Skip to main content

Pamit| Adosinfo

Pikirlah baik-baik,’ kata Ayahnya. ‘Tak ada saudara kandung tempatmu menumpang hidup di Jakarta. Orang kampung yang merantau di sana tahunya kita sudah jatuh ke dalam lubang. Sudah sehina itu.

Apa yang jadi perkara di kampung ini pastinya sudah  sampai ke telinga mereka. Apalagi yang buruk-buruk. Hanya akan jadi bahan olok-olokan saja jika mencari tumpangan hidup ke sana ke mari. Pekerjaan yang mau dituju juga belum tampak. Bukannya lebih bijak jika kamu kembali berlayar ke Jepang saja?’ saran Ayahnya.

‘Mungkin akan begitu. Semua orang akan bertanya perkara apa yang terjadi di keluarga kita? Tapi, sepertinya itu hanya dua atau tiga hari saja. Sampai waktunya, mereka juga bisa memahami akan hidup yang tak lepas dari ujian, termsuk ujian untuk kita. Lagi pula, tidak semua orang kampung yang acuh terhadap kita. Tak semuanya memperolok apalagi sampai menganggap hina. Dalam diam, akan ada yang berpihak kepada kita. Seperti Pak Cik Tonang, misalnya. Sudah sering ia memintaku untuk datang ke Jakarta. Ia bersedia memberi tumpangan di rumahnya sampai aku dapat kerjaan yang patut. Jika pada kenyataan nanti beliau merasa disusahkan, Jakarta bukan pertama kali kujalani hidup keras. Banyak juga kawan-kawanku di sana. Akan lebih malu jika aku masih bertahan di kampung ini. Tak ada yang berubah, tak ada yang bisa diharap untuk mencari sesuatu yang lebih. Sudah mentok dengan kata cukup saja. Sudah waktunya haluan hidup aku rubah.

Ayah suruh sajalah Ibu dan adik-adik pulang dari Tanjung Pinang. Sudah lama mereka mau pulang kampung, tapi Ayah larang pula. Orang-orang kampung melihatnya Ayah dan Ibu sudah bercerai, padahal tidak.

Tanah pusaka kita masih banyak yang kosong. Kalau Ayah masih kuat pergi ke sawah, pastinya ayah juga bisa mengurus tanah itu untuk berladang. Tanamilah batang sawit. Kalau ada nasib baikku di Jakarta, Insya Allah kukirim Ayah uang untuk biaya orang upahan. Karena kalau dibiarkan tanah kosong menjadi rimba, akan ada saja orang kampung mengaku-ngaku itu tanah mereka. Tak banyak kaum kita di kampung ini, dan Ayah tahu itu.’

‘Tapi apa tidak sebaiknya kamu tunggu hari wisudamu dulu. Pergi tergesa-gesa tidaklah elok pula.’

‘Tak perlu, Yah. Aku kuliah bukan untuk menunggu wisuda. Tak guna poto wisuda kupajang di dinding rumah yang tak ada penghuninya. Ayah pun sudah jarang pulang ke rumah kita. Tak akan ada orang yang melihatnya. Berapa banyak orang punya gelar sarjana, tapi luntang lantung juga cari kerjaan ke sana ke mari. Kuliah bagiku hanyalah tempat mencari kawan. Tempat membangun koneksi. Makanya kupilih kuliah dengan orang-orang yang sudah punya pekerjaan, bukan dengan anak kuliah yang meminta-minta uang semester ke orang tuanya. Kuliah adalah tempatku untuk berpikir. Siapa tahu ada jalan yang bisa kupikirkan untuk bisa merubah nasib kita. Buat apa sarjana dibanggakan, tapi beli pulsa saja tidak punya uang. Targetku tidak lagi sekedar uang untuk diriku, tapi juga untuk Ayah dan Ibu, melunasi semua hutang-hutang Ayah dan Ibu. Setelahnya, kita lihat saja takdir apa yang datang menghampiri.’

‘Ya, sudah. Kemana pun kaki hendak engkau langkahkan, jangan sampai salah menurut adat, karena akan bercerai badanmu dengan orang sekeliling. Jangan sampai salah menurut hukum, ke penjara badanmu terbuang. Dan jangan sampai salah menurut syarak, karena neraka yang akan menampungmu. Jika banyak jalan raya dibangun orang, pastinya lebih banyak jalan hidup diciptakan Tuhan.’ Tutup Ayahnya, dan ia menganggukkan kepala.

Seorang Ayah memberi nasehat untuk anaknya. Tapi ada saatnya Sang Ayah lebih banyak mendengar anaknya terlebih dahulu.  Dalih telah beranjak jadi anak yang dewasa. Kepada Ayahnya tempat ia bertukar pikiran. Di masa kecil otaknya dipenuhi dengan sesak petatah petitih Ayahnya. Setelah dewasa, giliran Ayahnya mendengar apa yang jadi tuah anak sulungnya itu.

Dalih bisa menempatkan diri sebagai lawan diskusi Ayah yang telah banyak merasakan asam garam kehidupan. Sebab, kalau bukan dengan Ayahnya, tak ada lagi tempat ia bersilat lidah ketika ia pulang ke kampungnya. Sering ia coba berbincang dengan sanak saudara di kampungnya, yang ada hanya membahas perkara hutang orang tua yang entah sampai kapan bisa dilunasi. Ia coba pula duduk di warung kopi di kampung dekat rumahnya, pemuda-pemuda kampung tidak henti bertanya, ‘Kenapa Ayah dan Ibumu tidak serumah lagi? Sudah berceraikah?’

Ah. Makin pusing kepala Dalih. Ia jawab pun tak satu pun mampu memberi solusi. Hanya bisa menerka-nerka penyebab semua perkara buruk yang terjadi?  Sanak saudara beranggapan lantaran Ayahnya tidak bisa jadi pemimpin di rumah tangga. Padahal dari acara kawinan sampai urusan perkara kampung, Ayahnya selalu digadang-gadang sebagai sosok yang diharuskan hadir untuk menuntaskan perkara itu. Tak jauh beda dengan pandangan orang kampung yang mengatakan Ibu dan Ayahnya tidak cocok jadi pedagang beras, cocoknya jadi kuli sawah saja, dan akan tetap jadi bangkrut bila dipaksakan terus jadi pedagang beras. Mereka lupa, kepada Ibu dan Ayahnya mereka menjual padi sebelum padi itu digiling jadi beras. Kepada Ibunya tempat mereka meminjam beras untuk makan lantaran panen di sawah masih lama. Kepada Ibunya mereka meminjam uang dengan jaminan padi di sawah yang tak lama lagi akan panen. Ibu dan Ayahnya orang terpandang di saat ada. Tapi dihina jatuh ke tanah saat tak lagi bisa memberi.

Maka akan lebih baik di rumah saja pemuda itu setiap pulang ke kampungnya. Memikirkan apa yang harus ia perbuat untuk mewujudkan cita dan cinta di hatinya.

Memang dilemanya teramat dalam. Ia lihat Ayahnya telah menua, kerut di muka Ayahnya makin lama kian bertambah. Harus pula ia pergi menyusul Putri Galamai ke Jakarta, sementara banyak perkara runyam yang belum terselesaikan. Hutang orang tua masih bersisa, Ibu dan Ayah pun belum bisa tinggal serumah.

Ia rebahkankan badan setelah berbincang panjang lebar dengan Ayahnya. Ia teringiang akan sosok Putri Galamai yang ia cintai.

‘Haruskah kususul Putri ke Jakarta? Apa sebenarnya yang aku cari? Bukankah jodoh sudah ada suratan takdirnya? Rendahkah aku bila harus menemui perempuan sejauh ini?’

Tapi di sisi lain hatinya berkata. ‘Memang jodoh sudah ada suratan takdirnya. Tapi jodohku harus kujemput dengan perjuanganku. Tak bisa aku berdiam diri di sini. Aku pantas mendapatkan Putri Galamai.’

Tak ia tunggu hari wisudanya yang akan datang dalam hitungan bulan. Tak ia tunggu Ibu dan adiknya pulang ke kampung dulu. Ia berpamitan ke Ayahnya yang sedang mencangkul sawah di teriknya panas hari. Salam pamit Dalih disambut Ayahnya dengan tangan yang tertutup lumpur sawah, tapi tak ia pandang wajah Dalih agar tidak terlihat bersedih. Terus Ayahnya mengayun cangkul agar tidak tampak sedang menangis. Berat hati Ayahnya melepas kepergian anak yang akan melangkah jauh itu. Tapi apalah yang jadi daya, hidup harus diperjuangkan dengan merubah haluan.

Sejenak, dari kejauhan cangkul Ayahnya berhenti untuk mengayun. Ia lihat punggung anaknya berjalan yang tertutup tas ransel hitam. Ia sapu keringat di mukanya bercampur air mata. Dan tidak lama anaknya sudah menghilang di persimpangan jalan.
***

Ql Lusiana & Ayah


Ia tatapi sekeliling rumah tua yang sudah tak layak huni. Ia pandangi poto wajah kedua orang tua yang masih tergantung di dinding rumah yang sudah retak. Kedua wajah orang terkasih yang dulu tegar dan berseri, dalam kenyataan sudah dipenuhi dengan kerutan. Ditambah pula menanggung beban pikiran lantaran terlilit hutang, semakin menumpukkan hati hiba yang ia rasakan. Petir datang bergemuruh, pikirannya mengawang entah kemana? Kampung dan Ayah akan ia tinggalkan, pergi merajut asa demi menjemput takdir ke tempat lain.

Melihat rinai hujan yang mulai turun, segera ia diantar ojek menuju terminal Bus ANS yang mendarat ke Jakarta. Risau hatinya mendengar alunan musik ‘Rilakan Nan Tamakan’ selama dalam perjalanan menuju Jakarta. Musik itu terdengar berkali-kali. Dari Tanah Agam sampai memasuki wilayah Jambi. Dari pikiran melayang tidur sampai tersentak bangun lagi, masih saja diputar sopir bus lagu yang sama. Alunan musik Pop Minang itu membuat hatinya menerawang jauh. Tapi ia tergugah untuk menuju apa yang menjadi tujuan hidupnya, mencari kedamaian cintanya sekaligus merubah nasib sambil memohon restu dalam hati kepada Ibunya yang sedang jauh.

Ia titip sepucuk doa untuk Ranah Minang. Semoga Ayahnya dilimpahkan kesabaran hati dan keteguhan iman. Dilimpahkan segala kebaikan dan berkecukupan dengan hasil sawah dan ladang. Semoga rumah tua yang hampir roboh bisa diperbaiki kembali. Dan semua keluarga yang tercerai-berai bisa berkumpul seperti sedia kala.



Perumahan Subsidi Di Kota Pekanbaru
.
.




Lokasi Air Hitam Pekanbaru
DP 8 juta. Cicilan tetap 900 ribuan
081380654777




Popular posts from this blog

Rotan Itu Hanya Melengkung, Bukan Patah! |Adosinfo

By: DR Taktik dan siasat tidak hanya berlaku dalam politik. Tapi juga dalam hal lainnya, termasuk dalam dunia usaha, yang menggunakan bermacam cara untuk mencari keuntungan lebih. Itu hal positif selama dilakukan dengan cara yang positif pula. Tapi apa jadinya jika siasat itu dilakukan dengan cara yang tidak transfaran, penuh kecurangan. Mungkin gelagat pecundang bisa tak terlihat saat kebohongan ia lakukan. Nyalinya tak gemetaran ketika ada sesuatu hal yang diperdebatkan. Tapi bagi seorang pemenang, harus mampu membaca arah siasat buruk itu, untuk menyiapkan siasat lainnya, agar tidak merasa dirugikan. Tak perlu berargumen panjang lebar untuk menguji sebuah kebenaran. Tak perlu menggunakan kedua tangan untuk meruntuhkan kokohnya sebuah komitmen, selama hal itu masih berlaku untuk hal-hal yang positif. Satu hal yang perlu difahami: Rotan itu hanya melengkung, bukan patah!! Hanya kelapukkan yang bisa mematahkan rotan. Tunggulah rotan itu lapuk pada waktunya.

Hiduplah Seperti Kereta Berjalan | Adosinfo

Hidup akan terus berjalan, tapi banyak hal yang perlu kita ketahui bagaimana mestinya menjalani hidup semestinya? Karena yang namanya hidup tidak lepas dari ujian ataupun cobaan. Walau adakalanya hidup menerima puja dan pujian, hidup tidak lepas dari caci dan hinaan. Bergantung atas apa yang telah kita perbuat di muka bumi ini, dan bergantung bagaimana sudut pandang orang-orang yang menilai kita.  Ya… begitulah hidup, tidak semua keinginan mampu kita wujudkan, lantaran hidup ini akan ada liku dan jalan terjal. Hidup butuh inspirasi dan motivasi untuk meraih sesuatu. Tapi hidup ini terlalu terbalut angan bila hanya terinspirasi oleh kisah kesuksesan seseorang, atau termotivasi oleh omongan seseorang yang memang ahlinya sebagai motivator ulung, yang mampu merangkai kata demi kata. Kita mesti bijak menyikapi sebuah inspirasi dan motivasi. Karena cerita orang sukses akan tetap jadi cerita yang menggiurkan, bila memang mereka mampu meraih kesuksesan dalam hidup mereka. Tapi bila mere

6 Alasan Yang Membuat Anak SUPM Layak Jadi Pemimpin

Secara konstitusional maupun nonkonstitusional,  politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan. Tak sedikit di antara mereka yang haus akan kekuasaan, berlomba-lomba untuk bisa jadi pemimpin. Tak peduli asalnya dari mana, tak penting latar belakangnya apa. Karena syarat jadi calon penguasa tidak pernah mempertanyakan asalnya dari mana? Kuliah lulusan apa? Atau wawasannya apa saja? Yang penting bisa jadi penguasa, apapun caranya itu. 'Ehem.' Bermacam sudut pandang mengatakan, bahwa untuk jadi seorang pemimpin tentunya diperlukan wawasan yang luas, ulet, kompeten, bertanggung jawab, plus dukungan penuh oleh orang-orang yang akan dipimpin.  Itu bukanlah perkara yang mudah. Banyak terjadi di dunia perpolitikan, pemimpin-pemimpin yang hadir, jauh dari apa yang kita harapkan, seringkali kacang lupa dengan kulitnya. Berbeda jauh dengan anak-anak SUPM, yang tetap ingat dan mengayomi bawahannya, meski jarak umur berpuluh tahun sekalipun. Ya sudahlah! Dunia po