Skip to main content

Mau Ga Adu Renang Dulu?| Adosinfo

Agak canggung pemuda itu pertama kali menghadapai anak-anak Universitas Andalas. Jarak usia mereka juga tidak begitu jauh. Atas inisiatif teman satu kosnya, Alwis, ia diminta jadi instruktur Bahasa Jepang di universitas ternama itu, walau hanya enam bulan saja.

Sebagian mahasiswa semester 7 jurusan kimia akan mengambil program beasiswa S2 ke Kota Tokyo. Sudah barang tentu dibutuhkan pengenalan budaya negeri orang, termasuk dasar tata bahasanya untuk modal komunikasi.

Bayaran atas jasa Dalih tidaklah mahal untuk mengajar kelompok itu. Hanya Rp 50000 selama dua jam penuh. Baginya, seorang guru les Sekolah Menengah Atas, bisa berbagi ilmu dengan level mahasiswa adalah sebuah pengalaman yang tidak perlu dinilai dengan uang.

Hanya materi memperkenalkan diri yang ia sampaikan di hari pertama ia mengajar. Dilihatnya seorang peserta perempuan duduk dengan santai sambil menggoyang-goyangkan kaki di tempat duduknya. Ia tidak hanya menaruh buku pelajaran di meja belajarnya, tapi juga menaruh botol minuman dan sebungkus roti yang ia makan ketika Dalih berbicara.

Hingga sepuluh menit berlalu, perempuan itu masih saja begitu. Ditambah dengan muka cengar-cengir tak karuan, cubit-cubitan dengan teman yang duduk di depannya.

Dalih berpikir, 'Ini anak tidak diajarkan etika oleh orang tuanya? Apa memang tidak mau peduli dengan etika?’

‘Maaf, nama kamu siapa?’ tanya Dalih sambil menghampiri perempuan itu.

Perempuan itu terkaget, refleks ia menjawab, ‘Putri, Pak. Putri Galamai,’ dan ia menarik tangannya yang tadi mau mencubit telinga teman yang ada di depannya.

‘Galamai? Orang Payakumbuhkah?'

'Iya, Pak. Kedua orang tuaku dari sana. Tapi aku dari lahir sudah di Padang,' jawab Putri Galamai sambil senyum-senyum tak menentu. Entah apalah penyebabnya, ia seperti tidak menghargai Dalih yang jadi instrukturnya. Mungkin yang ada di pikiran gadis itu, ada seorang calon Instruktur Bahasa Jepang baru, masih muda, tampan pula.

'Bisa… makan rotinya ditunda dulu!' Perintah Dalih.

Selonongan Putri menjawab, ‘Laperr,’ pasang muka cuek, dan ia tidak pedulikan Dalih yang sedang kesal.

'Ya, sudah, tak apa.’ Ia palingkan muka ke peserta lain. ‘Dengarkan untuk semua. Sebagai awal pertemuan kita, saya beri tahu, bahwa panggilan  kepada  Guru Bahasa Jepang itu adalah “Sensei”. Jadi mulai hari ini, panggil saya sensei. Siap?'

'Siaaaaap.'

Dalih jadi salah tingkah dengan ulah Putri yang seperti tadi. Ia tinggalkan ruangan kelas sementara waktu, pergi menuju toilet bagian belakang kelas. Ia berdiri di depan kaca yang ada di toilet. Ia pegang pipi kirinya.

‘Ohw, mukaku benar-benar tidak ada tampang gurunya. Apa aku terlalu muda untuk jadi seorang guru?’ pikirnya.

Mungkin disebabkan cara berpakaian Dalih seperti anak alay yang mau nonton konser Band jamrud. Rambut masih gondrong, mengenakan baju kaos dan celana jeans yang ada robekan di bagian atas lututnya. Ia masih terbawa-bawa dengan cara berpakain anak muda Negeri Sakura. Bagaimana mungkin ia dianggap sebagai seorang instruktur?

Dalih berpikir untuk merubah cara ia berpenampilan. Rambut gondrong dipangkas dengan rapi, baju kaos dan celana jeans diganti pakaian formal, lengkap dengan sepatu pantofelnya. Ia berjalan-jalan ke Plaza Andalas sepulang dari kuliah di Universitas Eka Sakti, sambil mencari-cari pakaian formal itu. Ia lihat dari satu toko ke toko lainnya, dari satu koleksi ke koleksi lainnya. Cukup lama berjalan ke sana kemari, pakaian itu akhirnya ia temukan juga.

Sampai di kamar kos yang tidak terlalu jauh dari Plaza Andalas, ia coba kembali mengenakan pakaian baru itu. Ia berdiri di depan kaca, bergaya putar badan ke kiri, putar badan ke kanan.

'Ahaai, ini baru namanya sensei,' serunya, dan tidak lupa mengelus-elus rambut sambil berkata, ‘Aku tak kalah oke dibandingkan patung-patung di toko tadi.'
***

Masuklah ia mengajar dengan baju barunya itu. Mengkilat sekali sepatu pantofel yang ia pakai. Entah sudah disemir sampai berapa kali. Seisi ruang kelas tertuju melihatnya yang sedang menuju tempat duduknya. Ia ayunkan kaki dengan percaya diri. Pasang muka serius seperti guru-guru pada umumnya. Berharap semua mahasiswa menghormatinya, terutama Putri Galamai yang suka cengengesan tadi.

‘Konnichiwa!’ sapa Dalih.

‘Konnichiwaaaaa.’

Salam pembuka “selamat siang” begitu antusias dari semua mahasiswa di ruangan. Sepertinya mereka mulai menaruh respect kepada Dalih. Ia pun merasa sudah sangat pantas menjadi seorang instruktur. Tidak lupa berlagak orang fahaman, dengan melipatkan tangan kiri ke bagian badan, dan tangan kanan menopang bagian dagu.
Ia perintahkan mahasiswa yang duduk di kursi bagian belakang untuk pindah ke kursi bagian depan. Mereka turuti instruksi Dalih, tapi apa tanggapan Putri Galamai?

‘Sei, hari ini Sensei mirip sales rokok, lho. Mendingan baju yang kemaren, lebih keren, tau? Itu baju belum ditrika, lagi. Ihik ihik ihik.’

Seisi ruang kelas ikut tertawa terbahak-bahak. Dalih hanya bisa geleng-geleng kepala sambil mengaruk-garuk kepala yang tidak gatal. Ia seakan mau melempar Putri Galamai dengan pulpen yang ada di tangannya. Berdehem sambil menelan ludah memperhatikan Putri Galamai yang mengakak kencang.

Ia tahan amarah dengan berpura-pura sibuk membolak-balikkan buku pelajaran yang ia pegang. Itu, untuk menghilangkan perasaan malu bercampur kesal yang ia rasakan. Agar tidak meluapkan amarah yang ada pada Putri Galamai.

‘Awas! Lihat saja nanti,’ ancaman Dalih dalam hati.

Sedang ia difokusksn menyampaikan materi pelajaran, lagi-lagi Putri Galamai mengulang kebiasaannya: buku pelajaran dikeluarkan dari dalam tasnya, menaruh botol minuman dan sebungkus roti di atas meja belajarnya. Kosentrasi Dalih jadi hilang, kelas ia bubarkan.

‘Materi hari ini, cukup sampai di sini. Kalian boleh pulang, kecuali Putri… tetap duduk di tempat!’

Ruang kelas menjadi sepi, Dalih menatap Putri Galamai dengan wajah kesal. Putri Galamai membalas tatapannya dengan muka cuek, sambil mengunyah sepotong roti yang ada di tangannya.

Ia hampiri Putri Galamai ke tempat duduknya, bermaksud menasehati Putri. Ada juga rasa takut di wajah gadis itu. Ia menundukkan kepala dengan mencoret-coret buku tulisnya dengan gambar yang tidak beraturan. Tapi?

‘Maaf ya, Sei. Jangan marah, ya! Aku lagi tidak nafsu makan, makanya bawa roti ke mana-mana.’

Dalih tidak peduli dengan apa pun yang jadi kilah Putri. Terus ia melotot ke muka Putri. Jari tangan Putri Galamai mulai berkeringat dingin. Ia seperti orang kebingungan. Tapi entah kenapa, maksud hati yang tadinya ingin memarahi Putri, jadi berubah seketika.

‘Tidak, saya tidak marah. Cuma mau tau nomor hp kamu saja,’ kata Dalih.

‘Ohh, berapa nomor, Sensei? Biar aku yang telpon. Sensei tak punya pulsa, kan?' Banyak lagak lagi perempuan itu.

‘Kosong lapan lima dua, enam tiga sembilan satu……’

‘Aku coba miscall, ya!’

Setelah nomor hp Putri tersimpan di hp-nya, Putri pergi meninggalkan ruang kelas. Tertinggallah aroma parfumnya yang menyengat wangi. Keinginan mengenal Putri lebih dekat datang saat itu juga.

Dalih berjalan ke depan meja resepsionis. Ia perhatikan Putri menuju mobil Bapaknya yang sudah menunggu di luar gedung. Mobil itu melaju dengan perlahan. Diiringi lambaian tangan Putri untuk teman-temannya yang juga menunggu jemputan. Hingga kaca pintu mobil ia tutupi, ia pun menghilang karena kejauhan.
Dalam diam Dalih berpikir, ‘Apakah aku mulai terkesima dengan Putri? Apakah aku kagum dengan kepolosannya? Apakah Putri perempuan yang akan mengisi kekosongan hatiku? Atau jangan-jangan, ini hanyalah perasaan lelaki si hidung belang saja? Ahh, kacau.’

Menjelang tidur malam, Dalih kembali mengingat Putri Galamai. Senyum-senyum sendiri di tempat tidurnya, bingung-bingung sendiri dengan lamunannya. Ingin rasanya malam cepat berlalu, agar kembali mengajar di kelas Putri, bertemu dengan Putri. Memastikan perasaan apa yang sedang ia alami?

Ia ambil hp yang terselip di sela-sela bantal gulingnya. Berpikir antara menyapa Putri dengan SMS atau tidak? Dari ketikan “Apa kabar”, berganti “Selamat malam”, berganti lagi “Hai, Putri, lagi ngapain?”. Tapi tidak satu pun ketikan tulisan SMS itu terkirimkan. Semua hilang ditelan tombol remove hp-nya, lantaran dihalang-halangi oleh perasaan takut. Takut… Putri akan bercerita pada teman-teman di kelasnya. Ujung-ujungnya, hanya malu yang ia dapatkan. Hingga ia tertidur dalam lama berpikir.

Hp di tangan berpindah ke sela-sela leher. Terbangun di azan subuh, dan bersiap pergi ke kampus Ekasakti untuk kuliah. Tak fokus otak Dalih memperhatikan materi yang disampaikan oleh dosennya. Yang teringat hanyalah Putri Galamai, si wanita aneh berlesung pipi, yang mulai mengusik hari-harinya.

Setelah jam kuliah selesai, Dalih tidak sabar kembali ke Kampus Andalas. Makan siang pun sampai ia lupakan. Sangat ingin ia bertemu Putri Galamai, sambil mengajar seperti biasa.
***

Semua Mahasiswa sudah menunggunya di ruang kelasnya. Dalih masuk mengucapkan salam seperti biasa. Kemudian menyampaikan materi pelajaran selama lima belas menit. Lalu, meminta mereka mengerjakan latihan halaman sekian.
Meski lagi-lagi sambil makan roti, Putri tetap mengerjakan tugasnya dengan serius. Terlihat dari kepala yang dia tundukkan sambil membolak-balikkan lembaran buku materi dari Dalih. Di waktu bersamaan, Dalih memperhatikan wajah Putri dari tempat duduknya. Menarik sekali perempuan itu dilihatnya.

'Ini perempuan boleh juga,’ pikirnya.

Satu persatu, mahasiswa mengumpulkan tugasnya di atas meja Dalih. Ia persilakan semua mahasiswa meninggalkan ruangan kelas. Tertinggallah Putri seorang diri. Entah sengaja atau tidak, Putri adalah mahasiswa terakhir yang menaruh tugasnya ke atas meja Dalih.

‘Putri. Boleh, ya, Sensei SMS atau menelepon kamu nanti malam?’

‘Boleh Sei. Ngapain juga Sensei tanya nomor hp-ku kalau bukan untuk ditelepon? Sensei belum punya pulsa lagi, ya?’

‘He hee. Makasih, ya,’ dan Putri mengganggukkan kepalanya.

Ah, mungkin perasaan terhadap Putri hanyalah sebatas rasa suka semata. Perasaan itu membuat Dalih tidak lagi berpikir lama mengirim SMS kepada Putri. Syukur-syukur diterima. Tidak pun, tidak ada hal yang patut dikecewakan dengan berlebihan.

‘Putri. Sensei bingung. Sepertinya Sensei mulai suka sama kamu. Bagaimana dengan kamu?’

Ia balas SMS dari Dalih, 'Nanti aku jawab jam 12 malam, ya. Jangan tanya alasannya kenapa? Sensei tunggu, saja. Oke!'

‘Oke,’ jawab Dalih.

Menunggu jawaban Putri dari magrib sampai pukul dua belas malam, rasa-rasa menunggu cabang bayi mau lahir. Walau hanya sebatas rasa suka semata, tapi perasaan deg-deg-an di hati juga tidak kalah hebatnya.

Agar waktu terasa cepat berlalu, Dalih pergi nongkrong ke pinggir jalan. Sebentar saja, balik lagi ke kamar kosnya. Balik lagi nongkrong ke pinggir jalan. Sampai mobil di jalanan satu persatu hilang di telan malam.

Tepat pukul dua belas malam yang dinanti, tak satu pun ada SMS Putri masuk ke hp-Dalih. Yang ada hanyalah SMS tipu-tipu dari nomor yang tidak dikenal, memberi tahu kalau Dalih dapat hadiah 100 juta. Dalih dipersilakan menghubungi nomor yang tertera di SMS itu. Tapi, Tidak pula tergiur anak muda itu dengan hadiah 100 juta. Fokusnya tetap menunggu SMS dari Putri. Rupanya telat dua menit saja, Putri benar-benar menepati janjinya untuk Dalih.

‘Putri juga suka sama Sensei. Tapi Putri bingung alasan sukanya apa? Tapi tak penting juga alasan suka ya, Sensei? Biar lebih kenal, kita harus adu kecepatan renang dulu.’

‘Renang? Berenang di mana?’ tanya Dalih,' dan buat apa?' Lanjutnya.

‘Besok pagi kita berenang di Gor Haji Agus Salim,’ jawab Putri.

‘Oke, kalau Sei yang menang bagaimana? Tanya Dalih.

‘Ya, kita jadian.'

‘Kalau Putri yang menang?’ tanya Dalih lagi.

‘Kita tetap jadian. He he he,’ tulis Putri.

‘Ah, sama saja.’

‘Gini... kalau Sensei yang menang, aku akan bilang “I love You” sama Sensei. Gitu juga sebaliknya. Bagaimana?’

‘Oke,' tutup Dalih.

Dan Dalih kegirangan sambil berkata, ‘Mantapp!’ Putri tidak tahu kalau Dalih sudah terbiasa berenang di lautan. Karena masuk sekolah pelayaran dulu, salah satu ujian yang harus diikuti adalah uji renang. Dalih , meyakini ia akan jadi pemenang di perlombaan itu.

Ql Lusiana & Teman




Sesuai waktu yang sudah disepakati, Putri terlebih dulu datang di Gor Haji Agus Salim. Ia sudah bersiap dengan pakaian renang lengkap. Tak kalah seksi dibandingkan Elsa Manora Nasution pada zamannya.

‘Wow, kayak atlet renang,’ seru Dalih.

‘Iya, dong,’ jawab Putri, lalu membentak Dalih, ‘Ayoo, cepatan ganti bajunya.’ Sambil lebih menantang Dalih, ‘Takut kalah, ya?’

‘Heheee.’ Hanya begitu jawab Dalih.

Pakaian renang mereka benar-benar tidak sepadan. Putri persis seperti perenang profesional, sementara Dalih hanya mengenakan celana pendek dengan gambar Jam Gadang di bagian kaki celananya. Belinya juga di pasar kaki lima. Ingat terikkan uda-uda yang jualan di pinggir jalan pasar, ‘Tiga sepuluh ribu, tiga sepuluh ribu,’ dan Mak-Mak juga berebutan kepingin beli buat anaknya. Diguyur hujan sedikit saja, sudah kedodoran lima centi.

Adu kecepatan renang tidak seperti atlet dengan atlet, melainkan seperti atlet dengan nelayan yang sedang menarik tali jangkar di pinggir laut. Sedang kesusahan mengencangkan tali celananya, Putri teriak dari kolam renang, ‘Ayoooooo!’

Jebuuuuuur.

Benar saja… celana Dalih sampai kedodoran lima centi. Ia betulkan celana yang kedodoran sambil mengayunkan tangan berpegangan di bibir bak kolam renang.  Ia ikuti mau Putri Galamai yang walau ia tahu akan mampu mengalahkan Putri Galamai. Ia dengarkan Putri Galamai yang membuat aturan lomba renang itu sendiri. Renang dilaksanakan dua kali putaran. Tidak boleh berlaku curang seperti tarik kaki dari belakang.

Mereka naik berbarengan ke atas bak kolam renang. Berdiri sejajar di bibir bak kolam renang. Setelah hitungan ke tiga, mereka meloncat berbarengan, dan adu renang itu dimulai.

Dalih berpura-pura kalah di putaran pertama. Putri terlihat bersemangat ingin meninggalkan Dalih sejauh mungkin. Dalih mengikuti Putri dari belakang. Hingga putaran pertama selesai, Dalih masih jauh tertinggal dari Putri.

Menjelang putaranan kedua berakhir, Dalih mempercepat laju renangnya. Mengejar Putri yang cukup jauh meninggalkannya. Ketika Dalih mampu menyalip Putri, sejenak ia berhenti mengganggu Putri yang ngotot mau mencapai garis finish. Dalih meledek Putri dengan mengeluarkan lidah, ‘Wekkkk,’ dan Dalih memenangkan perlombaan itu.

Mereka tertawa kegirangan. Bercanda main siram-siraman air. Nafas mereka ngos-ngosan. Putri menarik nafas dalam-dalam. Dalih mengingatkan Putri tentang SMS yang telah ia kirim sebelumnya (siapa yang kalah, ia yang akan bilang “i love you” secara langsung).

‘Hayoooo, yang kalah mau ngapain? Jangan pura-pura lupa!’ kata Dalih.

‘Ah, Males. Sensei kan laki-laki, Sensei dong yang bilang,’ kata Putri.’

‘Putri curang,’ kata Dalih.

Perdebatan mereka terhenti sejenak. Putri mengobok-obok air sendirian. Sepintas Dalih melihat keceriaan anak-anak kecil berenang ditemani orang tuanya di kolam renang yang ada di sebelahnya. Tiba-tiba Dalih dikagetkan dengan terikan Putri ke telinganya, ‘Ai laff yuuu,’ disertakan pula cipratan air ke muka Dalih.
Putri menghindar dari kejaran Dalih, menyelam menuju lantai dasar kolam renang. Dalih mengejar Putri ke arah sana. Ia tarik tangan Putri dari kejaran itu. Putri berusaha menghindari pegangan Dalih. Tapi Rangkulan Dalih terlalu kuat untuk Putri. Wanita cantik itu hanya bisa berpasrah diri, dan mereka pun resmi mengikat hati di hari itu.





Popular posts from this blog

Rotan Itu Hanya Melengkung, Bukan Patah! |Adosinfo

By: DR Taktik dan siasat tidak hanya berlaku dalam politik. Tapi juga dalam hal lainnya, termasuk dalam dunia usaha, yang menggunakan bermacam cara untuk mencari keuntungan lebih. Itu hal positif selama dilakukan dengan cara yang positif pula. Tapi apa jadinya jika siasat itu dilakukan dengan cara yang tidak transfaran, penuh kecurangan. Mungkin gelagat pecundang bisa tak terlihat saat kebohongan ia lakukan. Nyalinya tak gemetaran ketika ada sesuatu hal yang diperdebatkan. Tapi bagi seorang pemenang, harus mampu membaca arah siasat buruk itu, untuk menyiapkan siasat lainnya, agar tidak merasa dirugikan. Tak perlu berargumen panjang lebar untuk menguji sebuah kebenaran. Tak perlu menggunakan kedua tangan untuk meruntuhkan kokohnya sebuah komitmen, selama hal itu masih berlaku untuk hal-hal yang positif. Satu hal yang perlu difahami: Rotan itu hanya melengkung, bukan patah!! Hanya kelapukkan yang bisa mematahkan rotan. Tunggulah rotan itu lapuk pada waktunya.

Hiduplah Seperti Kereta Berjalan | Adosinfo

Hidup akan terus berjalan, tapi banyak hal yang perlu kita ketahui bagaimana mestinya menjalani hidup semestinya? Karena yang namanya hidup tidak lepas dari ujian ataupun cobaan. Walau adakalanya hidup menerima puja dan pujian, hidup tidak lepas dari caci dan hinaan. Bergantung atas apa yang telah kita perbuat di muka bumi ini, dan bergantung bagaimana sudut pandang orang-orang yang menilai kita.  Ya… begitulah hidup, tidak semua keinginan mampu kita wujudkan, lantaran hidup ini akan ada liku dan jalan terjal. Hidup butuh inspirasi dan motivasi untuk meraih sesuatu. Tapi hidup ini terlalu terbalut angan bila hanya terinspirasi oleh kisah kesuksesan seseorang, atau termotivasi oleh omongan seseorang yang memang ahlinya sebagai motivator ulung, yang mampu merangkai kata demi kata. Kita mesti bijak menyikapi sebuah inspirasi dan motivasi. Karena cerita orang sukses akan tetap jadi cerita yang menggiurkan, bila memang mereka mampu meraih kesuksesan dalam hidup mereka. Tapi bila mere

6 Alasan Yang Membuat Anak SUPM Layak Jadi Pemimpin

Secara konstitusional maupun nonkonstitusional,  politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan. Tak sedikit di antara mereka yang haus akan kekuasaan, berlomba-lomba untuk bisa jadi pemimpin. Tak peduli asalnya dari mana, tak penting latar belakangnya apa. Karena syarat jadi calon penguasa tidak pernah mempertanyakan asalnya dari mana? Kuliah lulusan apa? Atau wawasannya apa saja? Yang penting bisa jadi penguasa, apapun caranya itu. 'Ehem.' Bermacam sudut pandang mengatakan, bahwa untuk jadi seorang pemimpin tentunya diperlukan wawasan yang luas, ulet, kompeten, bertanggung jawab, plus dukungan penuh oleh orang-orang yang akan dipimpin.  Itu bukanlah perkara yang mudah. Banyak terjadi di dunia perpolitikan, pemimpin-pemimpin yang hadir, jauh dari apa yang kita harapkan, seringkali kacang lupa dengan kulitnya. Berbeda jauh dengan anak-anak SUPM, yang tetap ingat dan mengayomi bawahannya, meski jarak umur berpuluh tahun sekalipun. Ya sudahlah! Dunia po