Skip to main content

Posts

Jangan Tangisi Yang Telah Pergi

Tak perlu tangisi yang telah hilang. Apalagi bertanya sesuatu yang telah pergi. Pergiku jauh ... jauh sekali. Bukan membawa luka atau sekedar membalutnya saja. Bila nanti aku menemukan sebuah kedamaian, itulah ganjaran takdirku sekarang yang dulu engkau lecehkan. Ingatilah ketika aku pernah memberi. Tujuh tahun kuabdikan jiwaku untukmu, tak mudah bagiku menerima kenyataan jika harus berakhir sia-sia. Tujuh tahun lamanya aku menanti untuk bisa kau persunting, tapi di tahun ketujuh itu engkau katakan, sebaiknya hubungan kita diakhiri saja, padahal aku belum menyerah  demi impianmu. Terbuat dari apakah hatimu wahai manusia batu? Keraguan yang selalu kau perlihatkan kepadaku, merasa hati yang tak akan bahagia bila kau paksakan mempersunting aku, padahal engkau sendiri yang tidak menampakkan keyakinan itu. Prinsip budaya engkau jadikan alasan untuk mengulur waktu pernikahan. Ah, pengecut Kini mengapa tiba-tiba luka yang kian kau rasakan, setelah aku pergi dan menem

Bino Si Korban Banjir

Aku Bino, nama yang sederhana. Tapi gak perlu dibesar-besarkan, meski aku lahir dan besar di Kota Pekanbaru Aku hanya mau berbagi kisah pada kalian tentang hidup yang penuh pilu, sedih, menderita terlunta-lunta di jalanan. Aku gak tau Bapakku siapa. Yang aku tau, aku dibesarkan oleh Ibu yang sangat sayang sama aku. Saudara kembarku ada empat. Aku lupa nama saudara-saudara kembarku. Abis waktu kami lahir, Ibu gak pernah ngurus akta kelahiran kami ke Kantor Kelurahan. Aku tinggal di pinggir Pasar Pagi Arengka. Karena gak ada Bapak yang membesarkan kami, terpaksalah Ibu yang banting tulang mencari makan untuk hidup kami. Ibu sering mengajak kami mengemis makanan ke warung-warung Nasi Padang, sambil menunggu ada orang yang mau berbaik hati memberi kami sisa makanannya. Banyak orang-orang merasa kasihan terhadap kami. Tapi gak sedikit juga yang mengusir kami dari rumah makan itu, menendang kami ke pinggir jalan, hingga kami berpindah lagi ke rumah makan yang lainnya. Jika ada or

Ranah Yang Bertikai

Lampion toko telah nyala berjajaran di pinggir jalan. Siswa-siswa simpang siur pulang dari sekolahnya, sebagian lagi dari tempat kerja. Ada yang pegang buku menunggu kereta tiba. Ada yang pakai dasi tapi pulang mengayuh sepeda. Ada juga yang bergegas jalan kaki, sambil menundukan kepala. Tidak terlihat anak sekolah teriak ledek-ledekan sesama teman, apalagi tawuran di keramaian. Indah betul apa yang terlihat oleh mata, walau ada di pinggir kota Sendai. Nenek berdiri dari kursi goyangnya, menyalakan lampu di semua sisi rumah. Walau usia sudah menua, penglihatan sudah mulai rabun, Nenek masih kuat beraktifitas seorang diri. 'Aku bantu, ya, Nek,' niat Dalih ingin membantu. 'Sudah, sudah. Biar Nenek saja! Suami Nenek sudah lama meninggal dunia. Tinggallah Nenek bersama Haruka, cucu satu-satunya. Dia lebih memilih tinggal bersama Nenek, lantaran merasa tidak cocok dengan orang tuanya. Haruka bekerja di sebuah kafe di Kota Sendai. Setiap selesai mengikuti kuliah, Haruka

Aku Sudah Kalah

Perasaan yang dulu hanya sebatas rasa kagum semata, berganti dengan perasaan lain, dimana aku sendiri tidak sanggup untuk mengatakan, apa yang disebut dengan CINTA. Urusan hati, bukannya tidak tertarik berlaku seperti teman-teman yang lain. Hanya saja tidak sefaham jika hubungan diawali dengan terpaksa, apalagi sebatas coba-coba. Cinta harus berada pada kodratnya: mengalir bagaikan air dari pegunungan, menyisir sukma seperti udara menerbangkan lara, tumbuh bagaikan benih di musim semi, mekar seperti bunga di jambangan, hingga melahirkan sebuah kekuatan dari Rabb Yang Maha Suci, yakni kemurnian cinta nan sejati. Cinta bukanlah sekedar penghias kekosongan hati, melainkan cambuk bagi hati yang terasa kosong. Ada yang berkata, ‘Cinta adalah sebuah kekuatan yang mampu mengolah kayu menjadi kertas, melebur besi menjadi pedang.’ Namun bagiku, ‘Cinta dalah pengabdian rasa terhadap orang yang kita cintai. Rasa yang membawa hikmah di setiap kali mengingatnya, hingga mampu memupuk lu

Dalih

Dalih namanya. Ia merajut asa yang tidak sekedar asa biasa. Membangun perjuangan di balik kerasnya kehidupan. Tak bisa ia pilih kehendak, dimana hal serupa tidak terjadi pada segelintiran anak-anak negeri lainnya. Ia siap hidup di alam samudera, ketika orang-orang lebih memilih daratan, di dalam meniti karir. Sang Ayah menyarankan ia belajar agama di Pasantren Buya Hamka, dengan maksud kelak bisa menjadi seorang ulama besar. Sementara Ibunya memberi masukan untuk memilih sekolah pelayaran, agar suatu saat bisa menjadi seorang angkatan laut. Harap nasib keluarga bisa berubah, ia mantapkan diri untuk memilih sekolah pelayaran. Tapi bukan untuk tujuan menjadi seorang angkatan laut, melainkan menjadi seorang pelaut yang bisa berlayar keluar negeri, mengumpulkan pundi-pundi uang untuk keluarga. Ia jalani hari-hari di balik kerasnya almamater yang ia kenakan. Semua asa yang diinginkan tidak semulus yang ia bayangkan. Perjuangan yang rumit, perjalanan bak menempuh kerikil tajam. Banyak

Si Bodoh Yang Mendunia

Dia terlahir dengan disleksia, kemampuannya untuk mengenal huruf dan angka terkadang membutuhkan waktu untuk dipahami. Setiap ada perkumpulan keluarga, dia selalu terpojokan. Sang Ayah yang tidak mengerti kondisinya seringkali memarahi. Karena dia tidak pernah mendapatkan peringkat ataupun bintang kelas. Ayahnya memaksa menjadi seperti Kakaknya, selalu mengatakan bahwa dia adalah anak bodoh, tidak seperti Kakaknya yang sukses dalam hal karir. Dia bukan bodoh, hanya saja cara belajarnya yang berbeda dengan yang lainnya. Dia terbiasa dengan caranya sendiri untuk memahami hal-hal baru Lusiana berbeda... dia tidak bisa menulis dengan Bagus. Dalam menuliskan kalimat tidak jarang suka terbalik-balik. Bahkan kemampuannya berbicara tidak selancar teman-teman sebayanya. Dunia seakan mengasingkan dengan keterbatasan yang dia miliki. Kadang dia berpikiran untuk menyerah. Beruntung Kakak laki-laki satu-satunya sangat sayang dan perhatian kepadanya. Sang Kakak lah yang melindungi dia

Perjodohan

PERJODOHAN? Ibu, nyanyian Dodoi Si Dodoi ketika aku dalam buaian, masih terngiang di telingaku hingga sekarang. Usapan jarimu di punggungku masih terasa hangat di saat mata susah aku lelapkan Dulu... bahagia yang aku tahu hanyalah suapan nasi dari tanganmu sambil berlari-lari ke sana ke mari. Namamu kupanggil ketika dunia jahat kepadaku, dan badanku terasa gamang bangun tidur, karena Ibu tidak ada di dekatku. Ibu... Aku ingat semuanya. Ingat jilbab merah  yang Ibu pasangkan ketika aku naik ke pundak Ayah pergi mengaji. Ingat senyum haru Ibu saat aku menang lomba mengaji di musholla, dan Ibu memberi aku hadiah baju kebaya. Ingat senang bukan kepalang uang jajan 2000 rupiah Ibu tambahkan jadi 5000 rupiah. Ibu berkata, "Nanti kalau sudah besar, Ibu harap kamu jadi anak yang membanggakan. Rancak anak Ibu!." Aku mengiyakan, padahal aku tidak tahu seperti apa anak yang membanggakan itu? Ibu... dari sana aku berjanji: Hanya padamu kuabdikan diriku ini, agar ceria har