Skip to main content

Posts

Dua Ranah - Kepedean Jadi Imam Sholat

Kejahilan, pemaksaan, kekerasan: tiga kata berbeda, tetapi menanamkan satu tujuan dalam pelaksanaannya, yaitu jalan menuju tampuk kekuasaan asrama. Bukan senior namanya jika tidak dikenal oleh juniornya. Bukan senior namanya jika tak bisa tampil beda dengan yang lainnya. Tabiat yang terbentuk bukanlah bawaan dari lahir, melainkan sikap dibuat-buat yang hanya datang dari lingkungan asrama itu sendiri. Segala kemampuan mereka pamerkan, segala kekuatan mereka perlihatkan. Tingkah mereka menjadi-jadi. Kejahilan berganti dengan pemaksaan. Pemaksaan pun berganti dengan kekerasan. Senior berprilaku tak senonoh. Segala kemauan mereka harus dituruti. Standilof Pekerjaan ringan yang aku jalankan hanyalah membantu senior menuliskan surat cinta. Surat cinta senior-senior yang kalah saing mendapatkan siswi-siswi di asrama, hingga kenalan siswi sekolah lain jadi gebetan baru. Dengan upah sebatang rokok, kubuatkan surat cinta untuk gebetan mereka. Walau tida pernah merasakan indahnya p

Dua Ranah - Celana Dalam Berpindah Tangan

Mendekati aktifitas apel pagi, segera kami simpan peralatan makan ke lemari pakaian masing-masing, merapikan kamar senior, merapikan kamar sendiri, sebentar lalu buang air kecil ke toilet, lonceng apel pagi pun sudah kedengaran di telinga kami. ‘Apel pagiii!’ Semua berlarian pontang panting mengenakan seragam lengkap taruna. Tak sedikit di antara kami menaikan resleting celana sambil berlarian. Mereka yang senior, bisa sedikit bersantai sambil menghisap rokok. Andaipun mereka telat berbaris di halaman sekolah, selain guru piket tidak akan ada yang bisa menghukum mereka. Mereka punya akal-akalan menyelamatkan absen teman mereka. Sementara kami, mesti disiplin dengan waktu, patuh terhadap aturan guru-guru, yang lebih wajib lagi, tunduk dengan segala kemauan senior. Bukan Mister Kapinding namanya, jika tak berleha-leha di setiap aktifitas sekolah. Semua siswa sudah bersiap melaksanakan apel pagi, Mister Kapinding masih mondar mandir di lorong asrama, cuek bebek mengenakan handu

Dua Ranah - Hukuman Gara -Gara Tulang Ikan

Usai subuh berjamaah, kami kembali menuju ke asrama, bersiap melaksanakan olah raga pagi di sekeliling kampus. Rebutan cari sandal jepit masing-masing, tak sedikit yang mengandalkan kaki ayam, alias tak bersandal. Mentari pagi kami sambut dengan suara riuh. Menggemakan suasana sunyi dengan sautan gegap gempita, beriring dengan hayalan masa depan tingkat dewa. Tak peduli seperti apapun rasa lelah ditanggung badan.  Hingga tiga puluh menit berlalu, kami berlarian ke kamar mandi yang ada di asrama. Tak ada pembatas antara si miskin dengan si kaya, tak ada pembeda antara yang Islam dengan yang bukan. Semua kami lakukan bersama-sama. Jangankan odol atau pun sabun mandi, handuk pun kami pakai bergantian. Tak ada rotan akar pun jadi, tak ada handuk sprey pun jadi. Belum kering air di badan, lonceng makan pagi pun mengaung ke telinga. Kami bergegeas bersiap diri. Dengan sigap dan cepat mengenakan seragam lengkap taruna, tak perlu berkaca melihat rambut sudah rapi atau tidak? Tak perlu berp

Dua Ranah - Jadi Penceramah Musholla

Lega setelah mampu melewati orientasi dengan sempurna. Tapi jantung seakan tak berdenyut ketika memasuki masa basis. Masa menurut kabar yang kami dengar adalah tahap yang paling sulit untuk dilalui. Kami tidak diperkenankan menggunakan bahasa daerah sebulan penuh, semua aktifitas harus dijalankan dengan sempurna, latihan baris berbaris dengan baik. Satu orang melakukan kesalahan, maka yang lain tetap menerima hukuman. Akan tetapi, jika ada perlombaan baris berbaris antar sekolah, maka sekolah kamilah yang akan jadi pemenangnya. Karena aktifitas seperti itu sudah jadi santapan kami sehari-hari. Jika berpapasan dengan senior, wajib hukumnya menegur sapa dan memberi hormat. Jika hal itu sampai kami lupakan, perintah “kumpul” lagi-lagi menjadi akibat atas kesalahan kami. Senior dengan tegas meminta kami mematuhi segala aturan. Segala aktifitas harus dijalankan dengan sigap, cepat, tepat, yang intinya tidak boleh telat sedikit pun juga. Jadi kebiasaan kami curhat-curhatan di te

Dua Ranah - Muda Foya-Foya, Tua Kaya Raya, Mati Masuk Syurga

Muda Foya-Foya, Tua Kaya Raya, Mati Masuk Syurga Tertuang berjuta harapan dan impian ketika terpilih menjadi seorang taruna pelayaran. Aku bertekad untuk bisa membantu kehidupan keluarga yang sederhana. Keluarga yang mengajarkan aku budaya Ranah Minang, keluarga yang membekali aku Ilmu Agama. Kulalui proses orientasi sebagai perkenalan lingkungan baru. Namun di masa itu satu, dua orang sudah memilih jalan mundur. Mereka tak terbiasa dengan aturan asrama yang diwarnai dengan bermacam ketegangan. Tak ada firasat dengan kenyataan yang terjadi. Asrama mengajarkan aku budaya dan aturan baru. Kaget dan kaget menghiasi hari-hari. Kampus terindah itu berubah jadi hal-hal yang menegangkan. Senior bertindak bak seorang raja. Itu terlihat dari cara mereka ketika memanggil kami. ‘Siswa baru, ke sini satu orang! Siwa baru, ke sini satu orang!’ Kami yang tidak mengerti dengan terikan suara itu, saling dorong dan sikut sesama teman sekamar. ‘Waang ke sana!’ ‘Ah, Waang sajolah yang ke sana!