnya tertuliskan nama dan tanda tangan QL Lusiana.
Di sana Ayah menangis haru, menyadari bahwa si Anak Bodoh dan anak tak berguna, telah berubah jadi anak yang mendunia.
Sang Ayah yang tidak mengerti kondisinya seringkali memarahi. Karena dia tidak pernah mendapatkan peringkat ataupun bintang kelas. Ayahnya memaksa menjadi seperti Kakaknya, selalu mengatakan bahwa dia adalah anak bodoh, tidak seperti Kakaknya yang sukses dalam hal karir.
Dia bukan bodoh, hanya saja cara belajarnya yang berbeda dengan yang lainnya. Dia terbiasa dengan caranya sendiri untuk memahami hal-hal baru
Lusiana berbeda... dia tidak bisa menulis dengan Bagus. Dalam menuliskan kalimat tidak jarang suka terbalik-balik. Bahkan kemampuannya berbicara tidak selancar teman-teman sebayanya.
Dunia seakan mengasingkan dengan keterbatasan yang dia miliki. Kadang dia berpikiran untuk menyerah.
Beruntung Kakak laki-laki satu-satunya sangat sayang dan perhatian kepadanya. Sang Kakak lah yang melindungi dia dari setiap amarah Ayahnya, hingga di hari ulang tahun, Sang Kakak memberinya hadiah peralatan melukis dan buku gambar.
Sang Kakak tidak lupa memberi dorongan akan dunia yang dia sukai.
'Lukiskan suasana hatimu apapun itu!'
Lusiana sangat senang dengan hadiah dari Kakaknya. Dia sering melukis hingga buku yang Kakaknya berikan hampir penuh dengan coretan gambar-gambar.
Suatu ketika Lusiana melukis sebuah shine di tembok rumahnya. Bertepatan dengan waktu yang sama, Sang Ayah juga pulang dari kantor. Mendapati Lusiana yang sedang melukis di dinding rumah, alangkah marahnya Sang Ayah dengan apa yang dia lakukan.
Lusiana si anak bodoh bercita-cita menjadi seorang pelukis seperti almarhum Ibunya. Dia ingin Ibu bangga karena melanjutkan mimpi Ibunya yang terputus karena disibukan mengurusi rumah tangga setelah menikah dengan Ayah.
Lusiana tidak jera melukis di tembok rumahnya. Sang Ayah juga tidak bisa menerima atas apa yang dia kerjakan.
Setiap Lusiana melukis di tembok rumah, dia selalu menyelipkan sebuah tulisan "Tembok Kedamaian". Seringkali Sang Ayah mendapatinya. Ayah yang baru saja pulang dari bekerja dengan kondisi yang sangat lelah, melempar semua alat lukis yang dia miliki. Bermacam omongan Ayah dia terima di saat marah.
'Bodoh, tidak berguna!'
Lusiana ketakutan dan menangis sejadi-jadinya di hadapan Ayah yang sebenarnya sangat dia cintai. Tapi Ayahnya berprilaku pergi seperti orang tanpa peduli.
Amarah ayahnya terhenti saat seorang laki-laki paruhbaya datang menghentikan kemarahan Ayahnya.
Sejenak Ayahnya terhenti memberi ocehan dan laki-laki paruhbaya itu mendekati Lusiana dalam tangisan, berusaha menenangkan Lusiana yang masih terisak sendu.
Rupanya laki-laki paruhbaya seorang teman lama Ayahnya yang sudah menjadi atasan di sebuah perusahan ternama, Om Richard, yang kebetulan datang ke rumah, lantaran sudah lama tidak bertemu dengan Ayah.
Om Richard mendekati Lusiana, mengisyaratkan agar Lusiana berhenti menangis. Sejenak Om Richard memandangi hasil coretan di dinding rumah dan bertanya kepada Ayahnya.
'Kenapa kamu memarahinya? Apa yang salah dengan dia?'
Ayah Lusiana hanya tertunduk diam, membiarkan Om Richard mengusap kepala Lusiana yang mulai berhenti menangis, walau air mata masih menetes kecil dan membasahi baju warna-warni yang sedang dia kenakan.
'Apa kamu suka melukis?' tanya Om Richard.
Lusiana menganggukan kepala, seraya menatap wajah Om Richard yang mampu membuat hatinya merasa tenang.
Keesokan harinya, seorang pria datang berkunjung ke rumah Lusiana, menawarkan Lusiana untuk melukis sesuatu yang ternyata itu utusan datang dari Om Richard.
Sang Ayah mengizinkan Lusiana pergi ditemani oleh Sang Kakak ke rumah Om Richard. Ada sedikit haru mengisi ruang hati Lusiana selain Kakaknya. Rupanya Om Richard suka dengan lukisan Lusiana, bahkan Om Richard mempercayai Lusiana untuk melukis di tembok rumahnya.
Lusiana menawarkan beberapa desain yg sudah dia miliki, Om Richard pun sangat senang dengan desain-desain yang dia buat.
Om Richard meminta Lusiana melukis di dua sudut tembok: satu tembok yang ada di ruang tamu dan satunya lagi tembok lobby kantor Om Richard.
Dia kerjakan tawaran Om Richard selama dua minggu. Tanpa merasa lelah dia selesaikan melukisi dua tembok itu. Kerja keras Lusiana terbayarkan ketika Om Richard merasa puas dengan lukisan yang dia kerjakan.
Bahagia dirasa Lusiana atas apa yang telah dia lakukan, tapi tanggapan Ayah masih biasa-biasa saja. Ayahnya membiarkan dia bebas berkreasi, tapi tetap saja bersikap seolah tiada peduli. Sampai akhirnya Lusiana memutuskan kuliah di Newcastle University, atas bantuan Om Richard secara diam-diam. Sang Ayah hanya mendengar jika Lusiana menerima bea siswa.
Bukan lah keinginan hati Lusiana untuk jauh dari Sang Ayah. Tapi karena mengingat cita-cita Ibu tercinta yang belum kesampaian, Lusiana memutuskan untuk pergi dari rumah. Sering Lusiana berkirim pesan ke Ayah agar mau berkunjung ke Newcastle bila waktu libur Ayah tiba. Tapi selalu saja Ayah memberi penolakan.
'Jika ada libur yang cukup untuk pulang, baiknya kamu saja yang pulang,' dan Lusiana berusaha memahami keadaan dengan Sang Ayah yang sedang berlaku.
Dalam waktu setahun, Lusiana hanya bisa pulang sekali saja. Memasuki tahun kedua kuliah di Newcastle University, teman-teman kampus Lusiana mulai mengetahui kemampuan jenius Lusiana dalam melukis sesuatu. Lusiana terpilih melukis salah satu dinding kampus dalam rangka ulang tahun Newcastle University.
Orang-orang berdatangan dari berbagai penjuru kota, berkunjung melihat stan pameran hasil karya-karya mahasiswa.
Tak sedikit mata tertuju ke sebuah lukisan di tembok kampus bertuliskan,
"TEMBOK KEDAMAIAN".
Pengunjung tidak lupa memotret lukisan megah TEMBOK SI ANAK DISLEKSIA, dan mempostingnya di akun media sosial mereka.
Tak diduga, postingan akun sosial media orang-orang membawa keberuntungan untuk Lusiana. Bermacam tawaran melukis silih berganti berdatangan. Bahkan kampus University luar seperti Paris, Australia, Singapura mengundang Lusiana untuk bisa terlibat di setiap ajang lukisan, serta berbagi pengalaman atas keberhasilan Lusiana menjadi seorang pelukis.
Si anak disleksia telah mendunia, tapi di hati tetap saja menaruh sedih, lantaran tidak mendapat perhatian dari Sang Ayah tercinta. Ayahnya seakan-akan tidak mempercayai atas apa yang telah Lusiana raih.
Tiga hari menjelang wisuda, Sang Ayah bersama Kakak datang ke Newcastle University, di sana juga hadir Om Richard yang datang untuk mendampingi anak tercinta yang juga kuliah di universitas yang sama.
Sambil menunggu hari pasang toga, Ayah dan Kakak berjalan-jalan di sekitar Kampus Newcastle University. Di sebuah sudut tembok, dikerumuni para orang tua yang melihat sebuah pemandangan indah yang terpampang dengan megahnya.
Sang Ayah mendekatkan diri ke arah tembok, dan terheran-heran melihat lukisan megah nan menakjubkan itu. Mata ayah berhenti ketika melihat sebuah tulisan "TEMBOK KEDAMAIAN" yang di bawahnya tertuliskan nama dan tanda tangan QL Lusiana.
Di sana Ayah menangis haru, menyadari bahwa si Anak Bodoh dan anak tak berguna, telah berubah jadi anak yang mendunia.