Perasaan yang dulu hanya sebatas rasa kagum semata, berganti dengan perasaan lain, dimana aku sendiri tidak sanggup untuk mengatakan, apa yang disebut dengan CINTA.
Urusan hati, bukannya tidak tertarik berlaku seperti teman-teman yang lain. Hanya saja tidak sefaham jika hubungan diawali dengan terpaksa, apalagi sebatas coba-coba.
Cinta harus berada pada kodratnya: mengalir bagaikan air dari pegunungan, menyisir sukma seperti udara menerbangkan lara, tumbuh bagaikan benih di musim semi, mekar seperti bunga di jambangan, hingga melahirkan sebuah kekuatan dari Rabb Yang Maha Suci, yakni kemurnian cinta nan sejati.
Cinta bukanlah sekedar penghias kekosongan hati, melainkan cambuk bagi hati yang terasa kosong.
Cinta adalah sebuah kekuatan yang mampu mengolah kayu menjadi kertas, melebur besi menjadi pedang,' itu kata Sang Pujangga. Namun bagiku, ‘Cinta dalah pengabdian jiwa terhadap orang yang kita cintai. Jiwa yang membawa hikmah di setiap kali kita mengingatnya, hingga mampu memupuk lunglai jadi gelora.’
Cinta adalah pengabdian jiwa menuju hal-hal yang lebih bermakna. Menghalau syahwat dalam istighfar, membakar khilaf menjadi insyaf, menuturkan kata ke dalam kalimat tauhid.
QL Lusiana & Ibu |
Cintaku bak sulapan awan jadi pelangi. Karena rasa itu datang secara tiba-tiba, dan tak pernah terpikir hadirnya ke relung hati. Aku pun jadi petualang cinta sebenar cinta.
Setelah aku mengenal kedua orang tuanya, tiga minggu berturut-turut, kuhabiskan waktu liburan Minggu di rumahnya. Jika ingin petik buahnya, maka pagarilah dulu batangnya. Jika mau dekat dengan anaknya, maka dekatilah dulu keluarganya.
Minggu pertama di rumahnya, kucoba upayakan dengan tingkah dan berprilaku. Kugendong-gendong Dedek, adik laki-lakinya, agar melihatku seperti wanita keibu-ibuan, atau calon ibu yang penyayang untuk anak-anaknya kelak. Hayalanku jadi gila, padahal bathinku belum siap untuk menikah.
Sesekali kuajak Ibunya bercanda gurau, agar terkesan calon menantu yang akur-akuran dengan calon mertuanya. Hayalanku semakin gila, padahal ia belum tentu mau menerimaku.
Minggu kedua, aku kembali ke rumahnya. Tapi ia pergi jalan dengan Nilam teman sekelasku ke Kota Bandung. Hayalan tingkat tinggi berganti dengan pahitnya GIGIT JARI.
Minggu ketiga, lagi-lagi kudatangi rumahnya. Tapi Nilam juga nongol di rumah itu.
Ia dan Nilam duduk berduaan di depan tv. Suap-suapan kacang garuda, suap-suapan roti oreo. Sementara aku dan Dedek suap-suapan bubur BALITA di kursi tamu.
Ia dan Nilam cubit-cubitan pipi, cubit-cubitan pinggang, cubit-cubitan perut, mereka larut dalam kemesraan. Sementara Aku dan Dedek cubit-cubitan puser, Dedek juga ikut tertawa dalam kegelian.
Usai cubit-cubitan, mereka main gendong-gendongan di ruang tamu. Aku juga tak mau kalah, kugendong-gendong Dedek sampai ke atas kepalaku, Dedek mengakak dalam keceriaan.
Usai gendong-gendongan, mereka saling rangkul dalam kehangatan, dan kepalaku juga tak kalah hangat ketika itu. Rasa hangat di kepalaku berpindah ke sekujur badan.
‘Eee, tak taunya, Dedek kencing di kepalaku.’
Dedek tertawa kegirangan, ia dan Nilam juga terus dalam kemesraan. Sedangkan aku seperti orang TOLOL di rumah itu.
Hingga kusadari, akan perasaannya yang tak pernah tertuju kepadaku. Sadar ketika cinta tak harus memiliki, aku mengalah demi Nilam yang lebih jadi pilihannya. Aku bertahan dengan rasa yang aku pendami, agar tidak bertukar dengan perasaan-perasaan lainnya. Perasaan yang bisa membuatku larut dalam kekalahan. Perasaan yang membuat cemburu Nilam jadi kebencian. Dan perasaan yang bisa saja merusak persahabatanku dengan Nilam. Sakit… tapi apa daya hendak dikata,
'Aku bukanlah pilihanmu'