![]() |
QL Lusiana |
Janganlah berprasangka buruk terlalu jauh. Tak ada sedikitpun niatku untuk menjauh dari Uda. Semua hanyalah wujud dari kepanikan seorang perempuan yang lemah jiwanya. Lemah lantaran hilangnya pundakmu yang dulu tempat aku berkeluh kesah. Tak bisa hatiku berpikir jernih ketika harap dirasa hilang. Semua yang telah kita rancang tidak semudah yang kita pikirkan.
Kutitip doa kepada Ibu sewaktu pergi ke Tanah Suci. Agar kelak, aku dipertemukan jodoh yang sepadan dengan aku. Sepadan dengan hatiku yang lemah. Sepadang dengan ego yang kadang naik turun. Dan Uda sudah melihat kenyataan yang ada. Pahit betul apa yang aku rasa.
Mereka katakan, “Bukan Uda lelaki itu.” Kucoba meyakinkan mereka dengan menghibakan diri. Banyak sudah puja-pujiku untuk Uda sebagai lelaki yang baik dan bertanggung jawab, tapi semua untaian kataku tak cukup meyakinkan mereka. Aku tak tahu lagi apa penyebabnya?
Dari awal perkenalan kita kujaga harapku semoga Uda yang akan jadi imamku kelak.
Kuturuti keinginan Uda yang ingin melihat aku memakai hijab. Aku pun mulai senang dengan pakaian itu. Tak akan kulepas lagi untuk mempertontonkan rambutku yang terurai panjang. Kuingin hanya Uda yang boleh melepasnya setelah aku halal untuk Uda. Tapi nyatanya tidak kesampaian.
Hingga aku butuh waktu untuk bisa menenangkan diri. Tapi itu bukanlah cara yang salah aku lakukan. Betul, apa yang kita inginkan sangat sulit untuk dipertahankan. Apa yang telah kita rancang buyar seketika. Tapi bukan berarti akan sulit untuk didapatkan kembali.
Hari berganti, musim pun telah bertukar. Begitu lamanya Uda larut dalam pemikiran, dan aku tahu itu. Tapi jangan dianggap aku bisa bersenang-senang di atas kacau balaunya pikiran Uda. Jangan pula dianggap lantaran musim yang telah berganti itu, aku terikut menggantikan Uda dengan hati yang lain. Itu tidak sama sekali.
Jika Uda merasa bersusah hati dengan perpisahan kita, akulah yang sebenarnya lebih merasakan bersusah hati. Bagaimana tidak? Uda yang membuat aku bisa mengenal senang dan rindu lantaran mencintai, tapi tidak bisa kudekapkan diri ini sepenuhnya. Aku diminta pergi oleh orang tua kuliah ke Jakarta, sementara hatiku tertinggal di Kota Padang. Uda katakan padaku mau mengantarkan aku ke Bandara Minang Kabau sebagai lelaki yang akan aku rindui, tapi Uda tidak ada di sana. Tak ada sepatah kata pun kudengar dari Uda, apa lagi melihat raut mukamu. Air mata kutahan dalam-dalam, namun tumpah juga di ruang tunggu. Ke mana Uda saat itu?
Tak tenang hatiku selama perjalanan ke Jakarta. Andai saja pesawat itu bisa kuminta berhenti, mungkin aku akan turun saat itu juga. Kita sama-sama larut dalam kemarahan yang bukan disebabkan oleh kesalahan kita sendiri. Harusnya Uda berpikiran seperti itu. Tak benar tuduhan Uda yang mengatakan aku telah membenci Uda sangat dalam, padahal hatiku mengingat Uda. Dan tak guna pula kenangan sepotong roti uda sebut lagi. Karena akan membuat kita semakin sakit. Biarlah kenangan itu jadi kenangan dan akan tetap jadi sejarah kita. Meski tak lagi aku bersandar di pundakmu untuk berkeluh kesah, tapi tetap dalam hati aku sebut nama Uda.
Hanya kepada adikku, Ane curahan hatiku tertumpu untuk bertanya bagaimana kabar Uda selama ini. Walau kadang Ane kesal kutelpon saat mengantuk malam, kupaksa ia mau mendengarkan aku. Tak hilang kabarmu kutanyakan dari waktu ke waktu sama Ane dengan harapan Uda baik-baik saja selama aku tidak ada. Sengaja aku berdiam diri dengan lisan untuk Uda, tapi tidak dari lubuk hati yang paling dalam, aku juga merinduimu.
Kutahan perasaan ini, yang sesungguhnya aku sendiri tidak kuat menanggungnya. Linglung ke sana-ke mari, mencoba menghibur diri. Setiap libur kuliah tiba, kucoba berjalan-jalan ke Kota Bandung bersama temanku, Vani. Tapi tak ada artinya karena yang terlihat badanku semakin kurus.
Tak henti kupupuk harapan di setiap sujudku, agar aku jadi perempuan satu-satunya dalam jiwa uda. Memang dengan sengaja kuganti nomor telponku, agar Uda lebih fokus berjuang untuk aku dengan cara yang Uda bisa. Uda sendiri tahu apa keinginan orang tuaku bahwa setidaknya Uda mampu menyelesaikan sarjana seperti aku. Tak ada masalah dengan hanya kuliah Sabtu Minggu yang terpenting Uda bisa selesaikan itu. Kita bisa lebih mudah menata masa depan yang ingin kita tuju. Itulah sebabnya aku berdiam diri sambil menanggung gelisah lantaran beratnya dilema yang aku tanggung.
Takdir?
Aku tahu semuanya belum keputusan akhir. Masih panjang waktu kita untuk bisa mempersatukan takdir kita. Takdir adalah kodrad Tuhan untuk hamba-Nya. Jika Tuhan berkehendak bersama untuk kita, maka takdir bersama sudah pasti milik kita. Ke mana pun badan ini kubawa pergi, jika kita memang ditakdirkan untuk berjodoh, sudah pasti akan berjodoh pula. Kuatkanlah hati Uda dalam prasangka-prasangka yang baik. Berapa banyak di luar sana orang-orang yang tidak mendapatkan restu orang tua? Tapi tidak putus doa dan harapan mereka untuk bisa ditakdirkan hidup bersama. Hidup ini perjuangan seperti yang Uda katakan. Tapi sudahkan perjuangan itu betul-betul Uda tanamkan dalam hati bahwa Uda akan mampu melewati semua ini?
Tak baik juga menyalahkan orang Tua yang menginginkan lebih dari calon menantunya, karena semua itu adalah sifat manusiawi saja. Sangat wajar orang tua menagih hal terbaik untuk anak-anaknya kelak, lantaran hidup ini tidak akan cukup hanya dengan cinta semata.
Masa sudah berubah, kita tidak lagi hidup di zaman silam yang hanya cukup bermodalkan sopan santun dan kebaikan dalam berumah tangga, tapi serba kekurangan dalam hal materi. Sekarang hidup tidak bisa luput dari pandangan orang-orang sekitar kita. Dan kita akan jadi bahan olok-olokan jika tidak bisa mengikuti dunia yang penuh dengan gengsi dan harga diri. Dunia sudah berubah. Harta adalah harga mati, tahta membuat kita lebih bergengsi. Dan aku yakin, kita bisa mendapatkan semua itu.
Jika berdiam diri Uda anggap sebuah kesalahan, maafkanlah kesalahanku itu. Jika ada lisanku yang melukai Uda, anggaplah jaiz lisanku. Dan jika ada perbuatanku yang kurang baik selama kebersamaan kita dulu, anggaplah itu khilafku.
Sekarang datanglah Uda ke Jakarta. Kudengar dari Ane, dua bulan lagi Uda akan jadi sarjana. Tak akan ada yang berubah lebih, jika uda masih bertahan hanya dengan menjadi guru di tempat les saja. Uda juga berniat untuk melunasi hutang-hutang orang tua Uda yang masih tersisa dua puluh juta lagi. Tak akan mampu itu uda lakukan hanya dengan gaji yang tidak lebih tujuh ratus ribu setiap bulannya. Mari kita tantang pandangan dunia yang sudah gila ini.
![]() |
Belum kulipat kain sajadahku saat kuketik pesan ini untuk Uda. Belum kering air wudhu di mukaku sambil menghadap kiblat Allah. Di atas Al Quran yang ada di hadapanku ini aku bersumpah, selamanya aku akan bertahan untuk Uda. Selamanya tak akan kuganti hati ini untuk yang lainnya. Selamanya aku akan hidup bersama Uda. Aku berjanji akan mendampingi Uda sampai kapan pun juga! Apapun yang terjadi akan kutunaikan semua janjiku. Andai datang sucuil kegagalan hidup kelak, akan kuanggap itu secuil liku hidup yang harus kita jalankan, meski secuil itu berubah jadi besar. Tak akan aku diperistri lelaki lain andai orang tuaku masih tidak menyetujui Uda. Inilah sumpahku untuk meyakinkan Uda. Jangan lagi ada anggapan bahwa Jakarta sudah merubah hatiku. Itu tidak betul.