Skip to main content

Posts

Cinta?| Adosinfo

Cinta, ia tidak terlihat. Tapi varian warna-warni indah hadir ke sekeliling jiwa. Ia tidak akan pernah bisa terlihat, hanya bisa dirasakan. Bila ia datang menghampiri, tak seorang pun sanggup mengukur seberapa besar anugerah cintamu akan lahir. Ia mampu memupuk lunglaimu jadi gelora, mampu membuatmu berimajinasi lebih tinggi. Ql Lusiana Cinta, kamu akan gelisah karenanya. Seberapa besar gelisah hatimu untuk dia? Hanya kamu lah yang bisa menceritakannya. Cinta, bila ia tumbuh, pupuklah ia agar semakin tumbuh dalam hatimu yang basah. Jangan biarkan mengering, layu, dan hilang lantaran harapannya terikut hilang. Cinta, bila ia sebuah anugerah, jangan lah kamu nodai dengan berulah dan buruk tingkah, karena kebencian dan hina akan datang untuk merobah. Saat matamu menatap ingin, tanyakan dulu pada perasaanmu yang tidak bisa berbohong. Hingga bibirmu berkata benar, "Bahwa untaian katamu sesuai dengan kata hatimu". Curahkan semua itu ke hadapannya, wahai kaum Adam!

Salam Pasar Pagi Arengka| Adosinfo

Sepertinya kota itu akan dibangun sebuah panggung. Atapnya fly over dan kakinya berjejeran penjual jeruk dan buah mangga. Jalannya dihiasi spanduk partai, terlihat mentereng... dengan janji akan merubah kota ini lebih baik? Mulailah seorang dari lima penjual gantungan hp berorasi. Sepintas mirip Sosiawan Leak membacakan puisi dengan lantang, mencurahkan kekesalan hati lantaran gantungan hp yang ia jual belum laku. Teriakan itu diiringi tangisan bayi di pangkuan Ibu di atas trotoar, seperti instrumen musik duka yang sedang didengarkan. Lampu hijau yang tak diharap belum juga berubah merah. Karena hanya itulah harapan Ibu pengemis, agar ada recehan 500 perak meloncat tiba-tiba ke dalam kotaknya. Spanduk partai terpampang megah di lampu merah. Mengalahkan megahnya fly over yang masih terengah-engah. Mereka tatapi wajah calon penguasa di spanduk partai itu. Lantang teriakan suaranya, ingin nasibnya tidak seperti sekarang lagi. "Kami hanyalah ayam sayur di Pasar Pagi A

Pulang| Adosinfo

Kutatapi sekeliling rumah dan lorong sempit tempat berlari semasa kecil. Kupandangi raut wajah orang tua yang kian lama kian menua. Dari kejauhan, terlihat puncak monas menjulang tinggi, yang telah tertutupi awan hitam. Petir datang bergemuruh, pikiranku serasa mengawang entah ke mana. Kota dan keluarga harus aku tinggalkan. Aku pergi merajut asa, demi menyusul takdir ke tempat lain. Kuminta sepucuk harapan ke Tanah Melayu. Kupegang janji suci sekuat mungkin. Kokoh, bak megahnya Istana Kerajaan Siak. Indah, seindah panorama Alam Mayang. Agar Tanah Melayu bisa membawaku lebih dekat ke Ranah Minang, yang banyak hal satu iring dan satu haluan dengan Tanah Melayu, yang sedari kecil hanya aku dengar dari cerita orang tua. Terlahir di kota besar, tak akan aku melupakan tradisi yang jadi legenda. Bukan legenda anak perempuan yang tidak mendapatkan tempat di kampung halamannya. Bukan legenda anak perempuan yang diusir kaum atas dosa dan kesalahannya. Bukan legenda Si Malin Kundang yang me

Jangan Tangisi Yang Telah Pergi

Tak perlu tangisi yang telah hilang. Apalagi bertanya sesuatu yang telah pergi. Pergiku jauh ... jauh sekali. Bukan membawa luka atau sekedar membalutnya saja. Bila nanti aku menemukan sebuah kedamaian, itulah ganjaran takdirku sekarang yang dulu engkau lecehkan. Ingatilah ketika aku pernah memberi. Tujuh tahun kuabdikan jiwaku untukmu, tak mudah bagiku menerima kenyataan jika harus berakhir sia-sia. Tujuh tahun lamanya aku menanti untuk bisa kau persunting, tapi di tahun ketujuh itu engkau katakan, sebaiknya hubungan kita diakhiri saja, padahal aku belum menyerah  demi impianmu. Terbuat dari apakah hatimu wahai manusia batu? Keraguan yang selalu kau perlihatkan kepadaku, merasa hati yang tak akan bahagia bila kau paksakan mempersunting aku, padahal engkau sendiri yang tidak menampakkan keyakinan itu. Prinsip budaya engkau jadikan alasan untuk mengulur waktu pernikahan. Ah, pengecut Kini mengapa tiba-tiba luka yang kian kau rasakan, setelah aku pergi dan menem

Bino Si Korban Banjir

Aku Bino, nama yang sederhana. Tapi gak perlu dibesar-besarkan, meski aku lahir dan besar di Kota Pekanbaru Aku hanya mau berbagi kisah pada kalian tentang hidup yang penuh pilu, sedih, menderita terlunta-lunta di jalanan. Aku gak tau Bapakku siapa. Yang aku tau, aku dibesarkan oleh Ibu yang sangat sayang sama aku. Saudara kembarku ada empat. Aku lupa nama saudara-saudara kembarku. Abis waktu kami lahir, Ibu gak pernah ngurus akta kelahiran kami ke Kantor Kelurahan. Aku tinggal di pinggir Pasar Pagi Arengka. Karena gak ada Bapak yang membesarkan kami, terpaksalah Ibu yang banting tulang mencari makan untuk hidup kami. Ibu sering mengajak kami mengemis makanan ke warung-warung Nasi Padang, sambil menunggu ada orang yang mau berbaik hati memberi kami sisa makanannya. Banyak orang-orang merasa kasihan terhadap kami. Tapi gak sedikit juga yang mengusir kami dari rumah makan itu, menendang kami ke pinggir jalan, hingga kami berpindah lagi ke rumah makan yang lainnya. Jika ada or

Ranah Yang Bertikai

Lampion toko telah nyala berjajaran di pinggir jalan. Siswa-siswa simpang siur pulang dari sekolahnya, sebagian lagi dari tempat kerja. Ada yang pegang buku menunggu kereta tiba. Ada yang pakai dasi tapi pulang mengayuh sepeda. Ada juga yang bergegas jalan kaki, sambil menundukan kepala. Tidak terlihat anak sekolah teriak ledek-ledekan sesama teman, apalagi tawuran di keramaian. Indah betul apa yang terlihat oleh mata, walau ada di pinggir kota Sendai. Nenek berdiri dari kursi goyangnya, menyalakan lampu di semua sisi rumah. Walau usia sudah menua, penglihatan sudah mulai rabun, Nenek masih kuat beraktifitas seorang diri. 'Aku bantu, ya, Nek,' niat Dalih ingin membantu. 'Sudah, sudah. Biar Nenek saja! Suami Nenek sudah lama meninggal dunia. Tinggallah Nenek bersama Haruka, cucu satu-satunya. Dia lebih memilih tinggal bersama Nenek, lantaran merasa tidak cocok dengan orang tuanya. Haruka bekerja di sebuah kafe di Kota Sendai. Setiap selesai mengikuti kuliah, Haruka

Aku Sudah Kalah

Perasaan yang dulu hanya sebatas rasa kagum semata, berganti dengan perasaan lain, dimana aku sendiri tidak sanggup untuk mengatakan, apa yang disebut dengan CINTA. Urusan hati, bukannya tidak tertarik berlaku seperti teman-teman yang lain. Hanya saja tidak sefaham jika hubungan diawali dengan terpaksa, apalagi sebatas coba-coba. Cinta harus berada pada kodratnya: mengalir bagaikan air dari pegunungan, menyisir sukma seperti udara menerbangkan lara, tumbuh bagaikan benih di musim semi, mekar seperti bunga di jambangan, hingga melahirkan sebuah kekuatan dari Rabb Yang Maha Suci, yakni kemurnian cinta nan sejati. Cinta bukanlah sekedar penghias kekosongan hati, melainkan cambuk bagi hati yang terasa kosong. Ada yang berkata, ‘Cinta adalah sebuah kekuatan yang mampu mengolah kayu menjadi kertas, melebur besi menjadi pedang.’ Namun bagiku, ‘Cinta dalah pengabdian rasa terhadap orang yang kita cintai. Rasa yang membawa hikmah di setiap kali mengingatnya, hingga mampu memupuk lu